Pengendalian Harga Minyak Goreng RI Dongkrak Harga CPO Dunia
Indonesia produsen CPO terbesar dunia. Namun, selama ini, Indonesia hanya menjadi ”price taker”, bukan ”price maker”. Kebijakan pengendalian minyak goreng di Indonesia kini memengaruhi harga CPO dunia.
Kebijakan pengendalian stok bahan baku dan harga minyak goreng di Indonesia memengaruhi harga minyak kelapa sawit mentah atau CPO dunia. Sepanjang Januari 2022, pemerintah telah tiga kali mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan lonjakan harga minyak goreng.
Pertama, kebijakan minyak goreng kemasan sederhana bersubsidi seharga Rp 14.000 per liter. Kebijakan ini dicetuskan pada 5 Januari 2022 dan disempurnakan dengan kebijakan minyak goreng kemasan sederhana dan premium satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter, pada 19 Januari 2022.
Kedua, kebijakan minyak goreng kemasan sederhana dan premium satu harga yang diberlakukan pada 19 Januari-31 Januari 2022. Kebijakan ini diluncurkan bersama larangan terbatas ekspor CPO, refined bleached and deodorized palm olein (RBDPO), dan minyak jelantah (used cooking oil/UCO).
Kebijakan larangan terbatas itu mewajibkan setiap eksportir ketiga produk turunan kelapa sawit itu melaporkan pemenuhan kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri sebagai syarat ekspor. Namun, kebijakan ini tidak mematok volume dan harga pasokan untuk dalam negeri.
Ketiga, pemerintah menerapkan kebijakan kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk CPO dan RBDPO. Volume DMO ditentukan sebesar 20 persen dari total volume ekspor setiap eksportir, sedangkan harganya dipatok Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk RBDPO. Kebijakan ini berlaku pada 27 Januari 2022.
Berbarengan dengan DMO, pemerintah juga mengatur harga eceran tertinggi (HET) baru minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng premium Rp 14.000 per liter. Kebijakan baru ini akan dimulai pada 1 Februari 2022.
Baca juga : Dua "Jurus" Baru Atasi Problem Minyak Goreng
Selain itu, pemerintah juga menahan ekspor minyak jelantah untuk sementara waktu. Hal itu untuk mengantisipasi terjadinya pengoplosan minyak goreng dengan minyak jelantah dan pengalihan kode Harmonized System (HS) atau nomenklatur klasifikasi barang.
Sejumlah kebijakan yang dikeluarkan Indonesia itu berpengaruh terhadap harga CPO dunia di Bursa Derivatif Malaysia selama Januari 2022. Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOC) dalam laporan terbarunya, Jumat (28/1/2022), menyebutkan, harga kontrak berjangka CPO untuk pengiriman Februari dan Maret 2022 yang terbentuk masing-masing tembus 5.803 ringgit per ton (1.384 dollar AS per ton) dan 5.790 ringgit per ton.
Harga CPO untuk pengiriman Februari 2022 tersebut merupakan tertinggi sepanjang masa. Kemudian untuk pengiriman April dan Mei 2022, harganya mencapai 5.633 ringgit per ton dan 5.455 ringgit per ton.
Penentu atau pengambil harga?
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani mengatakan, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia. Namun, selama ini, Indonesia hanya menjadi price taker (pengambil harga), bukan price maker (penentu harga).
”Artinya, Indonesia tidak dapat memengaruhi atau menjadi penentu harga CPO di pasar dunia dan hanya dapat menetapkan HET produk turunan CPO, seperti minyak goreng, di dalam negeri,” ujarnya.
Indonesia merupakan produsen CPO terbesar dunia. Namun, selama ini, Indonesia hanya menjadi price taker (pengambil harga), bukan price maker (penentu harga).
Baca juga : Berakhirnya Era Minyak Goreng Murah
Kendati begitu, lanjut Dendi, kebijakan larangan terbatas yang berlanjut ke kebijakan DMO CPO dan olein yang digulirkan Pemerintah Indonesia justru akan membuat harga CPO global semakin tinggi. Pasar membaca kebijakan Indonesia sebagai negara produsen terbesar CPO itu justru akan mengurangi pasokan CPO dunia.
Sebenarnya, lonjakan harga CPO global pada tahun lalu dan awal tahun ini dipengaruhi banyak faktor. Faktor-faktor itu, antara lain, kenaikan harga minyak mentah dan minyak nabati lain, program biodiesel, ganguan pasokan di Malaysia di saat permintaan mulai meningkat, serta spekulasi harga.
Dendi menjelaskan, harga minyak mentah dunia kembali meningkat lantaran dipengaruhi kondisi geopolitik Rusia dan Ukraina. Harga minyak mentah sempat menembus 90 dollar AS per barel untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir pada Kamis pekan lalu.
”Sementara pasokan CPO dari Malaysia yang merupakan produsen CPO terbesar kedua dunia berkurang sejak akhir tahun lalu. Krisis tenaga kerja dan gangguan cuaca menyebabkan ekspor CPO Malaysia turun cukup signifikan,” katanya.
MPOC mencatat, persediaan CPO di Malaysia pada akhir Desember 2021 turun 4,9 persen menjadi 1,73 juta ton dari November 2021. Ekspor CPO Malaysia pada 1-15 Januari 2022 hanya sebanyak 492,883 ton atau turun 32,1 persen dibandingkan 1-15 Desember 2021 yang sebanyak 725.600 ton.
