Upah Diperkirakan Naik Tipis, Jaga Daya Beli Pekerja
Perubahan sistem pengupahan dalam UU Cipta Kerja menjadikan persentase kenaikan upah minimum lebih rendah. Sebagai negara yang bertumpu pada konsumsi masyarakat untuk menggerakkan ekonomi, daya beli pekerja perlu dijaga.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan kenaikan upah minimum 2022 yang mengacu pada formula baru di Undang-Undang Cipta Kerja diperkirakan tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya. Kebijakan pengupahan baru itu perlu diiringi dengan berbagai insentif dan bantuan bagi pekerja agar daya beli masyarakat tidak merosot dan laju pemulihan ekonomi terjaga.
Data indikator perekonomian yang dibutuhkan untuk menghitung besaran upah minimum 2022 akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (5/11/2021) ini. Setelah data itu terkumpul, targetnya, penetapan upah minimum akan segera diumumkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan pada pekan depan.
Berdasarkan simulasi kasar, kenaikan upah minimum dengan menggunakan sistem baru di UU Cipta Kerja itu tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya.
Ambil contoh, upah minimum yang berlaku di DKI Jakarta adalah Rp 4,27 juta. Mengacu pada UU Cipta Kerja, jika pertumbuhan ekonomi Jakarta diasumsikan 6,01 persen, dengan inflasi 3 persen, rata-rata konsumsi per kapita Rp 2,15 juta, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (ART) 4,3, dan rata-rata jumlah ART yang bekerja 1,8, maka besaran upah minimum tahun berikutnya menjadi Rp 4,36 juta.
Jika menggunakan rumus lama, dengan asumsi nilai pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang sama, besaran upah minimum Jakarta yang didapat adalah Rp 4,66 juta. Ini menunjukkan, dengan rumus lama, besaran kenaikan upah minimum berpotensi lebih tinggi dibandingkan jika mengacu pada UU Cipta Kerja.
Contoh lain, Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi dengan upah minimum terendah. Dengan memakai rumus lama, UMP DIY 2020 seharusnya naik dari Rp 1,57 juta menjadi Rp 1,71 juta. Namun, dengan rumus baru, kenaikan UMP DIY 2020 menjadi Rp 1,67 juta.
Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) memperkirakan kenaikan upah minimum menjadi lebih moderat, di kisaran 2-3 persen dari upah minimum yang saat ini berlaku (Kompas, 26/10/2021).
Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum dalam lima tahun terakhir berkisar di angka 8 persen. Upah sempat naik drastis pada 2014 hingga 22,2 persen. Saat itu, upah minimum masih ditetapkan berdasarkan survei komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Pasca-UU Cipta Kerja, upah ditetapkan berdasarkan rumus baru yang bertumpu pada indikator makro ekonomi yang dirilis BPS.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, Kamis (4/11/2021), mengatakan, daya beli pekerja perlu dijaga di tengah krisis karena akan menentukan konsumsi rumah tangga dan pertumbuhan ekonomi. Jika daya beli tergerus, konsumsi agregat melemah dan pemulihan ekonomi pascapandemi sulit dicapai.
Oleh karena itu, kenaikan upah minimum di tengah krisis adalah keniscayaan. Jika upah minimum tahun depan tidak naik secara signifikan, hal itu akan berdampak pada daya beli masyarakat. Apalagi, akibat pandemi, pemotongan upah sudah terjadi di mana-mana.
Menurut dia, perlu ada jalan tengah agar kebijakan upah minimum tidak menggerus daya beli pekerja, tetapi juga tidak memberatkan dunia usaha yang saat ini belum pulih penuh dari dampak krisis ekonomi akibat pandemi.
”Tidak bisa dibebankan semua ke pengusaha karena sebagian pengusaha juga sedang seret saat ini. Harus ada intervensi pemerintah untuk menjaga daya beli pekerja,” ujarnya saat dihubungi.
