Lonjakan biaya logistik global menyebabkan harga barang impor naik 10,6 persen dan barang di tingkat konsumen global naik 1,5 persen. Lonjakan harga itu terjadi di 198 negara dan diperkirakan berlangsung hingga 2023.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 turut membuat ”benang kusut” perdagangan maritim global. Imbasnya tidak hanya pada penurunan permintaan ruang kapal dan kenaikan biaya logistik laut, tetapi juga menyebabkan kenaikan harga barang impor dan barang di tingkat konsumen. Tidak mudah dan butuh waktu lama untuk mengurai kekusutan ini.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menyebutkan, lonjakan biaya logistik global telah menyebabkan harga barang impor naik 10,6 persen dan barang di tingkat konsumen global naik 1,5 persen. Lonjakan harga itu terjadi di 198 negara dan diperkirakan berlangsung hingga 2023.
Barang-barang di tingkat konsumen yang harganya naik itu terutama barang jadi impor dan produk olahan berbahan baku impor. Lima produk yang mengalami lonjakan harga tertinggi adalah komputer, elektronik, dan optik (11, persen); furnitur (10,2 persen); tekstil dan produk tekstil (10,2 persen); produk dari karet dan plastik (9,4 persen); serta produk dan perlengkapan farmasi (7,5 persen).
Hal itu merupakan hasil simulasi UNCTAD dalam ”Review of Maritime Transport 2021” yang dipublikasikan pada 18 November 2021. Simulasi itu mengacu pada data 198 negara dan lonjakan tarif angkutan peti kemas yang meningkat 243 persen berdasarkan China Containerized Freigth Index (CCCI) pada periode Agustus 2020 hingga Agustus 2021.
Lonjakan biaya logistik global telah menyebabkan harga barang impor naik 10,6 persen dan barang di tingkat konsumen global naik 1,5 persen. Lonjakan harga itu terjadi di 198 negara dan diperkirakan berlangsung hingga 2023.
UNCTAD juga menyebutkan, kenaikan biaya logistik itu juga menyebabkan kenaikan biaya produksi (1,4 persen), produk setengah jadi (3,1 persen), dan produk-produk terkait dengan investasi global (3,3 persen). Hal ini diperkirakan akan memperlambat pemulihan industri manufaktur global.
Kenaikan biaya logistik maritim sebesar 10 persen akan menurunkan produksi manufaktur di Amerika Serikat dan Uni Eropa sebesar 1 persen dan di China 0,2 persen. Di negara-negara kecil berbasis kepulauan, kenaikan biaya logistik global tersebut menyebabkan harga barang impor naik 24,2 persen dan barang di tingkat konsumen naik 7,5 persen.
Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan mengatakan, laporan itu menggambarkan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam rantai pasokan global. Di tengah pertumbuhan transportasi maritim sebesar 3 persen pada 2020-2021, permintaan jasa angkutan justru turun drastis.
Lonjakan dramatis tarif angkutan kontainer juga terjadi dan berimbas secara signifikan pada kenaikan harga barang impor dan barang di tingkat konsumen. ”Pemulihannya diperkirakan berlangsung lama dan bergantung pada kemampuan setiap negara mengatasi pandemi dan mempercepat vaksinasi Covid-19,” ujarnya melalui keterangan pers.
UNCTAD mencatat, volume perdagangan maritim global tumbuh minus 3,8 persen pada 2020. Pada 2021, volumenya diperkirakan tumbuh 4,3 persen. Prospek jangka menengah perdagangan maritim tetap positif, tetapi tetap dibayangi oleh risiko dan ketidakpastian akibat imbas pandemi Covid-19.
Masih berlanjutnya pandemi Covid-19 berpotensi menyebabkan imbas benang kusut perdagangan maritim global terhadap kinerja ekpsor dan impor Indonesia berlangsung lama. Kenaikan harga barang-barang impor dan bahan baku impor juga sudah terjadi. Apalagi, tren impor Indonesia mulai tumbuh seiring dengan peningkatan permintaan yang memicu geliat industri.
