Hanya dengan “ngemil” seluruh rantai ekonomi camilan dari hulu hingga hilir dapat terus bergerak. Inilah yang disebut dengan "snacking economy".
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Kendati terimbas pandemi Covid-19, snacking economy atau ekonomi yang digerakkan oleh konsumsi, bisnis, dan perdagangan makanan ringan terus bertahan. Bisnis ini bahkan menjadi solusi pergerakan ekonomi rakyat di tengah intaian kenaikan pengangguran dan penurunan penghasilan masyarakat yang dirumahkan, dikurangi jam kerjanya, atau mengalami pemutusan hubungan kerja.
Sebelum pandemi, tepatnya pada 2019, nilai pasar camilan (snack) global sebesar 491,4 miliar dollar AS. Pembatasan aktivitas ekonomi untuk mengendalikan pandemi, termasuk di sektor ritel grosir dan eceran camilan, menyebabkan nilai pasarnya turun cukup drastis menjadi 427,02 miliar dollar AS pada 2020.
Statista, perusahaan Jerman yang bergerak di bidang jasa layanan data statistik, memproyeksikan, pada 2021 ini, nilai pasar camilan global akan kembali meningkat menjadi 448,96 miliar dollar AS. Kategori camilan itu antara lain mencakup makanan ringan manis, gurih, asin, seperti aneka keripik dan kerupuk, kue kering atau biskuit, dan aneka jenis kacang.
Sepanjang 2021-2025, nilai pasar camilan global ini diperkirakan akan tumbuh rata-rata 2,85 persen per tahun. Khusus Indonesia, nilai pasarnya diperkirakan 6,7 miliar dollar AS pada 2021. Rata-rata pertumbuhan tahunannya sebesar 6,08 persen sepanjang 2021-2025.
Pertumbuhan pasar camilan di tengah pandemi ini dipengaruhi oleh berbagai hal. Di antaranya, perubahan kebiasaan "ngemil" konsumen, serta semakin pesatnya perkembangan layanan perdagangan dan transaksi digital yang memungkinan masyarakat membeli camilan sambil duduk manis di rumah.
Pertumbuhan pasar camilan di tengah pandemi ini dipengaruhi oleh berbagai hal. Di antaranya, perubahan kebiasaan "ngemil" konsumen, serta semakin pesatnya perkembangan layanan perdagangan dan transaksi digital.
Kebiasaan "ngemil" ini banyak dikupas oleh Mondelez International, perusahaan makanan dan minuman ringan asal Amerika Serikat, dalam laporan hasil survei-nya bertajuk "The State of Snacking 2020". Survei itu melibatkan 6.292 konsumen remaja dan dewasa di 12 negara, termasuk Indonesia.
Secara umum disebutkan, pandemi yang membuat banyak masyarakat dunia beraktivitas di rumah menyebabkan kebiasan "ngemil" berubah. Sebanyak 68 persen responden mengaku, jadwal "ngemil" mereka menjadi tidak terencana dan berbeda setiap harinya. Selain itu, sebanyak 59 persen responden mencoba jenis-jenis baru makanan ringan selama pandemi dan 49 persen responden menemukan makanan ringan baru setelah berbelanja secara daring.
Disebutkan pula, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengonsumsi camilan paling besar. Dalam sehari, masyarakat Indonesia "ngemil" sebanyak 2,7 kali. Kebiasaan "ngemil" masyarakat Indonesia ini jauh di atas rata-rata mayarakat negara lain yang memiliki kebiasaan "ngemil" 2,26 kali per hari.
Dalam sehari, masyarakat Indonesia "ngemil" sebanyak 2,7 kali. Kebiasaan "ngemil" masyarakat Indonesia ini jauh di atas rata-rata mayarakat negara lain yang memiliki kebiasaan "ngemil" 2,26 kali per hari.
Selain kebiasaan “ngemil”, pertumbuhan pasar camilan juga dipengaruhi juga peralihan pekerjaan dan kebutuhan usaha tambahan. Mereka yang diberhentikan kerja atau menganggur mencari alternatif usaha baru dengan cara menjadi reseller, baik secara daring maupun luring. Ada juga mereka yang dikurangi jam kerjanya mencari tambahan penghasilan dengan membuka usaha kecil.
Camilan yang dijual tidak hanya camilan dalam kemasan modern produksi produsen-produsen besar, tetapi juga camilan-camilan produksi rumah tangga, seperti rengginang, opak, intip atau kerak nasi, hingga kue-kue kering atau biskuit, roti, dan jajanan pasar.
Ada juga yang membuka warung kecil baik secara mandiri atau waralaba yang menjual camilan berbasis makanan beku (frozen food), seperti sosis, cireng, kentang, geblek, tempura, pempek, siomay, nuget, dan dimsum.
Perkembangan kafe-kafe dan tempat-tempat wisata yang instagramable juga turut mendorong pertumbuhan pasar camilan di dalam negeri. Hal ini juga menjadi peluang melestarikan dan menumbuhkan camilan tradisional atau khas masyarakat setempat.
Tak hanya itu, camilan juga membuat membuat diversifikasi produk ekspor Indonesia semakin beragam. Pada April 2021, misalnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat mengekspor keripik singkong, ubi, tempe, pisang, dan kerupuk kulit ke Korea Selatan senilai Rp 850 juta. Pada November 2020, Pemprov Sumatera Utara juga mengekspor produk olahan singkong berupa keripik dan opak ke Korea Selatan sebanyak 20 ton atau senilai Rp 1 miliar.
Pada Desember 2020, perusahaan ritel dan hipermarket Uni Emirat Arab, Lulu Group Internasional, juga telah menggandeng 15 usaha kecil menengah di Indonesia, termasuk camilan (keripik singkong dan pisang), untuk mengisi pasar makanan dan minuman di negara tersebut. Perusahaan tersebut juga berkomitmen untuk mengembangkan produk-produk Indonesia itu ke pasar Timur Tengah.
Tidak mengherankan jika banyak pelaku usaha yang mengincar peluang dari besarnya pasar camilan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, di tengah dihentikannya produk camilan Cheetos, Lay’s, dan Doritos lantaran berakhirnya perjanjian lisensi dan perubahan kepemilikan perusahaan per Agustus 2021, beberapa produk camilan jenis keripik tetap berkembang di Indonesia. Misalnya seperti, Maicih, Kemripik, Pik Kripik, King Kong, Makarti, Karuhun, Kusuka, Qtela, Chitato, Chiki, Jetz, Rakinem, Makioh, Tempe Krezi, dan Neng Ayu.
Hanya dengan “ngemil” seluruh rantai ekonomi camilan dari hulu hingga hilir terus bergerak.
Kebiasaan “ngemil” akan terus melanggengkan bisnis camilan ini. Perkembangan dan pertumbuhan bisnis camilan kemudian akan menggeliatkan ekonomi skala rumahan hingga industri besar, bahkan petani-petani produsen bahan baku sejumlah camilan. Sekali lagi, hanya dengan “ngemil” seluruh rantai ekonomi camilan dari hulu hingga hilir terus bergerak.