Faisal mengatakan, pemerintah perlu menyeimbangkan kenaikan upah minimum yang tipis itu dengan kebijakan perlindungan sosial dan insentif bagi kalangan pekerja. Misalnya, menjadikan bantuan subsidi upah (BSU) sebagai program rutin tahunan yang diberikan secara lebih luas.
”Masalahnya, ada kemungkinan tahun depan anggaran perlindungan sosial mulai dikurangi karena pemerintah mau menekan defisit anggaran. Ini harus jadi pertimbangan karena kita tidak tahu apakah tahun 2022 nanti kondisi sudah pulih atau tidak,” kata Faisal.
Dalam Rancangan APBN 2022, pemerintah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial Rp 427,5 triliun untuk tahun 2022, turun sekitar 12 persen dibandingkan anggaran perlindungan sosial pada 2021 sebesar Rp 487,8 triliun.
Menunggu BPS
Wakil Ketua Depenas Surnadi membenarkan, upah minimum 2022 kemungkinan tidak akan naik setinggi tahun-tahun sebelumnya akibat mengikuti rumus baru. Depenas memperkirakan kenaikan di angka 2-3 persen, tetapi itu belum bisa dijadikan patokan karena masih menunggu data riil dari BPS.
Ia mengatakan, seluruh data dari BPS seharusnya masuk Jumat ini. Data itu akan diolah di tingkat pusat sesuai rumus baru yang berlaku. Depenas telah meminta agar Kemenaker mengumumkan upah minimum 2022 pada 10-12 November 2021.
”Memang regulasi menyatakan waktunya paling lambat diumumkan pada 21 November, tetapi kami ingin lebih cepat karena dewan pengupahan daerah juga harus membahas besaran upah minimum di daerah masing-masing,” kata Surnadi, perwakilan dari unsur serikat buruh.
Secara total, ada 20 jenis data yang harus disediakan BPS untuk penghitungan upah minimum dan upah khusus bagi usaha mikro dan kecil. Beberapa data yang diperlukan untuk menghitung penyesuaian upah minimum 2022 adalah pertumbuhan ekonomi triwulan III-2021, rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (ART), dan rata-rata jumlah ART yang bekerja di setiap rumah tangga. Adapun angka inflasi per Oktober 2021 sudah dirilis BPS.
BPS juga perlu mengeluarkan angka garis kemiskinan menurut provinsi untuk penetapan upah bagi usaha mikro dan kecil. Sementara, untuk menetapkan upah minimum kabupaten/kota untuk pertama kali, dibutuhkan juga tambahan data nilai purchasing power parity (PPP), median upah, serta tingkat pengangguran terbuka (TPT).
Surnadi berharap, pemerintah dapat mengimbangi kenaikan upah yang tipis itu dengan menggencarkan bantuan subsidi bagi pekerja. Dari hasil survei pasar terbaru berdasarkan KHL, daya beli pekerja merosot tajam. Daya beli pekerja Jakarta, misalnya, hanya Rp 3,6 juta. ”Ini turun anjlok dibandingkan sebelum pandemi. Itu baru Jakarta, apalagi daerah lain,” katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kemnaker Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah akan mempertimbangkan berbagai masukan dari pihak buruh dan pengusaha. ”Kami tentunya akan mengambil kebijakan yang paling baik dengan mempertimbangkan banyak sisi,” ujar Anwar.
Seperti diketahui, buruh meminta agar kenaikan upah minimum menyentuh 7-10 persen dan menolak penetapan upah minimum menggunakan formula baru sesuai UU Cipta Kerja. Sementara, pengusaha menolak jika kenaikan setinggi itu karena menilai sebagian sektor usaha saat ini belum pulih dari dampak pandemi.
”Kami berharap pemerintah daerah tetap mengikuti PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Apalagi, kondisi pandemi menuntut adanya percepatan pemulihan ekonomi lewat penyerapan tenaga kerja,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani.