Desain Jamsostek Perlu Dipermudah bagi Pekerja Platform Digital
Pemerintah punya pekerjaan rumah untuk memodifikasi desain program Jamsostek agar lebih ramah dan terbuka terhadap pekerja informal, termasuk pekerja digital berstatus mitra yang jumlahnya diperkirakan akan makin banyak.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum banyak pekerja platform digital atau pekerja gig ekonomi yang dilindungi program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau Jamsostek. Desain Jamsostek perlu dipermudah untuk menaungi para pekerja informal dengan status kemitraan. Pemerintah masih mencari-cari bentuk perlindungan sosial yang pas.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua, mengategorikan pekerja dengan status kemitraan sebagai pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri. Di Badan Pengelola (BP) Jamsostek, mereka masuk kategori peserta bukan penerima upah (BPU) atau pekerja informal.
Saat ini, jumlah peserta BP Jamsostek kategori BPU masih sangat minim. Per Maret 2021, ada total 3,25 juta peserta segmen BPU dengan peserta aktif hanya 2,7 juta orang. Jumlah itu hanya mencakup sekitar 4,2 persen dari total jumlah pekerja informal yang mendominasi struktur angkatan kerja nasional per Februari 2021, yaitu 78,14 juta orang.
Kepala Kebijakan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Elan Satriawan mengatakan, ke depan pemerintah punya pekerjaan rumah untuk memodifikasi desain program Jamsostek agar lebih ramah dan terbuka terhadap pekerja informal yang ada di kategori BPU, termasuk para pekerja digital berstatus mitra yang jumlahnya diperkirakan akan semakin banyak.
”Kita harus melakukan penyesuaian regulasi yang melandasi pelaksanaan Jamsostek, khususnya untuk menyasar pekerja segmen BPU dan platform digital. Akses kepesertaan Jamsostek perlu diperluas untuk mereka, khususnya yang rentan,” kata Elan dalam webinar yang diselenggarakan TNP2K tentang jaminan sosial bagi pekerja platform digital, Selasa (2/11/2021).
Lebih lanjut, menurut Elan, pemerintah dan BP Jamsostek perlu berkolaborasi dengan perusahaan platform digital untuk memastikan akses Jamsostek bagi para pekerja platform digital. Menurut Deputi Direktur Bidang Kepesertaan Program Khusus BP Jamsostek Hadi Purnomo, hal itu sudah mulai dilakukan, salah satunya dengan Gojek.
Kemudahan-kemudahan itu diupayakan melalui pendaftaran kepesertaan Jamsostek serta desain pembayaran iuran bulanan. BP Jamsostek bekerja sama dengan berbagai perusahaan aplikasi daring untuk memudahkan pendaftaran dan pembayaran iuran.
Dalam kasus Gojek, pendaftaran kepesertaan jamsostek dilakukan melalui kanal khusus yang dikembangkan Gojek dengan BP Jamsostek. Sementara iuran rutin Jamsostek otomatis dipotong dari saldo Gopay mitra setiap bulan. Sampai Oktober 2021, mitra Gojek yang terdaftar di BP Jamsostek ada 113.449 orang, masih jauh dari jumlah total mitra pengemudi yang ada.
Pekerja platform digital dengan status mitra sejauh ini masih menanggung sendiri biaya iuran Jamsostek per bulan, berhubung status mereka di Permenaker 5/2021 dikategorikan sebagai pekerja mandiri.
Hadi mengatakan, besaran iuran yang harus dibayar pekerja BPU masih proporsional dan tidak membebani pekerja, yakni Rp 16.800 per bulan untuk program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), serta Rp 36.800 per bulan untuk program JKK, JKm, dan Jaminan Hari Tua (JHT).
”Dengan iuran sebesar itu, manfaatnya luar biasa. Sayang sekali belum semua mitra pengemudi memanfaatkan ini karena sifatnya masih sukarela, belum diwajibkan,” katanya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai, skema pembayaran iuran untuk mitra platform digital sebaiknya ditanggung oleh perusahaan platform yang bersangkutan, tanpa menjadikan para mitra platform digital menjadi pekerja formal.
”Sebenarnya akan lebih bagus dijadikan pekerja formal, tetapi pasti akan ada penolakan dari platform digital. Lebih baik program jamsosnya saja diperluas dengan iuran dibayar oleh platform digital sebagai bentuk perlindungan dan tanggung jawab kepada para mitranya,” ujarnya.
Pemerintah masih mencari bentuk perlindungan sosial yang pas bagi para pekerja platform digital. Hal itu tidak lepas dari polemik mengenai status para mitra platform, apakah mereka terikat hubungan kerja dengan perusahaan platform selaku pemberi kerja atau sebagai rekan dalam hubungan kemitraan.
Elan mengatakan, ada beberapa negara yang dijadikan studi banding. Di Swiss, misalnya, mitra pengemudi di platform transportasi daring dianggap sebagai pekerja sehingga pengelola platform harus membayarkan iuran Jamsostek pekerjanya, khususnya untuk jaminan kecelakaan kerja. Untuk jaminan non-kecelakaan kerja, pengelola platform dapat membebankan kontribusi iuran ke pekerjanya.
Di Hongaria, pengemudi platform transportasi daring dianggap sebagai mitra atau pekerja mandiri yang berusaha sendiri sehingga iuran jaminan sosial harus ditanggung oleh mereka sendiri. ”Sementara, ada negara lain, seperti Finlandia dan Swedia, yang kebijakannya ada di tengah-tengah, ini yang perlu kita pelajari untuk konteks kita,” kata Elan.
Pemerintah cenderung memilih memperluas sistem perlindungan sosial ke kelompok pekerja informal ketimbang memformalisasi mereka. Belajar dari pengalaman negara-negara berkembang lain, upaya formalisasi umumnya membutuhkan waktu lebih lama dan bukan hal yang mudah.
”Memang ini seperti argumen telur dan ayam. Apakah mau diformalkan dulu jenis pekerjaannya agar mereka berpartisipasi di Jamsostek dan ikut membayar pajak? Atau sebaliknya, justru dengan memasukkan mereka ke dalam sistem perlindungan sosial, pelan-pelan status kesejahteraannya naik dan mereka beralih ke pekerjaan formal?” ujarnya.