Natal Tahun Ini, Harga Sejumlah Pangan Pokok Tak Terkendali
Kenaikan inflasi pangan akibat imbas lonjakan harga sejumlah komoditas global, gangguan logistik, dan perubahan iklim pada tahun ini bisa berlanjut tahun depan. Kendalikan harga untuk menjaga daya beli masyarakat.
Oleh
Hendriyo Widi
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga sejumlah bahan pangan pokok, seperti minyak goreng dan cabai merah, tidak terkendali pada Natal tahun ini. Kenaikan harga komoditas global dan La Nina menjadi faktor utama penyebab lonjakan harga itu. Hal ini akan berpengaruh pada tingkat inflasi di saat daya beli masyarakat belum pulih.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat, komoditas pangan pokok yang melonjak harganya adalah minyak goreng, telur ayam ras, cabai merah, dan bawang merah. Per 24 Desember 2021, harga minyak goreng curah naik 3,49 persen secara bulanan menjadi Rp 17.800 per liter, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter.
Harga minyak goreng kemasan sederhana juga naik 4,55 persen menjadi Rp 18.400 per liter. Begitu juga dengan minyak goreng kemasan premium yang harganya naik 5,26 persen menjadi Rp 20.000 per liter.
Sementara itu, harga cabai rawit merah naik 118,94 persen menjadi Rp 94.800 per kg, cabai merah besar naik 23,5 persen menjadi Rp 49.400 per kg, dan cabai merah keriting naik 26,04 persen menjadi Rp 51.300 per kg. Harga telur ayam ras juga meningkat 11,72 persen menjadi Rp 28.600 per kg dan bawang merah naik 8,43 persen menjadi Rp 28.300 per kg.
Khusus terkait harga minyak goreng, pada tahun-tahun sebelumnya, pemerintah biasanya masih mampu mengendalikan harga. Sebagai perbandingan, memasuki pekan keempat Desember 2020, harga minyak goreng tercatat jauh lebih rendah daripada saat ini, yaitu Rp 12.100 per liter untuk minyak goreng curah dan Rp 14.838 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana.
Begitu juga dengan cabai rawit merah. Sebagai perbandingan, memasuki pekan keempat Desember 2020, cabai rawit merah tercatat Rp 57.500 per kg, masih jauh di bawah harga cabai rawit merah yang pada pekan keempat Desember tahun ini naik sampai Rp 94.800 per kg.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan, Minggu (26/12/2021), mengatakan, kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri dipicu kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dunia. Harga tersebut mengacu pada harga lelang komoditas CPO Dumai yang pada minggu keempat Desember 2021 ini mencapai Rp 12.041 per liter, naik 42,28 persen dibandingkan dengan Desember 2020.
”Kami memperkirakan harga CPO dunia akan sedikit terkoreksi pada awal Januari 2022 sehingga harga minyak goreng pada pertengahan Januari 2022 diperkirakan turun pada kisaran Rp 16.000 per liter,” kata Oke ketika dihubungi di Jakarta.
Kami memperkirakan harga CPO dunia akan sedikit terkoreksi pada awal Januari 2022 sehingga harga minyak goreng pada pertengahan Januari 2022 diperkirakan turun di kisaran Rp 16.000 per liter.
Menurut Oke, untuk mengatasi lonjakan harga minyak goreng, pemerintah melanjutkan pendistribusian 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp 14.000 per liter di 45.000 gerai ritel modern. Hal itu akan dikombinasikan dengan operasi pasar yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah serta subsidi harga minyak goreng curah menggunakan dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Untuk cabai, kenaikan harga terjadi karena panen raya di beberapa sentra produksi di Jawa Timur mulai berakhir di tengah lonjakan permintaan, khususnya dari sejumlah daerah di Sumatera. Selain itu, produktivitas tanaman cabai turun lantaran curah hujan ekstrem akibat efek La Nina yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada Januari 2022.
Panen raya cabai baru akan dimulai lagi pada Februari 2022. Beberapa sentra cabai yang diprediksi akan panen pada bulan tersebut, antara lain, Wajo, Sidrap, dan Pinrang di Sulawesi Selatan; Lombok Timur; serta Lampung.
