Kontribusi Besar, Posisi Tawar UMKM Tak Seimbang
Dengan kontribusi 57-60 persen terhadap produk domestik bruto, usaha mikro, kecil, dan menengah merupakan ”prime mover”. Sayangnya, posisi tawar UMKM dinilai masih tidak seimbang dalam perekonomian nasional.
JAKARTA, KOMPAS — Kontribusi sebesar 57-60 persen terhadap produk domestik bruto menempatkan usaha mikro, kecil dan menengah atau UMKM sebagai prime mover atau penggerak utama pemulihan ekonomi nasional. Walaupun bukan lagi sekadar motor penggerak, posisi tawar UMKM masih tidak seimbang dalam perekonomian nasional.
Padahal, selain kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) yang begitu besar, jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam sektor itu mencapai 97 persen dari seluruh kegiatan usaha di Indonesia. Justru karena itulah, peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjadi sangat penting, terlebih saat UMKM mengandalkan ruang digital.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta dalam bincang-bincang ”Kemitraan UMKM dalam Ruang Ekonomi Digital” yang digelar KPPU di Jakarta, Selasa (6/7/2021), menekankan peran KPPU untuk senantiasa mencermati ketidakseimbangan posisi UMKM di tengah proses pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Arif mencontohkan, di Uni Eropa, ruang digital yang dimasuki UMKM merupakan ruang publik dan sosial, bukan ranah privat. Dalam konteks ruang digital, upaya-upayanya riil membangun kesejahteraan bersama untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, perlu dibangun keseimbangan dari sisi posisi tawar melalui berbagai kebijakan.
”Yang pertama, kita sudah memiliki Undang-Undang Cipta Kerja yang secara jelas bertujuan melindungi UMKM, termasuk koperasi, dalam siklus sistem perekonomian nasional,” ujar Arif.
Baca juga : UMKM Optimistis Sambut 2021
Kedua, lanjut Arif, turunan UU Cipta Kerja sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 memberikan ekosistem yang persisten tentang kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMKM. Di sini ada hal yang terkait dengan fasilitasi literasi digital dan non-digital serta fasilitasi desain produk dan sebagainya.
Arif menambahkan, ada hal yang tak boleh diabaikan, yaitu perlindungan dan alokasi usaha yang ditujukan khusus untuk UMKM. Tentu diperlukan aturan lebih detail melalui peraturan lain, sebagaimana peta jalan yang menempatkan e-commerce (e-dagang). Sekarang sedang disiapkan mengenai hilirisasi dari ekonomi digital, sekaligus terkait perlindungan, pemberdayaan, dan pengembangan UMKM agar para pelakunya naik kelas dan memiliki daya saing di tingkat regional ataupun global.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 15.400 triliun akan bertumbuh 1,5 kali lipat menjadi Rp 24.000 triliun pada tahun 2030. Pada saat bersamaan, hingga saat ini, nilai ekonomi digital Indonesia baru Rp 632 triliun.
”Itu pun sebenarnya sudah luar biasa karena perdagangan cross border Indonesia tumbuh 18,14 persen. Ini akan tumbuh lagi sekitar delapan kali menjadi Rp 4.531 triliun pada tahun 2030 atau 18 persen dari GDP kita. Jadi, ekonomi digital ini tidak bisa kita elakkan,” ujar Lutfi.
Menurut dia, 34 persen dari Rp 4.531 triliun nilai ekonomi digital itu berasal dari e-commerce. Nilai ini akan diikuti oleh teknologi kesehatan sebesar Rp 471 triliun, pendidikan Rp 160 triliun, dan pelayanan bisnis setidaknya 25 persen dari ekonomi digital tersebut.
Lutfi mengingatkan, hilirisasi digital ekonomi harus diperhatikan. Indonesia membutuhkan, tetapi sekaligus harus berhati-hati dan menjaga pasar domestik. Nilai ekonomi digital yang sebesar Rp 632 triliun itu berasal dari generasi pertama digital ekonomi.
Baca juga : Digitalisasi UMKM dan Wajah Baru QRIS
”Hilirisasi digital ekonomi ini akan membantu Indonesia menjadi negara yang sangat kompetitif dalam logistik. Saat Presiden Jokowi mengawali pemerintahan, ongkos GDP logistik kita sebesar 26 persen. Hari ini sudah mencapai 23 persen. Rencananya, kita akan tumbuh baik sekali sampai sebelum akhir tahun 2024 dengan logistik harusnya turun hampir sama dengan Malaysia yang jumlahnya sekitar 13 persen. Untuk itu, peranan digital ekonomi akan sangat penting,” tutur Lutfi.
Pengawasan kemitraan
Guntur S Saragih, Wakil Ketua KPPU, menegaskan, ”Dalam konteks digital ekonomi, KPPU bukan hanya konsisten pada pengawasan persaingan, tetapi juga mereka yang bermitra melalui UU Nomor 20 Tahun 2008. Selain persaingan, memang ada beberapa temuan pelanggaran. Namun, yang paling intensif adalah pengawasan kemitraan.”
