Merger GoTo Diharapkan Ikut Menyejahterakan Mitra Pengemudi
Mitra pengemudi daring berharap ada perbaikan bonus, insentif, dan tarif pengiriman barang untuk menopang kesejahteraan mereka. Meski berstatus mitra, pemerintah meminta tetap ada perlindungan dari sisi ketenagakerjaan.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Merger Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo menempatkan Indonesia dalam jajaran perusahaan dengan valuasi besar berskala global. Di balik potensi bisnis besar di depan mata, kolaborasi dua perusahaan teknologi rintisan besar Indonesia itu diharapkan ikut membawa kesejahteraan bagi para mitra pengemudinya.
Ketua Presidium Nasional Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono, Jumat (21/5/2021), mengatakan, mitra pengemudi daring (taksi dan ojek daring) menyambut baik bersatunya Gojek dan Tokopedia dalam satu perusahaan induk. Kolaborasi yang akan mengembangkan bisnis kedua platform digital raksasa itu diharapkan juga akan berdampak pada perbaikan kesejahteraan para mitra pengemudi.
”Secara korporasi, perusahaan pasti akan semakin besar ke depan. Namun, kesuksesan itu juga harus dibarengi dengan perbaikan tarif dan pendapatan para mitra,” kata Igun saat dihubungi di Jakarta.
Kolaborasi yang akan mengembangkan bisnis kedua platform digital raksasa itu diharapkan juga akan berdampak pada perbaikan kesejahteraan para mitra pengemudi.
Contohnya, kata Igun, perbaikan dari sisi bonus dan insentif bagi para mitra ojek daring serta tarif pengiriman barang untuk menopang kesejahteraan para mitra pengemudi dan kurir lepas. Sejauh ini, para mitra ojek daring sudah mendapat pengumuman dan notifikasi di aplikasi masing-masing bahwa merger telah dilakukan. Namun, belum ada informasi terkait adanya perubahan tarif atau insentif.
”Intinya, kami menyambut baik kolaborasi ini. Namun, jangan sampai dengan terjadinya merger kedua platform ini, bonus dan tarif pengiriman barang malah semakin ditekan. Kami berharap kesejahteraan para mitra semakin diperhatikan juga,” ujar Igun.
Sebelumnya diberitakan, Gojek dan Tokopedia resmi mengumumkan kolaborasi melalui pembentukan Grup GoTo pada Senin (17/5/2021). Platform konsumen digital ini akan menggabungkan layanan e-dagang, pengiriman barang dan makanan, layanan transportasi, serta pembayaran digital dan keuangan.
Pada 2020, Grup GoTo diperhitungkan memiliki nilai transaksi bruto (GVT) lebih dari 22 miliar dollar AS yang terdiri lebih dari 1,8 miliar transaksi. Hasil merger terbaru di awal tahun ini membuat valuasi GoTo mencapai sekitar 18 miliar dollar AS, yang menempatkan perusahaan ini dalam 20 besar perusahaan teknologi global.
Dengan menggunakan data CBInsight, GoTo berada di urutan ke-11 perusahaan teknologi dunia berdasarkan valuasi. Angka ini akan makin besar ketika mereka bisa melakukan valuasi baru sebelum penawaran saham perdana (IPO). Valuasi baru itu mencapai 35 miliar-40 miliar dollar AS (Kompas, 19/5/2021).
Sampai akhir 2020, Grup GoTo memiliki lebih dari 2 juta mitra pengemudi daring dan lebih dari 11 juta mitra usaha dengan jumlah pengguna aktif bulanan mencapai 100 juta orang.
Dalam keterangan tertulis, CEO GoTo Andre Soelistyo mengatakan, penggabungan antara Gojek dan Tokopedia akan memberikan layanan pengiriman yang cepat dengan jangkauan luas untuk berbagai layanan digital.
Otomatis, hal itu diyakini akan membawa keuntungan tersendiri bagi para mitra, termasuk pengemudi ojek daring serta mitra usaha (merchant) Tokopedia. Sampai akhir 2020, Grup GoTo memiliki lebih dari 2 juta mitra pengemudi daring dan lebih dari 11 juta mitra usaha dengan jumlah pengguna aktif bulanan mencapai 100 juta orang.
