Tanpa regulasi yang jelas, para pekerja dengan status kemitraan tidak akan mendapat hak-hak bekerja secara layak. Kemitraan bisa jadi kedok menghindari kewajiban.
Oleh
Agnes Theodora, Erika Kurnia, Maria Paschalia Judith
·6 menit baca
Para kurir pengantar paket adalah garda terdepan dalam lini usaha jasa pengiriman logistik. Selama pandemi, mereka termasuk pekerja esensial yang memudahkan hidup banyak orang. Namun, akibat sistem hubungan kemitraan yang keliru, para kurir lepas rentan dieksploitasi dengan upah rendah dan nihil perlindungan kerja.
Barliantoro, yang baru tamat SMA pada tahun 2019, mulai bekerja sebagai mitra kurir (rider) di unit usaha logistik salah satu perusahaan e-dagang besar, Shopee Express (SPX), sejak November 2020. Setiap hari, ia rela bekerja tanpa waktu menentu untuk mengejar target dan mendapat uang yang lebih banyak. Jika tidak ada kendala, ia bisa mengantar 70-80 paket dalam sehari.
Saat ia pertama kali bergabung, perusahaan mengatur bahwa setiap paket yang diantar dan dijemput kurir dihargai Rp 2.500. Jika mampu mengantar minimal 15 paket, ia bisa mendapat bonus Rp 45.000 per hari. Sementara, jika mampu mengantar 49 paket atau lebih, upahnya naik menjadi Rp 3.000 per paket dan Rp 3.500 per paket di atas pukul 15.00.
Namun, belakangan, ketentuan tarif upah per paket terus turun, sementara target pengiriman untuk mencapai bonus dalam sehari meningkat. Per April, besaran upah per paket turun menjadi Rp 1.800. Kurir juga harus mengantar minimal 40 paket untuk mendapatkan bonus Rp 115.000 sehari. Penyesuaian itu diakuinya tanpa survei atau diskusi dengan para kurir.
”Kalau upah Rp 2.200-Rp 2.500 per paket masih masuk akal. Namun, kalau seperti sekarang, untuk saya pribadi belum cukup. Apalagi, gaji saya kasih semua ke orangtua yang lagi enggak bekerja,” kata Barliantoro.
Hal senada diungkapkan Dhanang, kurir SPX untuk wilayah Jakarta Selatan. Dhanang mengatakan, tarif per paket di setiap daerah berbeda dan kerap berubah tanpa diskusi dengan kurir sebagai mitra. Di wilayahnya, ketentuan baru per April ini menaikkan target pengiriman per hari dari minimal 30 paket untuk mendapat bonus Rp 115.000 menjadi minimal 45 paket.
Jika tidak bisa mencapai target minimal itu, ia hanya dibayar Rp 1.750 per paket. Ia optimistis bisa mencapai target baru itu mengingat ia biasanya mengirim 50 paket dalam enam jam jika tanpa kendala. Namun, menurut dia, tarif dan target yang ditetapkan tidak setimpal, apalagi mengingat bensin dan kuota internet sehari-hari harus ditanggung sendiri.
Setelah melakukan aksi mogok kerja sebagai protes, Dhanang mengatakan, belum ada tanggapan lagi dari perusahaan. ”Manajemen seperti tutup kuping, tetapi belakangan ada isu kalau katanya mau ada revisi harga per paket,” ujarnya.
Barliantoro dan Dhanang hanya dua di antara kurir lepas SPX lain yang merasakan dampak dari penyesuaian tarif upah per paket secara sepihak oleh perusahaan.
Beberapa kurir melakukan aksi mogok kerja sebagai bentuk protes, yang kemudian mencuat dan marak dibicarakan di media sosial dalam satu pekan terakhir. Dukungan dan simpati warganet pun mengalir, meminta Shopee memperhatikan hak para kurirnya.
Penurunan upah kurir ini dilakukan ketika Shopee mencatat peningkatan transaksi yang signifikan selama pandemi. Sepanjang triwulan II-2020, kenaikan transaksi Shopee naik 130 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Riset Iprice juga menunjukkan, tahun lalu, Shopee memiliki pengunjung situs terbanyak, dengan rata-rata pengunjung di atas 90 juta orang.
Direktur Eksekutif Shopee Indonesia Handhika Jahja mengatakan, insentif untuk mitra pengemudi Shopee Express sebenarnya sudah sangat kompetitif dibandingkan perusahaan jasa logistik lainnya.
