Pemerintah Diminta Membuka Data Penghitungan Upah Minimum
Penghitungan dan penetapan upah minimum 2022, yang untuk pertama kalinya akan mengikuti formula baru di UU Cipta Kerja, diharapkan transparan. Pemerintah diminta membuka data dari BPS agar publik bisa ikut mengawal.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Data indikator makroekonomi yang dibutuhkan untuk menghitung upah minimum 2022 telah diserahkan Badan Pusat Statistik ke Kementerian Ketenagakerjaan. Pemerintah diminta membuka data tersebut supaya publik mendapat gambaran dan bisa ikut mengawal penetapan upah minimum sesuai dengan rumus baku yang berlaku.
Total ada 20 jenis data yang disediakan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menghitung upah minimum serta upah khusus bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Namun, saat ini baru sebagian data yang bisa diakses publik, yaitu angka pertumbuhan ekonomi serta inflasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang sudah dipublikasikan secara serentak oleh BPS.
Sementara data lain yang digunakan untuk menghitung upah minimum belum dibuka, yakni data terbaru rata-rata konsumsi rumah tangga per kapita per bulan, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga (ART), serta rata-rata banyaknya ART yang bekerja per rumah tangga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Data itu akan diolah berdasarkan rumus baku penghitungan upah minimum yang baru. Rumus itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Direktur Analisis dan Pengembangan Statistik BPS Ali Said, Selasa (9/11/2021), mengatakan, mekanisme penyerahan data untuk urusan upah minimum akan dilakukan secara terpusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan. Data lengkap untuk penghitungan upah minimum sudah diserahkan BPS ke Kementerian Ketenagakerjaan sejak 5 November 2021.
”Ada beberapa data yang diminta Kementerian Ketenagakerjaan itu menggunakan formula baru yang ada di PP No 36/2021, yang perlu diolah kembali dari data BPS yang sudah ada sehingga angkanya bisa jadi berbeda dengan standar publikasi BPS,” kata Ali saat dihubungi.
Ali mencontohkan data pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk menghitung upah minimum adalah hasil dari penghitungan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) pada triwulan I-III tahun 2021 dan triwulan IV tahun 2020 terhadap PDRB triwulan I-III tahun 2020 dan triwulan IV tahun 2019.
Contoh lain, data khusus seperti rata-rata jumlah ART yang bekerja dalam setiap rumah tangga, yang biasanya tidak dipublikasikan BPS di Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). ”Data ini tidak dipublikasikan BPS,” ujarnya.
Ali menegaskan, kewenangan membuka data itu ada di tangan Kementerian Ketenagakerjaan. ”Kementerian Ketenagakerjaan yang berwenang membuka data khusus terkait upah minimum. Ini untuk menghindari kemungkinan terjadinya perbedaan data dan juga dalam rangka mewujudkan sistem satu data,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar meminta agar data untuk penghitungan upah minimum itu bisa dibuka ke publik. Proses penetapan upah minimum 2022 pasca-berlakunya UU Cipta Kerja ini seharusnya berlangsung transparan.
”Ini data yang dikelola BPS selaku lembaga publik, bukan hanya konsumsi Kementerian Ketenagakerjaan, dinas ketenagakerjaan, dan dewan pengupahan. Apalagi, isu upah minimum ini, kan, isu sensitif. Jangan sampai besaran kenaikannya kecil, ditambah lagi ada kecurigaan dan ketidakpercayaan karena data dan informasinya tidak terbuka,” kata Timboel.
Jika data dibuka, pengawalan publik dan serikat pekerja terhadap penetapan upah minimum kali ini bisa lebih mudah. Sebab, upah minimum ditetapkan melalui rumus baku yang sudah diatur di PP No 36/2021. Angka-angka yang ada tinggal dimasukkan dan dihitung untuk mendapat gambaran upah minimum di daerah masing-masing.
”Supaya ada cross-check dari publik. Ketika nanti diumumkan, bisa dibandingkan hasil olahan datanya, antara yang dihitung buruh dan yang direkomendasikan dewan pengupahan ke gubernur,” ujarnya.
Sementara itu, serikat buruh kembali meminta agar pemerintah tidak memaksakan penghitungan upah minimum sesuai dengan PP No 36/2021. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Mirah Sumirat mengatakan, di tengah krisis akibat pandemi, kenaikan upah minimum 2022 seharusnya mengacu pada hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL).
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah melakukan survei KHL di 24 provinsi dengan menggunakan 60 komponen KHL. Dari hasil survei itu, KSPI merekomendasikan besaran kenaikan upah minimum yang paling layak adalah 7-10 persen. ”Kenaikan upah minimum harus berdasarkan survei KHL, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Molor dari target
Menurut Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Surnadi, sampai Selasa, Depenas belum menerima data statistik tersebut dan belum mendapat undangan untuk membahas penghitungan upah minimum.
Dinas ketenagakerjaan dan dewan pengupahan di daerah-daerah juga masih menunggu penyerahan data dari Kementerian Ketenagakerjaan. Surnadi memperkirakan, pengumuman penetapan upah minimum akan molor dari target semula yang awalnya diperkirakan pada 10 November 2021.
Karena belum memegang data aktual, Depenas belum memiliki gambaran mengenai penetapan upah minimum. ”Yang pasti tidak akan seperti dulu ketika masih menggunakan PP Nomor 78 Tahun 2015. Akan sulit untuk menaikkan upah minimum sampai 8 persen lagi. Kalaupun naik, paling berkisar 2-3 persen,” ujar Surnadi.
Selain data untuk menyesuaikan besaran upah minimum tahun depan, BPS juga perlu mengeluarkan angka garis kemiskinan tingkat provinsi untuk menetapkan patokan upah khusus untuk usaha mikro-kecil.
Sementara itu, untuk menetapkan upah minimum kabupaten/kota untuk pertama kalinya, dibutuhkan tambahan data nilai purchasing power parity (PPP), median upah, serta tingkat pengangguran terbuka (TPT) tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Data ini juga tidak dipublikasikan BPS dan diserahkan langsung ke Kementerian Ketenagakerjaan.
Saat dimintai keterangan mengenai perkembangan penetapan upah minimum, Kementerian Ketenagakerjaan belum bersedia menjawab lebih detail. Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, persoalan upah minimum saat ini masih dibahas secara internal.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri mengatakan, upah minimum 2022 tetap akan naik meski tidak memenuhi ekspektasi sebagian pihak. Menurut dia, pihak yang tidak puas dengan kebijakan upah minimum 2022 dapat melakukan gugatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.