Selain itu, kenaikan harga CPO global juga dipengaruhi sentimen pasar tehadap kebijakan India. Untuk mengatasi harga bahan baku minyak goreng dan mengurangi ketergantungan impor CPO, India akan mengoptimalkan panen kelapa sawit pada Maret 2022.
Baca juga : Waspadai Inflasi Tinggi Tahun Ini
India juga membuat kebijakan jangka panjang dengan menggulirkan program National Edible Oil Mission-Oil Palm (NMEO-OP) pada Agustus 2021 yang bertujuan membangun kemandirian minyak nabati, terutama CPO. Program ini merupakan bagian dari konsep ”Aatmanirbhar Bharat” (negara yang mandiri) yang dicetuskan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Dengan dana sekitar 1,5 miliar dollar AS, luas perkebunan sawit India yang saat ini sekitar 300.000 hektar ditargetkan bertambah menjadi 650.000 hektar pada 2026. Produksi CPO yang semula 90.000-100.000 per ton per tahun ditargetkan bisa menjadi 1,12 juta ton per tahun.
Menurut Dendi, harga CPO global sepanjang tahun ini masih akan bergejolak hingga pasokan dan permintaan mulai seimbang. Harga CPO tersebut akan terkoreksi turun kendati masih tinggi.
”Rata-rata harga CPO global sapanjang tahun diperkirakan masih tinggi, yaitu sekitar 879 dollar AS per ton (3.863 ringgit per ton). Harga ini masih di atas harga psikologis CPO yang sebesar 600 dollar AS per ton,” ujarnya.
Sementara itu, Bernama, Kantor Berita Resmi Malaysia, menyebutkan, kontrak berjangka CPO di Bursa Derivatif Malaysia pekan depan diperkirakan akan diperdagangkan lebih rendah. Aksi ambil untung bakal terjadi setelah harga CPO naik di kisaran 5.600 ringgit per ton.
Kebijakan DMO Indonesia akan memukul negara-negara pengimpor CPO besar, terutama China, India, dan Pakistan, karena akan menyebabkan harga pangan di negara-negara tersebut naik.
Pedagang senior CPO Interband Group of Companies, Jim Teh, mengatakan, sebagian besar pedagang yang merayakan Tahun Baru Imlek akan berlibur panjang. Aksi ambil untung akan terjadi. ”Pasar diperkirakan akan memperdagangkan CPO di kisaran 5.000 ringgit per ton hingga 5.100 ringgit per ton pada pekan depan,” katanya.
Jim juga berpendapat, kebijakan DMO Indonesia juga membuat harga CPO masih tinggi. Kebijakan ini akan memukul negara-negara pengimpor CPO besar, terutama China, India, dan Pakistan, karena akan menyebabkan harga pangan di negara-negara tersebut naik.
Baca juga : Kebijakan Minyak Goreng Satu Harga dan Syarat Ekspor CPO Diterapkan
Kinerja ekspor CPO
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengakui, kebijakan DMO Indonesia akan memengaruhi pembentukan harga CPO global. Namun, kebijakan itu tidak banyak berpengaruh terhadap kinerja ekspor CPO dan produk turunannya.
Selama ini, pasokan kebutuhan baku minyak goreng di dalam negeri, yaitu CPO dan RBDPO, selalu tersedia. Namun, di tengah tingginya harga CPO dunia, pemerintah ingin memastikan pasokan domestik tetap ada atau tidak keluar dari Indonesia. ”Kalaupun volume ekspor (CPO dan RBDPO) berkurang, hal itu bisa dikompensasi dengan kenaikan harga CPO,” ujarnya.
Di tengah tingginya harga CPO dunia, pemerintah ingin memastikan pasokan domestik tetap ada atau tidak keluar dari Indonesia.
Pada 2021, nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai 32,83 miliar dollar AS. Nilai tersebut naik sangat signifikan sebesar 58,48 persen dibandingkan ekspor pada 2020 yang senilai 20,72 miliar dollar AS.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat, produksi CPO Indonesia pada 2021 sebanyak 46,89 juta ton, turun 0,31 persen dari 2020 yang sebanyak 47,034 juta ton. Volume ekspor CPO dan produk turunan mencapai 34,1 juta ton atau naik tipis 0,6 persen dari 2020 yang sebanyak 34,2 juta ton. Pada 2022, produksi CPO tersebut diperkirakan naik 4,52 persen menjadi 49 juta ton. Adapun ekspor CPO dan produk turunannya diperkirakan menyusut 3 persen menjadi 33,21 juta ton.
”Ekspor CPO dan produk turunannya diperkirakan turun lantaran konsumsi dalam negeri tumbuh cukup tinggi. Pertumbuhannya diperkirakan sebesar 11,78 persen menjadi 20,59 juta ton,” kata Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono melalui siran pers.
Gapki mencatat, konsumsi pangan akan naik 7,21 persen menjadi 9,6 juta ton dan oleokimia akan terkontraksi 1,59 persen menjadi 2,16 juta ton. Sementara konsumsi biodiesel melonjak 20,26 persen menjadi 8,83 juta ton.
Baca juga : Berkah Ekspor Masih Dibayangi Sejumlah Tantangan Global