Pengaturan Kemitraan Layak bagi Pekerja Gig Mendesak
Pemerintah masih berusaha mencari solusi atas pengaturan hubungan kemitraan di ekonomi gig. Terbelah antara kebutuhan menjaga pengembangan ekonomi digital dan menegakkan perlindungan bagi para pekerja berstatus mitra.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai ranah baru yang tidak memiliki payung hukum jelas, hubungan kemitraan dalam ekonomi gig rentan dengan kesewenangan yang mencederai perlindungan pekerja. Pemerintah perlu segera menata sistem kemitraan di tengah menjamurnya keberadaan platform digital dan tren ekonomi gig.
Penelitian Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada yang mengacu pada 10 standar komponen kerja layak dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan, hubungan kemitraan antara pengemudi ojek daring dan perusahaan platform digital tidak memberikan perlindungan bagi para mitra pengemudi.
Sepuluh komponen itu adalah kesempatan/kepastian kerja, pendapatan cukup, jam kerja layak, menggabungkan pekerjaan, keluarga dan kehidupan pribadi (hak untuk libur), pekerjaan yang tidak diperbolehkan (tidak ada kerja paksa dan mempekerjakan anak), stabilitas/jaminan kerja (tidak diberhentikan sewaktu-waktu), kesempatan dan perlakuan setara, lingkungan kerja aman, jaminan sosial, serta dialog sosial.
Penelitian IGPA UGM, dari 10 komponen itu, hanya dua yang dipenuhi perusahaan platform, yaitu kesempatan/perlakuan setara (tidak ada diskriminasi berdasarkan SARA, pandangan politik, dan jenis kelamin) serta tidak ada kerja paksa dan pekerja anak. Delapan komponen sisanya tidak dipenuhi, menunjukkan penerapan hubungan kerja yang tidak layak.
Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan UGM Ari Hermawan, Kamis (30/9/2021), mencontohkan, pengemudi daring memiliki total jam kerja 87,1 jam per minggu, dua kali lipat dari standar kerja layak ILO, yaitu 40 jam per minggu. Ojek daring juga tidak bisa mengambil hak untuk libur tanpa menghadapi sanksi dan konsekuensi tertentu.
”Meski sifatnya on-demand worker dan bisa saja mematikan aplikasi ketika butuh waktu personal, tetapi ini akan jarang digunakan, karena kalau mengambil libur, bisa ada sanksi lewat sistem algoritma yang membuat order berikutnya jadi sepi,” kata Ari dalam webinar ”Mencari Alternatif Kebijakan dalam Sengkarut Tata Kelola Kemitraan di Ekonomi Gig”.
Pengemudi daring juga tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan/dialog sosial dengan perusahaan platform kendati statusnya sebagai mitra. ”Justru ada aturan tata tertib yang memberi sanksi putus mitra ketika pengemudi dinilai mengajak melakukan aksi (protes) dan merugikan perusahaan,” ujar Ari.
Ketua Umum Asosiasi Driver Online Taha Syafaril Anrousi menambahkan, kepastian kerja minim karena beberapa aplikasi memberi penalti kepada pengemudi apabila terlambat datang, membatalkan order, yang berujung pada pemutusan status kemitraan secara sepihak.
Sementara itu, posisi tawar mitra lemah karena dalam posisi terdesak sedang membutuhkan pekerjaan. ”Teman-teman pengemudi sedang tidak ada pekerjaan. Akhirnya, terpaksa setuju dengan perjanjian kemitraan elektronik yang disodorkan,” kata Taha.
Opsi kebijakan
Pemerintah pun diminta segera duduk bersama lintas sektor untuk membicarakan pengaturan sistem kemitraan, terutama di tengah menjamurnya platform digital dan ekonomi gig. Setidaknya ada tiga kementerian yang terkait, yakni Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian Perhubungan.
Ari menyodorkan tiga opsi kebijakan yang perlu segera ditempuh pemerintah. Pertama, membenahi hubungan kemitraan secara adil dan setara disertai peran tegas negara. Kedua, menjadikannya hubungan kerja, tetapi dengan redefinisi hubungan kerja dan konteks perlindungan kerja yang sifatnya sektoral.
Ketiga, pengaturan pembagian kewenangan dan mengeluarkan payung hukum untuk melindungi pekerja gig. ”Penting ditentukan kementerian mana yang memiliki otoritas jelas untuk menangani hubungan kemitraan ini,” katanya.
Perjanjian kemitraan yang saat ini berlaku dinilai merupakan kemitraan semu karena tidak memenuhi unsur kemitraan dengan posisi tawar yang seharusnya seimbang. ”Jasa ini sudah hampir tujuh tahun berjalan tanpa regulasi jelas. Sekarang semua sudah lengkap, dari data lapangan sampai keresahan publik, pemerintah perlu segera menanggapi,” ujar Taha.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah membenarkan, pola hubungan dalam ekonomi gig belum memenuhi syarat unsur kemitraan yang sepatutnya. ”Kemitraan yang seharusnya bersifat fleksibel dan bebas menjadi tidak setara karena kontrol kerja dimonopoli platform, penegakan hukum lemah, dan hak mitra kadang tidak dipenuhi,” katanya.
Pemerintah masih berusaha mencari solusi atas pengaturan sistem kemitraan ekonomi gig. Di satu sisi, pemerintah tidak ingin peraturan yang terlalu ketat malah menghambat perkembangan platform digital berbasis kemitraan yang saat ini dinilai berjalan baik.
Di sisi lain, pemerintah juga akan mendorong tata kelola pola kemitraan yang lebih adil bagi pekerja. Setidaknya ada empat poin yang akan dibenahi, yakni perlindungan jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja bagi mitra, membangun hubungan kemitraan yang setara, menertibkan praktik hubungan kerja yang berkedok kemitraan, dan memperbanyak lapangan kerja formal.
”Kami akan mengkaji lebih mendalam pola kemitraan ini, terutama agar posisi tawar mitra bisa lebih setara. Kami sedang merumuskan langkah strategis jangka panjang dan menyusun pedoman standar membangun hubungan kemitraan yang sehat,” ujar Ida.