”Mitra pengemudi Gojek akan punya peluang pendapatan lebih besar, antara lain dengan mengirimkan lebih banyak pesanan dari pengguna Tokopedia. Sementara, penjual atau mitra usaha bisa mendapat berbagai kesempatan untuk meningkatkan usahanya,” ujar Andre.
Jaminan sosial
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, bergabungnya Gojek dan Tokopedia dengan kapitalisasi modal yang besar harus diikuti dengan upaya menyejahterakan para mitranya. Salah satunya dengan mendaftarkan para mitra tersebut ke program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di BP Jamsostek.
Menurut dia, meski berkedok sistem relasi kemitraan dan bukan hubungan kerja, perusahaan platform seharusnya tetap bisa diposisikan sebagai pemberi kerja yang harus memenuhi jaminan sosial bagi mitra pekerjanya. Beberapa pengemudi ojol saat ini sudah mendaftar sebagai peserta BP Jamsostek, tetapi iuran masih dibayar secara mandiri.
”Penggabungan yang sebenarnya menjanjikan ini bisa menjadi persoalan jika para mitra pengemudi tidak ikut mendapat dampak positif. Setidaknya, dengan aset yang lebih besar dan pendapatan yang digabung, GoTo bisa mendaftarkan para mitranya ke program jaminan sosial. Saya yakin, GoTo mampu membayar iuran untuk para mitranya itu,” kata Timboel.
Persoalan hubungan kerja kemitraan pengemudi ojol yang semakin menjamur akhir-akhir ini adalah fenomena baru yang membutuhkan regulasi khusus.
Senada dengan Timboel, Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono mengatakan, persoalan hubungan kerja kemitraan pengemudi ojol yang semakin menjamur akhir-akhir ini adalah fenomena baru yang membutuhkan regulasi khusus.
Namun, selagi pemerintah mengatur mengenai mekanisme kerja dan perlindungan para pekerja mitra ini, perusahaan platform diminta tetap melindungi hak para mitra dari sisi ketenagakerjaan. Salah satunya dengan mendaftarkan para mitra ke program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.
”Hal itu penting untuk menjamin risiko-risiko sosial yang mungkin saja terjadi saat mitra bekerja sehari-hari di lapangan. Kepesertaan itu tentu akan lebih mudah jika perusahaan mau menginisiasi kerja sama dengan BPJS Kesehatan dan BP Jamsostek,” kata Bambang.
Dilema kemitraan
Selama ini, para mitra pengemudi daring kerap bekerja tanpa perlindungan ketenagakerjaan. Tidak hanya di Gojek, tetapi juga perusahaan platform digital lainnya yang menerapkan sistem hubungan kemitraan.
Para pengemudi dianggap bukan pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan, melainkan sebagai mitra kerja. Oleh karena itu, mereka tidak bisa berlindung pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Penelitian oleh Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gadjah Mada berjudul ”Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja Mitra Industri Transportasi Online” menunjukkan, alih-alih menciptakan kebebasan untuk para mitra, status hubungan kemitraan membuat para mitra rentan dieksploitasi.
Kajian yang mewawancarai secara mendalam 290 pengemudi ojol Gojek, Grab, Maxim, Shopee Ekspress di DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020 itu menunjukkan, sebagai mitra, mereka tidak punya hak untuk menentukan skema tarif, bonus, sanksi, dan mekanisme kerja. Meski berstatus mitra, hubungan antara pengemudi ojol dan perusahaannya tidak seimbang.
Di negara lain, dilema terkait pasar kerja yang lebih fleksibel di platform digital ini direspons pemerintah lewat regulasi khusus. Di Spanyol, pemerintah membuat undang-undang khusus yang mengonfirmasi status para pengemudi platfrom pengiriman makanan Gloyo sebagai staf karyawan yang harus digaji.
Di Inggris, melalui putusan Mahkamah Agung setempat, para pengemudi Uber (taksi daring) akhirnya digolongkan sebagai pekerja dengan akses atas upah minimum dan liburan berbayar, bukan sebagai mitra lagi.