Regulasi baru tentang kelonggaran menyesuaikan upah bagi perusahaan padat karya terdampak pandemi berpotensi disalahgunakan dengan memangkas upah sepihak. Pelonggaran diharapkan dapat menjaga kelangsungan usaha.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang penyesuaian besaran upah di industri padat karya tertentu selama pandemi Covid-19 berpotensi disalahgunakan. Peran pemerintah sebagai pengawas dinilai mesti diperkuat guna menghindari perusahaan memanfaatkan situasi atau aji mumpung dengan memangkas upah pekerja secara semena-mena.
Ketentuan soal penyesuaian upah itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19. Regulasi itu ditetapkan pada 15 Februari 2021 dan efektif berlaku sampai 31 Desember 2021.
Permenaker mengatur bahwa perusahaan padat karya tertentu yang terdampak pandemi dapat menyesuaikan pemberian upah kepada pekerja. Pada Pasal 3 disebutkan, industri padat karya tertentu yang dimaksud harus memenuhi beberapa kriteria. Pertama, mempekerjakan minimal 200 orang. Kedua, persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksinya paling sedikit 15 persen.
Ketiga, sektor padat karya yang dimaksud adalah industri makanan, minuman, dan tembakau; industri tekstil dan pakaian jadi; industri kulit dan barang kulit; industri alas kaki; industri mainan anak; dan industri furnitur.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Kamis (18/2/2021), berpendapat, ketentuan dalam permenaker yang terlalu longgar dan tidak detail berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan yang berniat memotong upah pekerja. Padahal, kondisinya tidak signifikan terdampak pandemi.
”Tidak ada upaya melindungi atau mempertahankan kelangsungan bekerja bagi buruh. Permenaker ini lebih banyak untuk menjaga kelangsungan usaha,” ujar Timboel saat dihubungi di Jakarta.
Menurut dia, regulasi semestinya mengatur secara detail berapa persen upah yang boleh dipotong sehingga pekerja tetap mampu memenuhi kebutuhan dan hak hidup layak. Pemotongan, misalnya, dengan besaran persentase maksimal 30 persen dari upah semula. Mekanisme dan proses pemotongan juga harus diatur detail untuk memastikan perusahaan memang signifikan terdampak pandemi.
Perusahaan seharusnya menginformasikan terlebih dahulu kepada pemerintah daerah sebelum merundingkan pemotongan upah dengan pekerja. Harus ada keterbukaan dari perusahaan terkait kondisi riil keuangannya. ”Supaya ada proses pengawasan dan evaluasi dari pemerintah. Pemerintah bisa mengukur seberapa dalam dampaknya dan jika memang dibutuhkan, berapa persen pemotongan upah yang layak,” kata Timboel.
Pemotongan upah pekerja lumrah terjadi mengingat banyak perusahaan yang kesulitan finansial selama pandemi. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap pelaku usaha menunjukkan, 14 dari setiap 100 perusahaan, yang beroperasi dengan sistem bekerja dari rumah, merumahkan tenaga kerjanya tanpa bayaran. Pengurangan jam kerja dan pemangkasan upah adalah langkah lain yang relatif banyak diambil perusahaan.
Peran pengawas ketenagakerjaan menjadi penting. Namun, rekam jejak kinerja pengawasan ketenagakerjaan selama ini terbukti lemah dalam menangani pelanggaran hak-hak pekerja dan sengketa hubungan industrial. ”Kalangan serikat pekerja di perusahaan harus siap mengedukasi dan memberi bantuan advokasi kepada anggotanya, jangan berkolusi dengan manajemen,” ujarnya.
Jangan sepihak
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, industri padat karya berkontribusi besar pada aspek sosial ekonomi dan menyerap banyak tenaga kerja. Dengan diterbitkannya permenaker itu, bukan berarti perusahaan padat karya bisa memangkas gaji pekerjanya.
”Permenaker ini bertujuan memberi perlindungan bagi pekerja terkait pelaksanaan pengupahan dan menjaga kelangsungan bekerja sekaligus menjaga kelangsungan usaha bagi pengusaha industri padat karya tertentu yang terdampak Covid-19,” kata Anwar.
Menurut Anwar, permenaker itu justru menegaskan dan memberi pedoman bahwa meskipun perusahaan terdampak pandemi, kewajiban membayar upah dan hak lain kepada pekerja tetap harus dilaksanakan. Penyesuaian besaran upah juga tidak boleh dilakukan semena-mena, tetapi berdasarkan kesepakatan dengan pihak pekerja.
”Kalau perusahaan mau menyesuaikan besaran upah, harus berdasarkan kesepakatan, tidak boleh sepihak dan pelaksanaannya pun sesuai dengan kesepakatan itu,” katanya.
Dalam Pasal 7 Permenaker No 2/2021 disebutkan, kesepakatan antara pengusaha dan buruh harus dibuat secara tertulis dan paling sedikit memuat keterangan tentang besaran upah yang disepakati, cara pembayaran upah, serta jangka waktu berlakunya kesepakatan paling lama 31 Desember 2021. Hasil kesepakatan itu wajib disampaikan kepada pekerja.
Besaran upah yang sudah disesuaikan juga tidak boleh dijadikan dasar perhitungan iuran untuk program manfaat jaminan sosial pekerja, kompensasi pemutusan hubungan kerja, dan hak pekerja lainnya. Artinya, kewajiban pengusaha tetap sesuai besar upah sebelum penyesuaian.
Minta pengertian
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Anton J Supit meminta pengertian dari kalangan pekerja dan perusahaan. Pandemi membawa dampak yang signifikan ke beberapa perusahaan hingga terancam tutup, khususnya perusahaan skala kecil-menengah. Namun, pengusaha juga tidak boleh semena-mena mengurangi upah jika tidak terlalu terdampak.
”Kami harap ada saling pengertian antara kedua belah pihak. Memang, tidak semua pengusaha itu baik dan tidak semua karyawan mau mengerti persoalan. Ada kalanya perusahaan mampu, tetapi dia bilang tidak mampu. Namun, ada juga perusahaan sudah susah payah dan hampir tutup, tetapi pekerja yang tidak mau mengerti,” kata Anton.
Pemerintah diharapkan bisa menjadi penengah dalam perundingan antara perusahaan dan pekerja. ”Paling tidak, sekarang ada payung hukumnya, jadi bisa ada sanksi dan ada kewajiban perundingan, meski perundingan itu pun juga pasti situasional,” katanya.
Terkait keluarnya permenaker ini, Anton menilai, pemerintah harus berani mengambil keputusan yang tidak populer dan dinilai tidak simpatik. ”Pemerintah jangan terlalu main aman. Kalau dalam kondisi berat, harus berani ambil keputusan supaya tidak terjadi kekacauan di lapangan. Kalau semua transparan menjelaskan apa adanya, saya kira orang akan mengerti,” ujar Anton.