DMO Tak Dipenuhi, Izin Ekspor CPO Tak Akan Dikeluarkan
Kebijakan DMO CPO dan olein sebesar 20 persen dari total volume ekspor kedua komoditas itu harus dipenuhi eksportir. Jika tidak, izin ekspor tidak akan dikeluarkan.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Perdagangan tidak akan mengeluarkan izin ekspor jika para eksportir tidak merealisasikan kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) minyak kelapa sawit mentah dan olein. Kementerian Perdagangan juga berupaya agar kebijakan DMO tidak menekan harga tandan buah segar sawit di tingkat petani.
Hal itu mengemuka dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang digelar secara hibrida di Jakarta, Senin (31/1/2022). Dalam kesempatan itu, Kemendag juga menegaskan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang baru mulai berlaku pada 1 Februari 2022.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, kebijakan DMO minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan olein atau CPO olahan (refined bleached and deodorized palm olein) sebesar 20 persen dari total volume ekspor kedua komoditas itu harus dipenuhi. ”Saya tidak akan mengeluarkan izin ekspor jika DMO tidak dipenuhi para eksportir,” ujarnya.
Saya tidak akan mengeluarkan izin ekspor jika DMO tidak dipenuhi para eksportir.
Menurut Lutfi, Kemendag akan menanggung konsekuensinya jika negara-negara pengimpor CPO dan olein dari Indonesia memprotes kebijakan itu. Langkah yang diambl ini penting guna menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng di dalam negeri.
Ia juga menjelaskan, kebijakan DMO itu akan berimbas ke harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani. Namun, dengan harga patokan DMO CPO Rp 9.300 per kilogram (kg) dan olein Rp 10.300 per kg, harga TBS diperkirakan akan turun berkisar Rp 250-Rp 300 per kg.
Namun, imbasnya ke petani diperkirakan hanya sementara karena kebijakan DMO ini akan memengaruhi harga CPO dunia. Harga CPO tersebut diperkirakan masih tinggi sepanjang tahun ini. Kemendag tetap akan mencermatinya dan memastikan agar kebijakan DMO tidak merugikan petani.
Melalui siaran pers, Lutfi juga menyampaikan, harga DMO CPO dan olein bukan harga untuk lelang CPO di PT Karisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). Harga tersebut merupakan harga jual CPO dan olein dari eksportir yang memiliki kewajiban pasok.
Kebijakan DMO tersebut disalahartikan beberapa pelaku usaha sawit yang seharusnya membeli CPO melalui mekanisme lelang yang dikelola KPBN dengan harga lelang. Mereka justru menawar CPO tersebut dengan harga patokan DMO.
”Hal ini membuat petani sawit resah. Seharusnya pembentukan harga tetap mengikuti mekanisme lelang di KPBN tanpa menawar harga di lelang tersebut menggunakan harga patokan DMO,” kata Lutfi.
Dalam rapat kerja itu, Lutfi juga menegaskan, Kemendag akan memberlakukan HET minyak goreng yang baru mulai 1 Februari 2022. HET itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022. HET minyak goreng curah telah ditentukan Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan kemasan premium Rp 14.000 per liter.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, mengapresiasi positif kebijakan DMO dan HET baru tersebut. Ia berharap agar kebijakan itu tidak hanya tertera di kertas, tetapi benar-benar ditegakkan.
”Kemendag jangan takut untuk menegakkan hukum, termasuk pada para pengusaha yang tidak mengikuti aturan itu. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan dan mendapat keuntungan dari hak guna usaha lahan negara,” katanya.
Kemendag jangan takut untuk menegakkan hukum, termasuk pada para pengusaha yang tidak mengikuti aturan itu. Banyak di antara mereka yang memanfaatkan dan mendapat keuntungan dari hak guna usaha lahan negara.
Sementara anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI-P, Haris Turino, meminta Kemendag juga bekerja sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengungkap dugaan praktik kartel minyak goreng. KPPU akan membawa persoalan itu ke ranah hukum.
Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar. Keempat perusahan itu memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO, seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng. Dengan struktur pasar yang seperti itu, industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli.