Berkah Ekspor Masih Dibayangi Sejumlah Tantangan Global
Sejumlah tantangan global masih akan membayangi tahun ini. Hal itu mulai dari ganggunan dan tingginya biaya logistik laut, masih tingginya harga sejumlah komoditas, krisis energi, dan divergensi ekonomi global.

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (23/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS— Sepanjang 2021, Indonesia mendapatkan berkah ekspor yang cukup melimpah. Berkah itu masih akan dialami Indonesia pada tahun ini, tetapi sejumlah tantangan tahun lalu masih akan berlanjut membayangi perekonomian domestik.
Sejumlah tantangan itu antara lain masih terganggunya dan tingginya biaya logistik laut, melonjaknya harga sejumlah komoditas global, krisis energi, dan divergensi ekonomi global. Sejumlah tantangan global itu telah tertransmisi atau berimbas ke sejumlah sektor perekonomian di dalam negeri.
Pada Senin (17/1/2021), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, total nilai surplus neraca perdagangan migas dan nonmigas Indonesia sepanjang 2021 mencapai 35,34 miliar dollar AS atau Rp 505,715 triliun. Surplus itu tumbuh 38,82 persen dibandingkan surplus pada 2020 yang sebesar 21,62 miliar dollar AS.
Surplus neraca perdagangan pada 2021 itu tertinggi sejak 15 tahun terakhir. Surplus tertinggi sebelumnya terjadi pada 2006, yaitu 39,37 miliar dollar AS.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, surplus neraca perdagangan itu tidak terlepas dari kinerja positif ekspor nonmigas. Dalam periode Januari-Desember 2021, nilai ekspor nonmigas Indonesia mencapai 219,26 miliar dollar AS.
”Komoditas yang berkontribusi terhadap ekspor tersebut adalah lemak dan minyak hewan/nabati serta bahan bakar mineral,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Surplus neraca perdagangan pada 2021 itu tertinggi sejak 15 tahun terakhir. Surplus tertinggi sebelumnya terjadi pada 2006, yaitu 39,37 miliar dollar AS.
Baca juga : Surplus Dagang RI 2021 Tertinggi sejak 15 Tahun Terakhir

Ekspor dan Impor 2021 (Sumber: BPS)
Dalam periode itu, total nilai ekspor lemak dan minyak hewan/nabati, termasuk minyak kelapa sawit mentah (CPO), mencapai 32,83 miliar dollar AS. Kontribusinya terhadap ekspor nonmigas sebesar 14,98 persen.
Demikian juga ekspor bahan bakar mineral, termasuk batubara. Total nilai ekspor dan kontribusinya terhadap ekspor nonmigas masing-masing sebesar 32,83 miliar dollar AS dan 14,97 persen. Khusus batubara, ekspornya sepanjang 2021 senilai 26,54 miliar dollar AS dengan negara tujuan utama antara lain China, Jepang, dan India.
Sepanjang 2021, harga rata-rata CPO di atas 1.000 dollar AS per ton, bahkan mencapai puncak tertinggi, yaitu 1.390 dollar AS per ton, pada Oktober 2021. Begitu juga dengan batubara yang harganya meningkat 85,63 persen sepanjang 2021 dan ditutup seharga 151,75 dollar AS per ton. Pada Oktober 2021, harga batubara ini tembus 280 dollar AS per ton.
Baca juga : Berkah"Supercycle" dan Investasi
Transmisi dampak global
Kenaikan harga CPO global mengakibatkan harga minyak goreng di dalam negeri melonjak tinggi. Harga minyak goreng curah dan kemasan yang semula seharga Rp 9.500-Rp 12.500 per liter itu melonjak menjadi Rp 17.500-Rp 21.000 per liter.
Sementara itu, kenaikan harga batubara global membuat sebagian besar eksportir batubara lebih memilih mengekspor batubara ketimbang memenuhi kewajiban pasar/kebutuhan domestik (DMO) batubara. Hal ini menyebabkan pasokan batubara di dalam negeri, terutama untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), kurang pada awal tahun ini.