”Untuk mengatasinya, kami akan mendistribusikan cabai dari daerah yang stoknya masih berlimpah ke daerah yang kekurangan pasokan,” ujarnya.
Terkait kenaikan harga telur ayam ras, Oke menjelaskan, hal itu disebabkan oleh faktor tingginya harga pakan serta kenaikan permintaan menjelang Natal 2021 dan Tahun Baru 2022. Harga pakan ayam tinggi dipengaruhi oleh naiknya harga jagung global.
Harga perolehan (landed cost) jagung impor pada Desember 2021 sebesar Rp 4.836 per kg dan di tingkat importir Rp 5.289 per kg. Hal itu memengaruhi harga jagung lokal yang saat ini tembus Rp 5.849 per kg.
Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah telah mengizinkan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) untuk mengimpor gandum pakan sebanyak 300.000 ton sebagai pengganti jagung. Hingga 10 September 2021, impor telah terealisasi 126.033 ton.
”Dengan impor itu, kami meminta harga pakan di kisaran Rp 7.200 -Rp 7.800 per kg dengan asumsi harga jagung stabil dan dijaga agar tidak menembus Rp 5.000 per kg,” tutur Oke.
Tekanan inflasi
Tingginya harga sejumlah bahan pokok itu dapat berpengaruh terhadap tingkat inflasi nasional. Untuk minyak goreng saja, Badan Pusat Statistik mencatat, andilnya terhadap inflasi kelompok pengeluaran makanan dan minuman pada Oktober dan November 2021 masing-masing sebesar 0,05 persen dan 0,08 persen.
Berdasarkan hasil survei pemantauan harga pada pekan keempat ini, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan tingkat inflasi pada Desember 2021 sebesar 0,49 persen secara bulanan. Sementara tingkat inflasi sepanjang 2021 diperkirakan 1,79 persen, lebih rendah daripada target BI pada kisaran 2-4 persen.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, komoditas utama penyumbang inflasi pada Desember 2021 adalah cabai rawit sebesar 0,13 persen dan minyak goreng 0,07 persen. ”Komoditas lain yang berkontribusi terhadap inflasi adalah daging ayam ras dan cabai merah masing-masing 0,04 persen; telur ayam ras dan tarif angkutan udara 0,02 persen; serta bawang merah, detergen bubuk, dan semen 0,01 persen,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta.
Komoditas utama penyumbang inflasi pada Desember 2021 adalah cabai rawit sebesar 0,13 persen dan minyak goreng 0,07 persen.
Sementara itu, Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, kenaikan inflasi pangan akibat imbas kenaikan harga sejumlah komoditas pangan global, gangguan logistik, dan perubahan iklim dapat berlanjut pada tahun depan. Indef memperkirakan, tingkat inflasi Indonesia pada 2022 sebesar 3,4 persen.
”Inflasi itu juga akan dipengaruhi oleh kenaikan harga energi yang akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi dan akan berdampak pada harga jual produk atau jasa terkait. Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengantisipasinya sembari terus memulihkan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Kenaikan inflasi pangan akibat imbas kenaikan harga sejumlah komoditas pangan global, gangguan logistik, dan perubahan iklim dapat berlanjut pada tahun depan.
Sebelumnya, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam OECD Economic Outlook: A Balancing Act, Desember 2021, mengingatkan, inflasi akan menjadi risiko utama selain pandemi Covid-19 dalam proses pemulihan ekonomi global. Tekanan inflasi telah muncul di semua sektor perekonomian, seperti gangguan di pasar energi dan pangan.
Lonjakan biaya logistik serta harga komoditas dan energi telah mendorong kenaikan harga di tingkat produsen dan konsumen. Hal itu terutama akan memukul rumah tangga berpenghasilan rendah.
”Tekanan inflasi diperkirakan lebih lama, yaitu mulai akhir 2021 hingga 2023. Pada akhir tahun ini, rata-rata inflasi semua negara anggota OECD diperkirakan 5 persen. Pada akhir 2022 diperkirakan turun menjadi 3,5 persen dan pada 2023 menjadi 3 persen,” kata Kepala Ekonom OECD Laurence Boone.
OECD memperkirakan, inflasi Indonesia pada 2021 sebesar 1,7 persen. Pada 2022 dan 2023, inflasi diproyeksikan meningkat masing-masing 2,8 persen dan 3,1 persen.