Kisah Tempe dan Minyak Goreng
Minyak goreng merupakan salah satu motor penggerak ekonomi gorengan. Jika harganya tinggi, pelaku UMKM, termasuk pedagang kaki lima dan pemilik warung, serta konsumen rumah tangga, akan terbebani.
Ada kabar baik dan buruk tentang gorengan Indonesia. Tempe, yang merupakan salah satu menu dan penggerak ekonomi gorengan Indonesia, mewakili kisah ”para gorengan” tersebut.
Kabar baiknya, tempe semakin mendunia. Tidak hanya berkat syiar para wisatawan mancanegara yang menikmati tempe di Indonesia atau berkat mantan Presiden AS Barack Obama, artis AS Alicia Silverstone, dan artis Korea Selatan Kim Jung-min.
Juga tidak hanya berkat hotel, restoran, dan perwakilan Indonesia di negara lain yang menyajikan makanan berbahan baku utama kedelai itu. Tempe semakin mendunia juga berkat seorang pria kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, yang mengembangkan bisnis tempe di negara lain.
Adalah Rustono yang merintis bisnis tempe bermerek Rusto’s Tempeh di Jepang pada akhir 1990-an. Tidak hanya dikonsumsi di Jepang, Rusto’s Tempeh juga diekspor ke Korea Selatan, Meksiko, Brasil, dan Hongaria.
Berkat Rustono pula Indonesia memiliki pabrik tempe pertama di Kawasan Industri Pengolahan Pangan, Distrik Songjiang, Shanghai, China, yang diresmikan pada 19 Januari 2021. Pabrik dengan bendera Seastar Foods Co Ltd ini akan memproduksi Rusto’s Tempeh.
Mempertimbangkan nilai sejarah-budaya dan juga ketenarannya, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengusulkan tempe sebagai warisan kuliner budaya dunia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Hal ini juga sejalan dengan program promosi potensi gastronomi Nusantara.
Baca juga : Martabat Tempe dan Ironi Kedelai
Bahkan, pada akhir Oktober 2021, tempe mendoan khas Banyumas, Jawa Tengah, resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda. Tempe tepung yang digoreng setengah matang ini menjadi bagian warisan budaya tak benda kategori keterampilan dan kemahiran kerajinan nasional.
Lalu, apa kabar buruknya? Mewakili ”para gorengan” serta pedagang dan penikmat gorengan atau penggerak ekonomi gorengan, tempe mengeluhkan naiknya harga minyak goreng. Pekan lalu, harga minyak goreng curah naik 9,09 persen menjadi Rp 15.600 per liter, minyak goreng kemasan sederhana naik 7,48 persen menjadi Rp 15.800 per liter, dan minyak goreng kemasan premium naik 5,49 persen menjadi Rp 17.300 per liter.
Harga itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dalam kemasan sederhana yang telah ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 11.000 per liter. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Kementerian Perdagangan menyebutkan, kenaikan harga minyak goreng itu dipengaruhi kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) global yang harganya sudah mencapai 1.400 dollar AS per ton. Selama ini, masih banyak produsen minyak goreng nasional yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan produsen CPO dalam negeri.
Selama ini masih banyak produsen minyak goreng nasional yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan produsen CPO dalam negeri.
Hal ini menyebabkan para produsen minyak goreng harus membeli CPO sesuai harga lelang PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) dengan pengapalan dari Pelabuhan Belawan dan Dumai. Harga lelang KPBN itu terkorelasi dengan pasar internasional.
Selain itu, kenaikan harga juga dipengaruhi peningkatan permintaan CPO untuk industri biodiesel dalam rangka program B30 serta krisis energi di India, China, dan sejumlah negara di Eropa yang membuat negara-negara itu beralih ke biodiesel, apalagi memasuki musim dingin.
Ekonomi gorengan
Kenaikan harga minyak goreng ini menjadi beban bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang membutuhkan minyak goreng sebagai bahan baku produk olahannya. Kenaikan harga itu juga akan menambah pengeluaran rumah tangga, apalagi di tengah tergerusnya pendapatan akibat pandemi Covid-19.
Harganya yang tinggi menjadikan minyak goreng sebagai salah satu komoditas penyumbang inflasi Oktober 2021. Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat inflasi pada Oktober 2021 sebesar 0,12 persen. Tingkat inflasi kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau mencapai 0,1 persen serta andilnya terhadap inflasi nasional 0,03 persen. Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi dalam kelompok tersebut salah satunya adalah minyak goreng, yakni 0,05 persen.
Baca juga :
- Kenaikan Harga Pangan Global dan Biaya Logistik Mulai Pengaruhi Inflasi
- Kenaikan Harga Pangan dan Krisis Energi Perlambat Pertumbuhan
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional serta Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melaporkan terjadinya kenaikan harga pangan global dan mengingatkan potensi peningkatan inflasi akibat kenaikan harga itu. FAO menyebutkan, Indeks Harga Pangan pada September 2021 sebesar 130 atau naik 32,8 persen secara tahunan.
Indeks tersebut merupakan angka tertinggi sejak 10 tahun terakhir dan kenaikannya di atas 100 itu sudah terjadi selama 11 bulan terakhir atau per Oktober 2020. Lonjakan indeks itu didorong harga serealia, terutama gandum, beras, dan jagung, serta minyak nabati, seperti CPO, biji bunga matahari, dan kedelai.
Minyak goreng merupakan salah satu motor penggerak ekonomi gorengan. Kalau harganya tinggi dan tidak segera dikendalikan, lambat laut akan membebani pelaku UMKM, termasuk waralaba, pedagang kaki lima, dan pemilik warung, serta konsumen rumah tangga.
Imbas kenaikan harga kedelai global itu telah terbukti di Indonesia. Para perajin tempe dan tahu pernah mogok produksi pada awal tahun, meminta harga kedelai diturunkan. Mereka pada akhirnya juga terpaksa membeli kedelai dengan harga yang masih cukup tinggi. Untuk menekan biaya produksi, para perajin itu ada yang sedikit menaikkan harga dan ada yang mengecilkan ukuran tempe dan tahu.
Setelah kedelai, kini giliran minyak goreng yang naik harganya kendati bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Kelihatannya memang sederhana, yaitu tempe dan minyak goreng. Namun, jika keduanya dipadukan, hasil produk olahannya beraneka ragam, mulai dari tempe goreng, keripik tempe, tempe penyet, tempe tumis, kering tempe, hingga tempe bacem. Ini baru perpaduan antara tempe dan minyak goreng, belum dengan bahan lain yang bisa melahirkan aneka macam gorengan dan masakan.
Minyak goreng merupakan salah satu motor penggerak ekonomi gorengan. Kalau harganya tinggi dan tidak segera dikendalikan, lambat laut akan membebani pelaku UMKM, termasuk waralaba, pedagang kaki lima, dan pemilik warung makanan, serta konsumen rumah tangga.
Baca juga kolom penulis :