Biaya pengapalan kontainer global semakin menggila karena meningkat 4-9 kali lipat. Banyak kalangan yang menyebut fenomena ini sebagai ”perfect storm”, supernova, dan ”tambang emas” logistik global.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perfect storm atau badai yang sempurna. Begitu banyak kalangan menyebut lonjakan gila-gilaan biaya pengapalan kontainer global yang turut menghambat ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia.
Ada juga yang menyebutnya sebagai supernova, ledakan ”energi” atau biaya pengapalan dalam siklus panjang logistik maritim dunia. Disebutkan pula, kapal-kapal kontainer kini menjadi ”tambang emas” perdagangan internasional.
Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, Jumat (1/10/2021), mengatakan, biaya pengapalan kontainer antarbenua meroket sejak triwulan IV-2020. Biayanya sempat naik 2-4 kali lipat dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 dan terus meningkat hingga sembilan kali lipat pada semester II-2021.
Biaya pengapalan satu kontainer kapasitas 40 feet (kaki) dari Indonesia ke Amerika Serikat per Agustus 2021 sebesar 21.500 dollar AS. Padahal, pada Agustus 2020, biayanya hanya 4.000 dollar AS. Kenaikan biaya pengapalan juga terjadi untuk rute Indonesia ke Eropa, Timur Tengah, Jepang, Korea Selatan, dan Australia.
”Untuk rute ke China dan negara-negara di Asia Tenggara, lonjakan biaya pengapalan tidak terlalu naik signifikan. Hal ini terjadi lantaran banyak kapal kontainer yang semula mengangkut produk-produk ekspor China ke Indonesia bisa dimanfaatkan muatan baliknya,” kata Sobur ketika dihubungi di Jakarta.
Biaya pengapalan satu kontainer kapasitas 40 kaki dari Indonesia ke Amerika Serikat per Agustus 2021 sebesar 21.500 dollar AS. Padahal, pada Agustus 2020, biayanya hanya 4.000 dollar AS.
Kenaikan biaya dan kelangkaan kontainer terjadi lantaran penutupan sejumlah pelabuhan besar di dunia untuk mengendalikan pandemi Covid-19. Hal itu juga disebabkan perang dagang AS-China yang membuat jumlah pengapalan dari kedua negara itu turun drastis.
Kelangkaan dan mahalnya biaya kontainer ini menyebabkan ekspor sejumlah komoditas unggulan Indonesia, terutama ke AS dan negara-negara di Eropa, tersendat. Komoditas ekspor yang tersendat atau tertunda pengirimannya antara lain mebel dan kerajinan, alas kaki, makanan dan minuman, elektronik, serta tekstil dan garmen.
Menurut Sobur, per September 2021 ada penundaan pengiriman mebel dan kerajinan sebanyak 1.500 kontainer kapasitas 40 kaki secara nasional ke AS dan sejumlah negara di Eropa. Potensi kehilangan pendapatan atas ekspor tersebut sekitar 4,5 juta dollar AS.
Jawa Timur paling banyak mengalami penundaan pengiriman, yaitu 800 kontainer. Hal itu menyebabkan mebel dan kerajinan menumpuk di gudang dan tempat produksi, sementara modal usaha para perajin dan pengusaha semakin menipis.
Permintaan penundaaan pengiriman juga dialami pelaku usaha dan industri makanan-minuman. Imbas kelangkaan dan mahalnya biaya pengapalan ke sektor ini lebih krusial. Hal itu terkait biaya pengapalan yang lebih tinggi dari biaya produksi, masa kedaluwarsa, serta label dan standardisasi makanan-minuman negara tujuan ekspor.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menuturkan, nilai produk pangan olahan dalam satu kontainer 40 kaki berkisar 20.000 dollar AS hingga 100.000 dollar AS. Jika biaya pengapalan per kontainer lebih tinggi dari nilai produk per kontainer, pelaku usaha dan industri jelas akan rugi.
”Apalagi jika produk itu dikirim ke sejumlah negara di Benua Amerika, Eropa, dan Timur Tengah, para eksportir bisa menjual rugi. Saat ini, biaya pengapalan per kontainer 40 feet ke Amerika Utara sudah di rentang 22.000 dollar AS-26.000 dollar AS dan Palestina 35.000 dollar AS,” katanya.
Produk olahan pangan yang diekspor harus mengikuti standardisasi, label bahasa, dan komposisi bahan sesuai dengan negara tujuan ekspor tersebut. Produk-produk itu juga memiliki masa kedaluwarsa yang beragam.
Menurut Adi, produk olahan pangan berbeda dengan mebel dan kerajinan. Produk olahan pangan yang diekspor harus mengikuti standardisasi, label bahasa, dan komposisi bahan sesuai dengan negara tujuan ekspor tersebut.
Produk-produk itu juga memiliki masa kedaluwarsa yang beragam sehingga ada produk-produk yang harus segera dikirimkan. ”Jika tidak bisa dikirim atau pengirimannya tertunda lama, produk-produk ini tidak bisa dijual di dalam negeri atau ke negara lain,” ujarnya.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan, Kementerian Perdagangan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, asosiasi logistik, dan operator jalur utama (MLO) pengapalan kontainer telah berupaya menyediakan kontainer bagi para eksportir Indonesia. Bagi industri mebel dan kerajinan akan disediakan 800-1.000 kontainer per bulan menuju New York, Los Angeles, Savannah, Baltimore, dan Florida.
Industri makanan-minuman mendapatkan 3.500-3.800 kontainer per bulan ke sejumlah negara di Asia Tenggara, Afrika, Eropa, dan Timur Tengah serta China, Korea Selatan, Hong Kong, Jepang, India, dan Pakistan. ”Fasilitas itu juga dapat dimanfaatkan oleh industri-industri yang lain lantaran permintaan dari negara-negara lain mulai meningkat,” katanya.
Kontainer-kontainer itu, lanjut Lutfi, berasal dari sejumlah negara lain. Selain itu, Kemendag juga telah meminta agar kapal pengangkut kedelai impor tujuan Indonesia bisa dimanfaatkan untuk mengangkut produk-produk ekspor Indonesia.
HIMKI dan Gapmmi mengapresiasi langkah Kemendag dan pemangku kepentingan terkait tersebut. Namun, kendati kontainer sudah tersedia, biaya pengapalan masih tinggi. Di samping itu, pemanfaatan kapal pengangkut kedelai impor yang masuk kategori kapal bulk carrier atau kargo curah bisa tidak optimal.
Adhi menyatakan, sejumlah anggota Gapmmi tetap akan memanfaatkan fasilitas tersebut dengan mengalokasikan biaya tambahan kemahalan maksimal 15-20 persen mengingat biaya pengapalan tidak bisa diturunkan. Sementara yang lain lebih memilih menunggu biaya pengapalan turun minimal sebanding dengan nilai produk pangan olahan.
”Kami juga khawatir kalau menggunakan kapal curah yang konstruksinya berbeda dengan kapal kontainer. Kalau kapal itu tidak disekat-sekat, barang-barang yang dimuat bisa mudah rusak,” kata Adhi.