Demikian juga, gangguan dan lonjakan biaya logistik laut global telah menyebabkan Indonesia kekurangan kapal dan peti kemas. Biaya logistik antarpulau di Indonesia juga turut naik.Biaya pengapalan Jakarta-Medan, misalnya, naik 46 persen dari Rp 8,75 juta per kontainer menjadi Rp 12,8 juta per kontainer dan untuk Jakarta-Makassar naik dari kisaran Rp 12 juta-Rp 14 juta per kontainer menjadi Rp 15 juta-Rp 20 juta per kontainer (Kompas, 18 Oktober 2021).
Baca juga : Biaya Pengapalan Kontainer Domestik Melonjak
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menuturkan, sepanjang perdagangan tahun lalu, Indonesia memang diuntungkan oleh siklus super (supercycle) komoditas. Dalam siklus itu, lonjakan harga sejumlah komoditas global, terutama CPO dan batubara, terjadi sehingga Indonesia mendapatkan berkah dari ekspor kedua komoditas itu.
Pada tahun ini, tren kenaikan harga sejumlah komoditas itu diperkirakan akan berlanjut meski tidak setinggi tahun lalu. Selain kenaikan harga komoditas, perdagangan dunia akan menghadapi pula berbagai tantangan lain pada 2022, seperti gangguan dan masih tingginya biaya logistik laut, krisis energi, serta pandemi Covid-19.
Di sektor logistik, lanjut Lutfi, jika penyumbatan di sejumlah pelabuhan di dunia tidak segera diselesaikan, perdagangan juga masih akan terhambat. Sementara terkait krisis energi, jika harga energi masih tinggi, hal itu bisa mengancam pemulihan ekonomi global dan setiap negara.
”Selain pandemi Covid-19, persoalan-persoalan ini akan kami angkat ke forum G-20. Indonesia akan mendorong setiap negara berkolaborasi menyelesaikan berbagai tantangan itu, termasuk memperkuat sistem perdagangan multilateral,” kata Lutfi.
Selain kenaikan harga komoditas, perdagangan dunia akan menghadapi pula berbagai tantangan lain pada 2022, seperti gangguan dan masih tingginya biaya logistik laut, krisis energi, serta pandemi Covid-19.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memberikan sambutan dalam peluncuran holding badan usaha milik negara (BUMN) pangan dengan nama ID Food di kawasan Kota Tua, Jakarta, Rabu (12/1/2022).
Ketidakpastian berlanjut
Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, gangguan logistik dan tingginya biaya pengapalan peti kemas global masih akan berlangsung hingga akhir tahun ini. Adapun Bank Dunia memperkirakan, perdagangan global juga akan terhambat akibat divergensi ekonomi yang semakin lebar antarnegara.
Ekonom Divisi Kebijakan Eksternal Departemen Strategi, Kebijakan, dan Tinjauan IMF, Parisa Kamali, mengatakan, tekanan lonjakan logistik laut memang telah mulai mereda. Namun, biaya logistik itu diperkirakan tetap akan tinggi hingga akhir 2022 lantaran pandemi Covid-19 masih berlanjut.
Masih tingginya biaya pengiriman dan kelangkaan barang akan mendongkrak harga produk. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) memproyeksikan, jika tarif pengiriman tetap tinggi hingga 2023, tingkat harga impor global dan tingkat harga konsumen dapat naik masing-masing sebesar 10,6 persen dan 1,5 persen.
Negara-negara kepulauan kecil yang bergantung pada logistik laut akan terdampak besar. Adapun negara-negara kecil dan berkembang yang mengekspor banyak produk akan kurang kompetitif dan menghadapi kesulitan memulihkan ekonomi.
”Selain itu, harga akhir produk yang sangat terintegrasi ke dalam rantai nilai global, seperti elektronik dan komputer, juga akan dipengaruhi oleh lonjakan biaya pengiriman,” ujar Kamali melaui ulasannya dalam IMFBlog.
Baca juga : Jab dan "Hook" Perdagangan

Seorang warga membawa 2 liter minyak goreng yang dibelinya dengan harga murah dalam operasi pasar minyak goreng di Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Senin (17/1/2022). Operasi pasar diperuntukkan bagi warga yang telah memiliki kupon pembelian yang dibagikan oleh perangkat RT/RW di kawasan padat penduduk tersebut. Setiap warga berhak membeli 2 liter minyak goreng dengan harga Rp 14.000 per liter.
Sementara itu, Presiden Grup Bank Dunia David Malpass mengatakan, pesatnya penyebaran varian Omicron menunjukkan bahwa pandemi kemungkinan akan terus mengganggu aktivitas ekonomi global. Perlambatan ekonomi di negara-negara besar akan berpengaruh juga terhadap perkembangan ekonomi negera-negara kecil dan berkembang.
Ekonomi dunia secara bersamaan menghadapi Covid-19, inflasi, dan ketidakpastian kebijakan. Ketidaksetaraan pemulihan ekonomi dan pandemi Covid-19 setiap negara telah terjadi.
Di sisi lain, pemerintah di banyak negara berkembang mulai kekurangan ruang kebijakan fiskal untuk mendukung kegiatan ekonomi dan mengatasi wabah Covid-19 varian baru. Beragam tantangan lain, seperti gangguan rantai pasokan, tekanan inflasi, dan kerentanan fiskal, terus meningkatkan risiko terhadap pemulihan ekonomi.
”Ekonomi dunia secara bersamaan menghadapi Covid-19, inflasi, dan ketidakpastian kebijakan. Ketidaksetaraan pemulihan ekonomi dan pandemi Covid-19 setiap negara telah terjadi. Perlu tindakan bersama secara internasional untuk menempatkan banyak negara pada jalur pertumbuhan yang menguntungkan,” kata Malpass.
Baca juga : Perbaikan Daya Beli Dibayangi Inflasi