Ontran-ontran harga minyak goreng tengah terjadi. Pemerintah, dengan kebijakan minyak goreng kemasan satu harga dan bersubsidi, serta syarat ekspor CPO, tengah diuji. Sementara itu, KPPU mensinyalir ada praktik kartel.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Negeri penghasil bahan baku minyak goreng, yaitu minyak kelapa sawit mentah, terbesar dunia, tengah dilanda ontran-ontran harga minyak goreng. Harga salah satu komoditas pangan pokok itu melonjak tinggi di tengah belum pulihnya daya beli masyarakat.
Saat ini, rata-rata harga nasional minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan premium, berkisar Rp 18.000-Rp 20.000 per liter. Sebelumnya, minyak goreng itu bisa diperoleh dengan harga Rp 9.500-Rp 14.000 per liter.
Hal ini terjadi lantaran banyak pabrik minyak goreng sawit yang tidak terintegrasi dengan perkebunan dan industri kelapa sawit. Mereka membeli minyak kelapa sawit mentah (CPO) dengan acuan harga internasional.
TradingEconomics mencatat, harga CPO dalam bursa komoditas berjangka Malaysia pada Januari 2022 masih tinggi, yaitu 5.100 ringgit Malaysia per ton. Harga itu mendekati rekor tertinggi pada Oktober 2021 yang mencapai 5.220 ringgit Malaysia per ton. Sepanjang tahun ini, harga CPO dunia diperkirakan masih tinggi dan pergerakannya lebih liar dibandingkan komoditas lainnya.
Hal itu terjadi lantaran CPO, yang tergolong sebagai minyak nabati, menjadi pilihan paling menarik untuk produksi biodiesel. Di sisi lain, ekspor CPO Malaysia turun, lantaran negara yang juga termasuk produsen CPO terbesar itu fokus pada pemenuhan kebutuhan domestik dan program biodiesel.
Indonesia juga melakukan hal yang sama dengan menerapkan syarat ekspor CPO, refined bleached and deodorized (RBD) palm olein, dan used cooking oil (UCO), mulai 24 Januari 2022. Ekspor ketiga jenis komoditas bisa dilakukan asalkan eksportir sudah memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng domestik meski tidak ditentukan kuota dan harga patokan CPO.
Selain kenaikan harga CPO, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir ada praktik kartel untuk menaikkan harga minyak goreng bersama-sama. Berdasarkan data Consentration Ratio (CR) yang dihimpun KPPU pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar.
Keempat perusahan itu memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO, seperti biodiesel, margarin, dan minyak goreng. Dengan struktur pasar yang seperti itu, industri minyak goreng di Indonesia masuk dalam kategori monopolistik yang mengarah ke oligopoli.
KPPU mensinyalir ada praktik kartel untuk menaikkan harga minyak goreng bersama-sama. Berdasarkan data Consentration Ratio yang dihimpun KPPU pada 2019, sekitar 40 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai empat perusahaan besar.
Satu harga dan rasa?
Lalu apa yang dilakukan pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng selain dengan kebijakan syarat ekspor CPO, RBD palm olein, dan UCO? Penyediaan minyak goreng satu harga, seharga Rp 14.000 per liter, baik untuk kemasan sederhana maupun premium.
Jumlah minyak goreng satu harga dan bersubsidi yang akan digelontorkan mencapai 1,5 miliar liter selama enam bulan ke depan. Dana subsidi dan biaya distribusi untuk daerah-daerah terpencil dialokasikan dari dana pungutan ekspor CPO yang dikelola BPDPKS senilai total Rp 7,5 triliun.
Kementerian Perdagangan menyebutkan, subsidi yang digulirkan untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium dipatok sama Rp 3.000 per liter. Subsidi itu merupakan selisih harga keekonomisan minyak goreng yang senilai Rp 17.000 per liter dengan harga eceran tertingi (HET) yang ditentukan pemerintah Rp 14.000 per liter.
Masyarakat tentu saja senang karena bisa membeli minyak goreng dengan harga terjangkau. Bahkan ada yang bangga bisa menimbun minyak goreng hingga 41 kemasan dalam sehari. Namun, sebagian produsen minyak goreng, serta para pedagang pasar tradisional, dan pemilik warung-warung mengeluhkan kebijakan itu.
Produsen minyak goreng masih harus menanggung beban selisih biaya produksi dan distribusi minyak goreng premium dengan besaran subsidi. Ada yang menyebutnya sebagai sharing the pain, berat sama dipikul ringan sama dinjinjing. Mereka juga khawatir pengurusan klaim subsidi bakal ribet dan berbelit.
Sementara pedagang pasar dan pemilik warung sembako, bingung menjual stok lama dengan harga Rp 14.000 per liter, lantaran harga kulakan lebih tinggi dari HET itu. Memang pada 24 Januari 2022, pemerintah akan menyediakan minyak goreng satu harga di pasar tradisonal. Namun, mekanisme distribusi dan penghitungan keuntungan bagi pedagang belum ada.
Terkait semua itu, ada persoalan besar dalam tata niaga minyak goreng domestik, sehingga butuh pembenahan. Miris rasanya, sebagai produsen CPO terbesar dunia, Indonesia tidak menjadi penentu harga.
Telah dua kali Indonesia keteteran menghadapi lonjakan harga CPO dunia. Sebelum ini, lonjakan harga CPO pernah terjadi pada 2007. Waktu itu, Indonesia mengatasinya dengan kebijakan pemenuhan kewajiban pasar/kebutuhan domestik (DMO) dan penetapan harga minyak goreng di tingkat konsumen.
Empat belas tahun setelahnya, menghadapi persoalan serupa, lahirlah kebijakan minyak goreng satu harga dan syarat ekspor CPO. Memang kebijakan itu baik, lantaran tidak permanen dan mampu menghadirkan alternatif minyak goreng harga terjangkau bagi masyarakat.
Ontran-ontran harga minyak goreng tengah terjadi. Pemerintah tengah diuji. Jangan sampai sejumlah kebijakan yang diambil justru menimbulkan ontran-ontran yang lain di kemudian hari.
Namun, persoalan-persoalan yang muncul di atas jangan sampai diabaikan begitu saja. Penggunaan dana BPDPKS untuk menyubsidi minyak goreng kemasan itu juga mesti transparan. Transparansi itu terutama mencakup besaran subsidi, penentuan harga keekonomisan, dan penggantian biaya distribusi untuk daerah terpencil.
Ontran-ontran harga minyak goreng tengah terjadi. Pemerintah tengah diuji. Jangan sampai sejumlah kebijakan yang diambil justru menimbulkan ontran-ontran yang lain di kemudian hari.