Sebelum digitalisasi marak, KPPU melihat kemitraan belum bisa membawa secara efektif perusahaan kecil naik menjadi menengah atau besar. UMKM yang mencapai sebanyak 99 persen menempati porsi 46-47 persen pada tahun 2019. Ini dinilai kurang proporsional karena usaha menengahnya hanya sebesar 13 dari porsi PDB.
”Kita mengharapkan dengan perangkat digital posisi UMKM bisa naik kelas di tingkat regional. Untuk bisa naik kelas makin kompetitif, perlu ada pengawasan kemitraan. Untuk bisa kompetitif, UMKM perlu waktu untuk bisa berjalan tanpa adanya pelanggaran atau eksploitasi dari usaha besar,” kata Guntur.
Menurut Guntur, tidak bisa dinafikan bahwa ekonomi digital dibangun oleh UMKM. Bayangkan, andaikata semua perusahaan digital yang menjalankan bisnisnya adalah pegawai. Hubungannya bukan kemitraan, melainkan kepegawaian. Perusahaan digital dipastikan akan kehilangan daya saingnya.
”Jadi, pengawasan dan kontrol terhadap usaha besar yang bermain digital bersifat wajib. Belum lagi, kalau kita lihat, ada pemanfaatan pajak yang didapat perusahaan besar, ketika dia melakukan proses bisnis di bidang digital. Sebab, satuan pajak dari transaksinya sebagian besar berada di usaha kecil,” tuturnya.
Untuk mencapai keseimbangan dalam kemitraan, sejak tahun 2019, KPPU telah memindahkan dari fungsi advokasi menjadi penegakan hukum. Ini diwujudkan dalam bentuk direktorat penegakan hukum. Meskipun sudah ada puluhan kasus kemitraan yang diproses, KPPU sesuai amanat undang-undang dan peraturan pemerintah lebih banyak mendorong perubahan perilaku.
Guntur menambahkan, apabila ingin melihat sebagai peluang, ruang digital ini membuat UMKM menuju ekspor sehingga bisa meningkatkan kapasitas, volume, dan akhirnya memperkuat perekonomian nasional.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Yudho Taruno, mengatakan, prinsip kemitraan harus saling menguntungkan, memercayai, dan memperkuat. Tidak boleh saling menguasai atau lebih dominan. Dalam konteks persaingan usaha, pelakunya sangat bervariasi, bisa perorangan, badan usaha, asing, ataupun lokal.
Baca juga : Dompet Digital Melaju di Era Pandemi Covid-19
”Terlebih, dalam konteks UMKM, di manakah sesungguhnya posisi UMKM saat masuk ranah digital? Beberapa platform digital pun relasinya sangat bermacam-macam. Ada business to business, model transaksi antarpelaku bisnis yang berjualan, model business to customer atau transaksi jual beli antara konsumen dan pengguna akhir, bahkan customer to customer atau transaksi konsumen dengan pihak ketiga,” ujar Yudho.
Yudho mengingatkan, jangan sampai UMKM berada dalam posisi inferior atau ketergantungan dari pihak platform pasar digital. Perjanjian kemitraan para pihak inilah yang mesti diawasi KPPU.
CEO PT Bukalapak Rachmat Kaimuddin mengatakan, sesuai misinya, Bukalapak ingin menciptakan keadilan ekonomi bagi semua atau sistem ekonomi yang adil dan merata. Teknologi dipergunakan untuk memberdayakan UMKM sehingga UMKM mendapatkan akses perdagangan melalui online marketplace. Relasinya bersifat customer to customer ataupun small business to customer.
Rachmat mengatakan, bisnis digital Indonesia cukup banyak pada masa pandemi ini. Namun, perlu dijaga aturan main yang adil dan jelas karena industri digital sangat baru dan sama-sama ingin berkembang.
”Bukalapak ingin industri bisnis digital sehat. Jangan sampai ada pelaku yang memiliki kekuatan, data yang besar, modal kuat, serta model bisnis yang tidak sustainable sehingga menggunakan kekuatan untuk mengeksploitasi ekosistem mitranya,” ujar Rachmat.
Menurut Rachmat, Bukalapak ingin memberdayakan UMKM. Kesuksesan UMKM adalah kesuksesan bisnis digital. Kemudahan berjualan tetap dikenai biaya dari nilai transaksinya, misalnya penawaran berjualan dari ketegori dasar secara gratis.
Namun, jika ingin naik menjadi super seller dikenakan biaya 0,5 persen dari nilai transaksinya. Pengenaan biaya ini dinilai wajar dibandingkan akses pemasaran yang disediakan. Tentunya Bukalapak juga memerlukan pendapatan untuk selalu berinvestasi dalam mengembangkan produk digital. Di sisi lain, Bukalapak membangun kerja sama yang saling menguntungkan.