Antisipasi Dinamika Pasar Kerja yang Lebih Fleksibel
Pemerintah sedang mengkaji payung hukum khusus untuk mengatur status hubungan kerja pekerja gig yang saat ini masih menggunakan status kemitraan yang timpang.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dampak kemajuan teknologi mendorong pasar kerja yang lebih fleksibel serta munculnya model pekerjaan baru, seperti pekerja berstatus mitra yang kini marak ditemukan di ranah ekonomi gig. Fenomena ini harus disikapi dengan kebijakan dan regulasi yang mengatur secara khusus terkait dengan status hubungan kerja serta kesejahteraan para pekerja.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal, Senin (3/5/2021), mengatakan, tren pasar kerja yang lebih fleksibel serta munculnya berbagai model pekerjaan baru itu membawa persoalan yang harus diantisipasi secara serius oleh pemerintah.
Di beberapa negara, termasuk Indonesia, kemunculan tren pekerjaan baru itu berdampak pada kesejahteraan pekerja, mulai dari upah yang minim, nihil jaminan sosial, hingga kontrak kerja yang tidak jelas. Salah satunya adalah fenomena pekerja dengan kontrak kemitraan yang kini marak ditemukan di ranah ekonomi gig (gig economy) dan perusahaan startup digital.
Meski berkontribusi banyak pada perekonomian, tren kemunculan platform digital kerap diiringi dengan buruknya perlindungan terhadap hak para pekerja. Para mitra tidak bisa berlindung pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena statusnya sebagai mitra, bukan pekerja.
”Fenomena ini menciptakan isu hubungan kerja yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara maju,” kata Faisal dalam diskusi Teknologi Digital dan Solusi Ketenagakerjaan yang diselenggarakan CORE Indonesia secara daring.
Di Indonesia, aksi mogok kerja para kurir lepas Shopee Express pada April 2021 lalu didorong oleh kebijakan penurunan upah kurir yang dinilai sepihak dan tidak adil. Para kurir dengan status kerja kemitraan itu tidak digaji dengan standar upah minimum, tetapi skema tarif yang ditentukan oleh manajemen perusahaan platform.
Dinamika serupa ditemukan di pengemudi taksi dan ojek online (ojol), pekerja gig lain yang juga berstatus mitra. Sejak 2018, wacana untuk mengubah status pengemudi daring dari mitra menjadi karyawan sudah ada, tetapi tidak bersambut.
Penelitian oleh Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada, Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja ”Mitra” Industri Transportasi Online, menunjukkan, alih-alih menciptakan kebebasan untuk para pekerjanya, status hubungan kemitraan justru membuat para mitra atau pekerja gig rentan dieksploitasi.
Kajian yang mewawancarai secara mendalam 290 pengemudi ojol di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020 itu menunjukkan, sebagai mitra, para ojol tidak punya hak untuk menentukan skema tarif, bonus, sanksi, dan mekanisme kerja kemitraan. Meski berstatus mitra, hubungan antara mitra ojol dan perusahaannya tidak seimbang.
Menurut Faisal, di negara lain, pemerintah mengeluarkan regulasi baru untuk merespons persoalan yang timbul itu. Sebagai contoh, setelah pengadilan di Spanyol memutuskan bahwa pengemudi platform pengiriman makanan Glovo adalah karyawan, pemerintah pun membuat undang-undang khusus untuk mengonfirmasi status mereka sebagai staf yang digaji.
Negara lain, seperti Inggris, melalui putusan mahkamah agungnya, akhirnya menggolongkan pengemudi Uber (taksi online) sebagai pekerja dengan akses atas upah minimum dan liburan berbayar.
Ia mengatakan, pemerintah harus mulai mengantisipasi dinamika ini dengan mengeluarkan kebijakan, regulasi, atau desain besar arah perkembangan ekonomi digital ke depan. Pemerintah tidak bisa hanya mengikuti tren ekonomi digital tanpa mengantisipasi dinamika persoalan baru yang dibawa oleh tren tersebut.
”Kita menyambut adanya digitalisasi dan potensi penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Tetapi, kita juga tidak ingin mendorong pekerjaan dengan kualitas seperti ini. Saat ini, mungkin baru terlihat di kurir dan pengemudi ojol. Tetapi, kalau tidak diantisipasi, ke depan kasus serupa bisa muncul di jenis pekerjaan lain, di perusahaan lain,” katanya.
Apalagi, dengan pesatnya digitalisasi dan dampak Covid-19, kehadiran para pekerja lepas atau pekerja ekonomi gig ini diprediksi semakin banyak. Salah satu indikatornya adalah bergesernya pekerja dari sektor formal menuju informal.
Survei Angkatan Kerja Nasional 2020 oleh Badan Pusat Statistik mencatat, akibat pandemi, per Agustus 2020, porsi pekerja formal menurun menjadi 39,53 persen. Sementara porsi pekerja informal meningkat menjadi 60,47 persen.
Payung hukum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga semakin mendorong terciptanya pasar kerja yang lebih fleksibel. Misalnya, aturan tentang batas waktu kontrak bagi pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang lebih panjang, pembatasan jenis pekerjaan alihdaya (outsource) yang lebih lentur, serta mekanisme pemutusan hubungan kerja yang relatif lebih mudah, baik dari sisi kewajiban pesangon maupun persyaratannya.
Oleh karena itu, melalui UU Cipta kerja, pemerintah melenturkan beberapa aturan ketenagakerjaan untuk mengikuti dinamika perkembangan pasar kerja global yang tinggi.
Kendati demikian, pemerintah menyadari pentingnya mengantisipasi dinamika transformasi digital di bidang ketenagakerjaan. Terkait dengan itu, Bambang mengatakan, pemerintah sedang mengkaji payung hukum khusus untuk mengatur status hubungan kerja pekerja gig yang saat ini masih menggunakan status kemitraan yang timpang.
”Memang, kemitraan ini hubungan kerjanya jadi sangat fleksibel sekali. Sementara yang namanya hubungan kerja tetap harus ada batasan yang jelas agar tidak merugikan dan tidak menciptakan gesekan sosial. Kita sedang menyusun kajian untuk regulasi itu,” katanya.