Serikat buruh mengusulkan kenaikan upah minimum tahun 2022 di rentang 5 sampai 10 persen. Upah minimum tetap diharapkan naik sebagai jaring pengaman yang bisa menjaga daya beli pekerja selama pandemi Covid-19.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan buruh menolak penetapan upah minimum tahun 2022 sesuai Undang-Undang Cipta Kerja mengingat regulasi sapu jagat itu sedang diuji materi. Buruh berharap tetap ada kenaikan upah yang proporsional tahun depan dengan menyesuaikan kondisi sejumlah sektor usaha yang sedang terdampak pandemi Covid-19.
Besaran kenaikan upah yang diharapkan berkisar antara 5-10 persen dari tahun ini sesuai dengan kondisi di masing-masing daerah. Upah minimum tetap diharapkan naik sebagai jaring pengaman yang bisa menjaga daya beli pekerja selama pandemi.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, Rabu (29/9/2021), mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, upah minimum tetap perlu dinaikkan dalam jumlah yang proporsional dan mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL).
Elly mengusulkan agar upah minimum dinaikkan dalam kisaran 5-7 persen, tetapi tetap disesuaikan dengan kondisi ekonomi saat ini. Artinya, beberapa sektor yang sedang terpukul pandemi, seperti pariwisata dan transportasi, dapat dimaklumi dan dikecualikan.
Namun, masih ada sektor lain yang bertahan selama pandemi, bahkan lebih untung. ”Untuk sektor yang masih jalan itu, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak menaikkan upah minimum. Kami tidak mau bombastis, cukup 5-7 persen kenaikan. Yang penting ada kenaikan, meski jangan hanya naik 2 persen juga karena kondisi sedang sulit,” kata Elly saat dihubungi.
Ia berharap Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) tidak mengeluarkan surat edaran (SE) lagi seperti tahun lalu. Tahun lalu, Menaker memang memutuskan upah minimum 2021 tidak naik karena mempertimbangkan dunia usaha yang sedang terpukul pandemi. Pada penerapannya, ada beberapa provinsi yang tidak mengikuti SE dan menaikkan upah minimum mereka.
Menaker juga tercatat telah mengeluarkan beberapa SE lain selama pandemi ini yang memungkinkan pelaku usaha untuk mengurangi upah para pekerjanya dengan pertimbangan pandemi. ”Surat edaran-surat edaran itu banyak dijadikan legitimasi oleh pengusaha yang nakal untuk tidak menjalankan kewajibannya selama pandemi,” kata Elly.
Dalam konferensi pers terpisah, Rabu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengusulkan kenaikan upah minimum di kisaran 7-10 persen dengan kisaran yang berbeda-beda di tiap daerah. Persentase itu didapatkan dengan mengacu pada hasil survei biaya kebutuhan hidup riil di tiap daerah dengan menggunakan komponen KHL.
Komponen KHL itu diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Ada 60 item kebutuhan hidup yang berkisar dari komponen makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan rekreasi serta tabungan.
Dalam UU Cipta Kerja, komponen KHL ini tidak lagi dijadikan pertimbangan saat menentukan upah minimum. Upah minimum ditentukan hanya berdasarkan rumus-rumus baku yang mengacu pada data statistik indikator makro-ekonomi dari Badan Pusat Statistik.
”Kami sudah melakukan survei ke pasar di tiap daerah dan sudah didapatkan rata-rata nasionalnya. Ada peningkatan harga beberapa kebutuhan hidup di pasar sehingga ketika dikalkulasi, dari 60 item tersebut muncul kenaikan rata-rata upah sebesar 7-10 persen,” kata Said.
Uji materi
Elly mengatakan, penetapan upah minimum 2022 tidak pantas mengacu pada UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya karena regulasi tersebut saat ini masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Hal senada juga disampaikan Said.
”Seharusnya pemerintah menunggu dulu proses di MK. Bagaimana kalau kami dimenangkan oleh MK, tetapi perusahaan-perusahaan sudah telanjur menerapkan upah minimum sesuai perhitungan di UU Cipta Kerja?” kata Said.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah dan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) sedang bersiap menetapkan upah minimum 2022 sesuai ketentuan pengupahan terbaru di UU Cipta Kerja. Saat ini, Depenas di berbagai daerah sedang membuat simulasi besaran upah minimum sembari menunggu rilis indikator ekonomi makro terbaru dari BPS.
Beberapa data terbaru yang diperlukan adalah angka inflasi September 2021 dan tingkat pertumbuhan ekonomi triwulan III-2021. Variabel lain, seperti rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (ART), dan rata-rata jumlah ART yang bekerja di setiap rumah tangga, akan diambil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2021.
Penangguhan
Selain membatasi proses perundingan yang selama ini ada dalam proses penentuan upah minimum dengan mengacu pada komponen KHL, UU Cipta Kerja juga meniadakan ruang bagi pengusaha untuk memohon penangguhan upah minimum.
Sebelum ini, pemberi kerja dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk tidak membayar upah minimum sesuai standar yang berlaku sampai kurun waktu tertentu. Terkait hal ini, Wakil Ketua Depenas dari perwakilan pengusaha Adi Mahfudz menilai, di tengah kondisi pandemi, seharusnya perlu ada pengecualian.
”Secara normatif kita memang tetap harus mengikuti regulasi. Tetapi, dengan kondisi saat ini, saya kira ada yang perlu dikecualikan. Semua harus dikembalikan pada kemampuan perusahaan. Jangankan saat pandemi, saat normal pun diizinkan sejauh ada kesepakatan bersama,” katanya.
Menurut dia, kesenjangan upah minimum saat ini sudah terlalu tinggi. Selain kesenjangan antarprovinsi, juga kesenjangan antarsektor karena selama ini berlaku upah minimum sektoral. ”Kita tidak bisa merujuk pada upah minimum yang harus naik terus. Selama ini sudut pandang kita salah. Upah minimum itu kan sifatnya jaring pengaman, bukan upah layak atau upah efektif,” kata Adi.