Katanya Swasembada Gula
Swasembada gula konsumsi masih teragendakan. Sementara impor gula semakin meningkat. Sejumlah pabrik gula baru muncul dan mematikan beberapa pabrik gula lama lantaran kalah bersaing mendapatkan tebu di lahan lama.
Kebutuhan gula konsumsi dan industri terus meningkat seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan industri makanan-minuman. Indonesia semakin bergantung pada gula impor. Program swasembada gula bakal tertatih-tatih mengejar keseimbangan neraca gula.
Saat ini kebutuhan gula nasional rata-rata 6 juta ton. Sebanyak 2,7 juta ton-2,9 juta ton merupakan kebutuhan gula konsumsi atau kristal putih (GKP) dan 3 juta ton-3,2 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) yang merupakan bahan baku industri makanan-minuman.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada 2022, pemerintah mengalokasikan kuota impor gula mentah sebanyak 4,37 juta ton. Dari total kuota itu, alokasi impor gula mentah untuk bahan baku GKR sebanyak 3,48 juta ton dan untuk GKP 891.627 ton. Alokasi impor gula mentah itu lebih tinggi dibandingkan 2021 yang sebesar 3,78 juta ton terdiri dari 3,1 juta ton untuk bahan baku GKR dan 680.000 untuk GKP.
Pemerintah beralasan, kuota impor gula mentah sebanyak itu guna mengantisipasi kenaikan kebutuhan gula industri sebesar 5 persen dan mengantisipasi anomali cuaca. Besaran kuota impor tersebut tetap diputuskan meski stok nasional gula konsumsi per 3 Desember 2021 masih berlimpah, yaitu 1,3 juta ton atau cukup untuk sekitar lima bulan ke depan.
Besaran kuota impor tersebut tetap diputuskan meski stok nasional gula konsumsi per 3 Desember 2021 masih berlimpah, yaitu 1,3 juta ton atau cukup untuk sekitar lima bulan ke depan.
Baca juga: Impor Gula Mentah 2022 Dialokasikan 4,37 Juta Ton
Perlu dicatat pula, baru dua tahun belakangan ini pemerintah mengalokasikan impor gula mentah untuk diproduksi menjadi gula konsumsi. Impor gula mentah dan produksi GKP itu dilakukan oleh perusahaan milik negara.
Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Dalam Pasal 2 Ayat (3) regulasi itu disebutkan, impor gula mentah untuk memproduksi GKP dapat dilakukan apabila bahan baku GKP dalam negeri tak cukup.
Baca juga: Ada Celah Tekan Gula Petani
Pemerintah sebenarnya telah memiliki program swasembada gula konsumsi. Melalui program itu, pemerintah menargetkan dapat memenuhi kebutuhan konsumsi gula pasir sebanyak 2,8 juta ton pada 2023. Program yang ditargetkan untuk menambal defisit gula konsumsi di kisaran 500.000 ton-620.000 ton itu menyasar perluasan dan intensifikasi lahan tebu, serta revitalisasi dan pendirian pabrik baru.
Akan tetapi, realisasi program itu masih jauh dari target dan impor juga semakin membengkak. Perluasan lahan tebu dan pembangunan pabrik gula (PG) baru juga tidak diikuti dengan peningkatan produksi gula. Berdasarkan Statistik Tebu Indonesia 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2020, lahan tebu di Indonesia seluas 418.996 hektar (ha), bertambah dari 2019 yang seluas 413.054 ha.
Jumlah produksi gula nasional pada 2020 sebanyak 2,12 juta ton, lebih rendah dari 2019 yang sebanyak 2,23 juta ton. Adapun pada 2020, Indonesia mengimpor gula dan tetes tebu sebanyak 5,54 juta ton, meningkat 35,45 persen dari 2019 yang sebanyak 4,09 juta ton.