Contohnya, jika seorang mitra SPX di wilayah Jabodetabek membawa 80 paket dalam sehari, mereka mendapat insentif rata-rata Rp 2.213 untuk tiap paket. Ia membandingkan, rata-rata upah per paket di pasaran oleh jasa logistik lainnya berkisar Rp 1.700-Rp 2.000.
Menurut dia, Shopee telah menyediakan perlindungan asuransi untuk para mitra kurir dan selalu mendengar masukan dan aspirasi mereka. ”Kami pastikan, skema insentif Shopee selalu mengikuti peraturan yang berlaku, serta mengikuti tingkat harga di pasar untuk titik temu terbaik antara permintaan pengguna dan ketersediaan mitra SPX,” kata Handhika.
Kemitraan
Peneliti di Institute of Governance and Public Affairs, Fisipol Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto, menilai, inti persoalan tidak sebatas pada masalah tarif yang terlalu rendah, tetapi kesalahan mengklasifikasi status pekerjaan. Kurir SPX bekerja dengan sistem kemitraan, padahal pola kerja mereka menggambarkan relasi antara pemberi kerja dan karyawan.
”Ada kontrol kerja dari perusahaan, dengan keputusan sepihak terkait perubahan aturan kerja. Itu menggambarkan hubungan buruh dengan pengusaha, bukan hubungan kemitraan. Dengan demikian, seharusnya mereka wajib mendapat jaminan upah minimum, hak libur, jaminan sosial, dan tempat kerja layak,” katanya.
Pola hubungan kemitraan marak ditemukan di ranah ekonomi gig (gig economy) dan start up digital. Adapun ekonomi gig adalah jenis pekerjaan lepas (freelance) yang identik dengan kontrak kerja jangka pendek atau kerja berdasarkan proyek/permintaan.
Di tengah pesatnya kemajuan internet dan kemunculan startup digital, pekerja gig dengan sistem kerja fleksibel semakin marak ditemukan. Namun, tren ini juga kerap diiringi dengan buruknya perlindungan terhadap hak-hak para pekerjanya.
Kondisi serupa dengan para kurir SPX tampak juga pada pengemudi ojek atau taksi online. Pada Februari 2021, di Inggris, sejumlah mitra pengemudi platform transportasi daring asal Amerika, Uber, menggugat perusahaannya ke Mahkamah Agung akibat hal yang sama.
Pengadilan akhirnya mengabulkan gugatan mereka dan mewajibkan manajemen Uber mengangkat pengemudinya sebagai pegawai tetap yang berhak dipenuhi hak-hak ketenagakerjaannya, bukan lagi sebagai mitra.
Sistem kemitraan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, sebenarnya mengatur bahwa pihak yang bermitra harus saling menguntungkan, membutuhkan, dengan kedudukan setara. Tidak boleh ada keputusan yang diambil secara sepihak.
Kenyataannya, status kemitraan yang belakangan semakin marak diterapkan adalah kemitraan semu. ”Kemitraan hanya digunakan sebagai label, tetapi prinsipnya tidak dijalankan. Itu hanya cara untuk menghindari kewajiban untuk memenuhi hak pekerja,” kata Arif.
Tidak adanya regulasi yang jelas terkait status hubungan kemitraan ini membuat pemerintah seakan lepas tangan. Saat dimintai tanggapan, Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani menilai, ketentuan pengupahan sesuai UU Ketenagakerjaan tidak bisa berlaku untuk para mitra kurir yang hubungan kerjanya memakai sistem kemitraan.
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan di UGM, Nabiyla Risfa Izzati, mengatakan, mengingat pasar kerja yang semakin fleksibel serta merebaknya ekonomi gig ke depan, pemerintah harus mulai memikirkan regulasi khusus yang jelas untuk mengatur sistem kerja kemitraan ini, mulai dari menetapkan jenis pekerjaan yang bisa diatur dengan skema kemitraan sampai unsur hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam hubungan kerja kemitraan.
Saat ini, bukan hanya regulasi, kementerian/lembaga yang menangani ekonomi gig dan para pekerjanya pun belum jelas diatur. Akibatnya, penerapan hubungan kerja yang semena-mena dengan berkedok kemitraan pun semakin banyak bermunculan. ”Jadi, pemerintah jangan hanya diam karena menganggap ini bukan hubungan kerja,” ujarnya.
Jika tidak segera diatur, para pekerja dengan status kemitraan tidak akan mendapat hak-haknya untuk bekerja secara layak. ”Ada kekosongan hukum yang harus dijawab dengan regulasi yang jelas. Kalau terus dibiarkan, ini berpotensi jadi masalah serius, karena tren kemitraan ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat, justru akan semakin banyak,” katanya.