Dampak UU Cipta Kerja, Kenaikan Upah Minimum Jadi Lebih Moderat
Perubahan sistem pengupahan dalam UU Cipta Kerja akan memengaruhi peningkatan upah minimum tahunan. Sebagai negara yang bertumpu pada konsumsi masyarakat untuk menggerakkan ekonomi, daya beli pekerja perlu dijaga.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rezim baru penentuan upah minimum berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi membuat kenaikan upah minimum menjadi lebih moderat daripada sebelumnya. Artinya, upah minimum tidak akan naik setinggi tahun-tahun sebelumnya ketika penetapan upah minimum masih bisa dinegosiasikan antara perwakilan serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai turunan UU Cipta Kerja mengubah rumusan penghitungan upah minimum yang selama ini berlaku. Sebelumnya, regulasi yang dipakai adalah PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Adi Mahfudz mengatakan, rumus penetapan upah minimum yang sudah diatur lewat PP No 36/2021 dan UU Cipta Kerja harus diikuti sehingga tidak ada lagi ruang negosiasi dalam penetapan upah minimum seperti yang sebelum ini kerap terjadi.
”Selama ini ada salah kaprah dalam menyikapi upah minimum. Upah minimum itu seperti sudah menjadi upah efektif atau upah layak, padahal upah minimum sifatnya adalah sebagai jaring pengaman nasional,” ujar Adi, perwakilan kalangan pengusaha, saat dihubungi, Kamis (23/9/2021).
Sebelum ini besaran upah minimum didapat dengan menyandingkan upah minimum tahun berjalan dengan total persentase pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Formulanya adalah upah minimum tahun berjalan ditambah hasil pengalian upah minimum tahun berjalan dengan hasil penjumlahan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Ke depan, penentuan upah minimum tidak lagi menjumlahkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi, melainkan hanya memakai salah satu variabel antara persentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Variabel yang dipakai adalah yang angkanya tertinggi.
Adapun untuk menghitung upah minimum perlu dilakukan penghitungan batas atas dan batas bawah. Batas atas didapat dengan menyandingkan nilai rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (ART), dan rata-rata jumlah ART yang bekerja di setiap rumah tangga.
Sementara itu, batas bawah upah minimum adalah 50 persen dari batas atas. Variabel batas atas dan batas bawah ini sebelumnya tidak berlaku.
Besaran upah minimum kemudian didapatkan dengan menyandingkan variabel upah minimum tahun berjalan, persentase pertumbuhan ekonomi atau inflasi, dengan selisih batas atas dan batas bawah upah minimum tersebut.
Sebagai simulasi kasar, upah minimum tahun berjalan yang berlaku di DKI Jakarta adalah Rp 4,27 juta. Mengacu pada UU Cipta Kerja, jika pertumbuhan ekonomi Jakarta diasumsikan 6,01 persen, dengan inflasi 3 persen, rata-rata konsumsi per kapita Rp 2,15 juta, rata-rata jumlah ART 4,3, dan rata-rata jumlah ART yang bekerja 1,8, maka besaran upah minimum Jakarta adalah Rp 4,36 juta.
Jika menggunakan rumus lama, dengan asumsi nilai pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang sama, besaran upah minimum Jakarta yang didapat adalah Rp 4,66 juta. Ini menunjukkan, dengan rumus lama, besaran kenaikan upah minimum berpotensi lebih tinggi.
Adi membenarkan, dengan sistem pengupahan baru setelah UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum akan menjadi lebih moderat dibandingkan dengan sebelumnya. Upah minimum tidak akan naik setinggi tahun-tahun sebelumnya ketika penetapan upah minimum masih bisa dinegosiasikan antara perwakilan serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
Serikat pekerja menolak
Anggota Depenas dari perwakilan buruh, Mirah Sumirat, mengatakan, sejumlah perwakilan serikat buruh di Depenas menolak penghitungan upah minimum 2022 menggunakan formula baru tersebut. Dari lima unsur perwakilan buruh, sebanyak dua orang tidak lagi mengikuti rapat-rapat.
Menurut Mirah, tidak tepat jika penetapan upah minimum 2022 mengacu pada UU Cipta Kerja. Ini mengingat regulasi sapu jagat sedang diuji formal di Mahkamah Konstitusi. ”Saat ini posisinya masih JR (judicial review), harapan kami pemerintah seharusnya juga menghormati proses yang berjalan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menambahkan, sebagai negara yang bertumpu pada konsumsi masyarakat untuk menggerakkan perekonomian, upah minimum sebagai jaring pengaman pekerja akan menentukan daya beli.
”Kalau kenaikan upah minimum besar, daya beli masyarakat juga membesar, bisa mengonsumsi barang dan jasa lebih banyak, serta bisa menggerakkan perekonomian. Seharusnya daya beli didukung,” katanya.
Di sisi lain, ruang negosiasi yang ditiadakan dalam UU Cipta Kerja tidak hanya akan merugikan pekerja, tetapi juga kalangan pengusaha. Sebab, mengacu pada UU Cipta Kerja, tidak ada lagi ruang bagi pengusaha untuk meminta penangguhan kenaikan upah minimum seperti sebelumnya.
Sementara itu, di tengah kondisi pandemi Covid-19, ada beberapa pelaku usaha yang terdampak Covid-19. ”Ini menjadi salah satu kelemahan UU Cipta Kerja yang sebenarnya juga menjadi ancaman bagi pengusaha, sementara di kondisi sekarang belum tentu semua pengusaha juga mampu,” katanya.