Badan Pusat Statistik mencatat, impor Indonesia pada Oktober 2021 senilai 16,29 miliar dollar AS. Kinerja impor itu tumbuh 0,36 persen secara bulanan dan 51,06 persen secara tahunan. Impor tersebut didominasi oleh impor bahan baku/penolong, yaitu sebesar 75,5 persen.
Impor bahan baku/penolong itu tumbuh sebesar 1,77 persen secara bulanan atau 55,82 persen secara tahunan. Kemudian disusul impor barang modal yang berkontribusi sebesar 14,69 persen dan tumbuh 0,36 persen secara bulanan atau 51,06 persen secara tahunan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menuturkan, peningkatan impor itu didorong oleh permintaan industri dalam negeri. Pelonggaran level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di sejumlah daerah pada Oktober 2021 turut mendorong peningkatan aktivitas sektor manufaktur nasional.
”Hal ini sejalan dengan peningkatan Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur Indonesia pada Oktober 2021 yang sebesar 57,2. PMI tersebut mencapai rekor tertinggi sejak survei tersebut digelar pada April 2011,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengungkapkan, kenaikan harga biaya logistik global ditambah dengan lonjakan harga pangan dunia telah menyebabkan harga bahan baku pangan impor naik. Harga gandum, beras khusus, dan gula, bahkan pewarna dan pengawet makanan, sudah naik di kisaran 20-30 persen.
”Hal ini semakin memberatkan usaha dan industri makanan-minuman yang belum pulih sepenuhnya dari imbas pandemi Covid-19. Kenaikan harga bahan baku pangan ini tentu saja akan berimbas pada kenaikan harga produk-produk makanan-minuman olahan ke depan,” ujarnya.
Adhi juga menyatakan, kenaikan harga pangan olahan di dalam negeri tidak hanya terpengaruh kenaikan biaya logistik global dan harga bahan baku impor. Kenaikan harga pangan olahan juga akan dipengaruhi kenaikan biaya logistik laut di dalam negeri.
Saat ini, biaya pengapalan kontainer Jakarta-Medan naik 46 persen dari Rp 8,75 juta per kontainer menjadi Rp 12,8 juta per kontainer. Adapun biaya pengapalan kontainer Jakarta-Pekanbaru naik 29 persen dari Rp 9,15 juta per kontainer menjadi Rp 11,8 juta per kontainer.
”Hingga saat ini, kenaikan biaya pengapalan kontainer di dalam negeri dan luar negeri masih terjadi. Kontainer memang disediakan, tetapi tarifnya masih tinggi,” ujarnya.
Sebelumnya, tersendatnya perdagangan maritim global juga berimbas pada kelangkaan kontainer di dalam negeri. Kementerian Perdagangan bersama pemangku kepentingan terkait berupaya menyediakan kontainer bagi para eksportir.
Industri mebel dan kerajinan disediakan 800-1.000 kontainer per bulan menuju New York, Los Angeles, Savannah, Baltimore, dan Florida. Adapun industri makanan-minuman mendapatkan 3.500-3.800 kontainer per bulan ke sejumlah negara di Asia Tenggara, Afrika, Eropa, dan Timur Tengah serta China, Korea Selatan, Hong Kong, Jepang, India, dan Pakistan. Fasilitas itu juga dapat dimanfaatkan oleh eksportir-eksportir lain.
Langkah itu baru mengatasi kelangkaan kontainer di dalam negeri untuk menopang ekspor. Biaya logistiknya masih tergolong tinggi sehingga masih banyak pembeli dari luar negeri yang meminta penundaan pengiriman.
Pemilik usaha furnitur Lifestyle Furniture Indo, Jepara, Jawa Tengah, Ganggas Selo Tamtomo, mengatakan, upaya itu belum dapat menekan tarif peti kemas global. Langkah itu baru mengatasi kelangkaan kontainer di dalam negeri untuk menopang ekspor.
”Biaya logistiknya masih tergolong tinggi sehingga masih banyak pembeli dari luar negeri yang meminta penundaan pengiriman,” katanya.