Sementara dalam laporannya tentang Distribusi Perdagangan Komoditas Gula Pasir Indonesia 2021, BPS menyebutkan, total produksi GKP PG swasta pada 2020 sebesar 1,17 juta ton, lebih banyak ketimbang PG badan usaha milik negara (BUMN) yang sebesar 966.000 ton. Padahal, jumlah PG BUMN itu hampir tiga kali lipat dari jumlah PG swasta.
Pembangunan PG baru memang menjadi salah satu upaya meningkatkan produksi, tetapi sering kali tidak memperhatikan ketersediaan lahan tebu baru.
Laporan itu juga menyinggung tentang kelahiran PG baru dan kematian PG lama. Dalam kurun waktu 2016-2020, terdapat tujuh PG baru yang beroperasi dan 11 PG yang berhenti operasi. Pembangunan PG baru memang menjadi salah satu upaya meningkatkan produksi, tetapi sering kali tidak memperhatikan ketersediaan lahan tebu baru. Hal itu justru menimbulkan persaingan mendapatkan tebu antara PG lama dan baru sehingga PG lama berhenti beroperasi akibat kekurangan bahan baku.
Dahulu pemerintah mensyaratkan pembangunan PG baru, termasuk PG rafinasi, harus dibarengi dengan penyediaan lahan tebu baru. Namun, pemerintah kewalahan mengawal kebijakan itu dan justru mengizinkan PG GKP mengolah gula mentah impor. Gula mentah impor yang semula hanya diperbolehkan untuk menutup kapasitas menganggur (idle capacity) PG GKP baru, justru melonggar. Sejumlah PG GKP baru, bahkan lama, justru terus bergantung pada gula mentah impor.
Baca juga : ”Sembodo” dan Refrein Swasembada Gula
Secercah harapan
Entah akan mengarah ke mana swasembada gula konsumsi Indonesia ini. Selama ini sejumlah kebijakan yang digulirkan pemerintah kontradiktif dengan program swasembada. Ingat, kebutuhan gula konsumsi dan industri pada 2030 akan membengkak sebanyak 9,5 juta ton. Jika tidak ada pembenahan bisnis dan industri gula, impor gula bisa melonjak hingga 6,6 juta ton per tahun.
Sejumlah BUMN, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau RNI dan PT Perkebunan Nusantara III Holding (PTPN Group), sudah berkomitmen untuk meningkatkan luas lahan tebu dan produksi gula konsumsi. Hingga 2024, RNI menargetkan bisa memperluas lahan tebu hingga 20.000 ha. Dengan begitu, produksi GKP RNI bisa bertambah dari 230.000 ton pada 2020 menjadi 430.000 ton pada 2024.
Semoga secercah harapan itu tak sekadar kata-kata, tetapi bisa mewujud dalam rupa. Semoga secercah harapan itu tak mati pula akibat kebijakan-kebijakan kontradiktif pemerintah di sektor pergulaan Nusantara.
PTPN Group juga menargetkan bisa memproduksi GKP sebanyak 2 juta ton pada 2025. Produksi gula PTPN Group saat ini sebanyak 800.000 ton. Adapun pemerintah tengah menunggu realisasi komitmen Al Khaleej Sugar Co, produsen terbesar gula di kawasan Timur Tengah sekaligus lima besar di dunia, yang berminat berinvestasi di Indonesia.
Al Khaleej Sugar Co bakal mengucurkan investasi 2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 28,68 triliun. Perusahaan yang berbasis di Jebel Ali, Dubai, Uni Emirat Arab ini, akan membangun PG terintegrasi. Mereka akan mengembangkan lahan tebu baru, serta memproduksi gula dan etanol.
Semoga secercah harapan itu tak sekadar kata-kata, tetapi bisa mewujud dalam rupa. Semoga secercah harapan itu tak mati pula akibat kebijakan-kebijakan kontradiktif pemerintah di sektor pergulaan Nusantara. Sekali lagi, semoga dan tak sekadar katanya.
Baca juga kolom penulis