Usaha Mikro-Kecil Dibolehkan Menggaji Pekerja di Bawah UMP
Pengecualian hanya berlaku bagi usaha kecil yang masih mengandalkan sumber daya tradisional serta tidak bergerak di usaha berteknologi tinggi dan padat modal. Pelaku usaha jangan aji mumpung. Pengawasan perlu diperkuat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai tahun depan, usaha mikro dan kecil dikecualikan dari kewajiban membayar upah minimum sesuai standar yang berlaku. Pengecualian itu hanya berlaku bagi UMK yang masih mengandalkan sumber daya tradisional serta tidak bergerak di usaha berteknologi tinggi dan padat modal.
Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengupahan. Mulai tahun depan, regulasi itu resmi diterapkan dalam kebijakan penetapan upah minimum 2022.
Pasal 36 PP 36/2021 mengatur, upah pada usaha mikro kecil (UMK) ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dan pekerja. Ketentuannya, upah paling sedikit sebesar 50 persen dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi terkait, dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25 persen di atas garis kemiskinan provinsi.
Ambil contoh DKI Jakarta. Dengan rata-rata konsumsi per kapita 2019 Rp 2,156 juta per bulan dan garis kemiskinan 2019 Rp 637.260 per kapita per bulan, upah di sektor UMK di Jakarta paling sedikit berkisar Rp 796.575 sampai Rp 1,078 juta. Sebagai perbandingan, upah minimum provinsi DKI Jakarta pada 2020 adalah Rp 4,27 juta.
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur pengusaha Adi Mahfudz mengatakan, upah minimum resmi tidak berlaku untuk UMK mulai tahun depan. ”UMK tidak ikut upah minimum, hanya berdasarkan kesepakatan. Tentu dengan rambu-rambu tertentu yang harus diperhatikan,” katanya saat dihubungi, Selasa (26/10/2021).
Adi mengatakan, belum ada rumus baku untuk menghitung standar upah minimum khusus UMK ini. PP 36/2021 hanya mengatur rambu-rambu untuk menetapkan kisaran upah. Depenas sedang mengupayakan adanya formula baku khusus UMK itu.
Adapun jumlah pelaku usaha berskala mikro dan kecil mendominasi dengan komposisi 98 persen. Sisanya adalah usaha besar dan menengah yang wajib mengikuti standar upah minimum.
Ia tidak memungkiri adanya pengusaha ”nakal” yang bisa mengambil celah dari pengecualian kewajiban upah minimum itu. ”Kami di asosiasi pengusaha selalu mengingatkan dan menegur. Oleh karena itu, dibutuhkan pengawasan yang utuh, tidak parsial,” katanya.
Pengecualian upah minimum ini bukan tanpa syarat. Pasal 38 PP 36/2021 membatasi jenis UMK seperti apa saja yang dikecualikan dari ketentuan upah minimum, yakni UMK yang mengandalkan sumber daya tradisional, atau tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan tidak bersifat padat modal.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro Kecil Menengah (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, selama ini pelaku UMK kesulitan membayar upah pekerjanya sesuai standar upah minimum. ”Sangat sulit. Ada banyak UMK yang mencoba mengikuti UMP, malah gulung tikar. Tidak kuat,” katanya.
Menurut dia, pekerja lulusan SMP di sektor UMK di DKI Jakarta umumnya digaji Rp 1,5 juta. ”Biasanya masalah upah dibicarakan secara kekeluargaan dengan pekerja, sesuai roh usaha berskala mikro kecil,” ujarnya.
Ketentuan baru di UU Cipta Kerja dinilai memberi kelonggaran dan legitimasi bagi UMK untuk menyeimbangkan arus kas. Terkait implementasi di lapangan, Ikhsan menilai akan sulit mengawasi kebijakan pengupahan di UMK yang berteknologi tinggi dan padat modal dengan yang tidak.
”Pasti tidak akan bisa dikontrol. Siapa yang mau mengontrol? Kecuali nanti ketika pemeriksaan pajak baru terlihat, kenapa hanya membayar (pekerja) segini, padahal sifatnya high-tech?” kata Ikhsan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, perlu ketegasan dalam menerapkan aturan pengecualian itu agar tidak ada pelaku usaha yang aji mumpung membayar pekerjanya di bawah standar dengan mengatasnamakan status sebagai UMK.
”Usaha berteknologi tinggi, padat modal, tetap harus mengacu ke upah minimum normal. Ketentuan ini harus jelas dan tegas agar tidak jadi masalah di lapangan. Selama ini pengawasan ketenagakerjaan kita memang lemah, dan ketika itu lemah, sesuatu yang grey area seperti ini bisa semakin kabur,” ujarnya.
Ia berharap, dalam penetapan kebijakan upah minimum nanti, pemerintah dapat memberi batasan tegas. Pelaku UMK yang selama ini mampu membayar upah pekerja sesuai standar upah minimum jangan mengurangi upah pekerjanya, kecuali terbukti sedang terdampak pandemi.
Ia menilai, secara umum, pengecualian UMK dari kewajiban upah minimum itu sudah tepat karena pengusaha mikro-kecil yang berskala tradisional tidak mungkin diwajibkan membayar upah minimum, apalagi di wilayah seperti DKI Jakarta yang standar UMP-nya tinggi.
Namun, ia menilai, standar gaji Rp 796.575 sampai Rp 1,078 juta untuk hidup di Jakarta terlampau kecil. Apalagi, untuk pekerja yang sudah berkeluarga. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengintervensi kebijakan ini agar tetap seimbang.
”Kita tidak mau membebani pengusaha kecil, tetapi harus ada intervensi dari pemerintah. Bagaimana agar pekerjanya tetap hidup layak, tetapi kelangsungan UMK juga tetap terjaga. Misalnya, dengan menggencarkan subsidi bagi UMK. Kita ingin UMK berkembang, dan SDM-nya diperkuat,” ujar Timboel.