”Carpe Diem” Perdagangan
Beragam tantangan menghadang perdagangan, mulai dari pandemi Covid-19, tren perdagangan hijau, transisi energi, perang dagang, hingga kenaikan biaya pengapalan dan kelangkaan kontainer. Pekerjaan rumah RI makin menumpuk.
Carpe diem. Petiklah hari. Begitu aforisme penggalan sajak Quintus Horatius Flaccus atau Horace (65 SM-8 SM), penyair era Kekaisaran Romawi, yang menginspirasi banyak orang untuk menggunakan kesempatan hari ini karena tidak tahu apakah masih punya kesempatan besok.
Kendati banyak menuai kritik lantaran dinilai mengabaikan masa depan, aforisme atau pernyataan sikap hidup ini sebenarnya menjadi pijakan untuk melihat tantangan dan peluang, serta merencanakan masa depan sejak sekarang. Carpe diem menjadi pegangan banyak orang di tengah ketidakpastian hidup.
Pandemi Covid-19 menyebabkan perdagangan global jeblok. Kendati sudah mulai pulih seiring dengan percepatan vaksinasi di berbagai belahan dunia, perdagangan global masih dihantui ketidakpastian akibat imbas pandemi Covid-19.
Di tengah kondisi itu, harga sejumlah komoditas dan sumber energi fosil meningkat signifikan. Menjadi berkah bagi negara-negara produsen dan menjadi beban bagi negara-negara konsumen komoditas-komoditas itu.
Di sisi lain, perang dagang Amerika Serikat (AS)-China masih berlanjut. Biaya pengapalan kontainer lintas samudera (ocean freight) meroket dan kelangkaan kontainer melanda sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di tengah tingginya permintaan sejumlah negara, ekspor mebel dan kerajinan, makanan-minuman, elektronik, alas kaki, dan tekstil Indonesia terhambat.
Bebarengan dengan rentetan persoalan itu, setiap negara dituntut mewujudkan bebas emisi karbon untuk meredam dampak besar perubahan iklim. Lahirlah kebijakan-kebijakan yang mengarah ke sana, antara lain mengurangi penggunaan bahan bakar fosil terutama batubara dan minyak bumi, serta pengenaan bea tambahan atas produk-produk yang mengandung karbon atau dalam proses produksinya menghasilkan karbon (pajak karbon komoditas).
Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, November 2021, banyak negara yang sudah unjuk gigi mempertegas komitmen mewujudkan bebas emisi karbon sesuai amanat Perjanjian Paris 2015. Tak terkecuali China, AS, Jepang, dan Uni Eropa (UE) yang merupakan pasar utama ekspor Indonesia.
China, misalnya, menyatakan akan mengurangi penggunaan batubara secara bertahap dan tidak lagi berinvestasi di sektor pembangkit listrik tenaga batubara. Hal itu dalam rangka mewujudkan bebas emisi karbon pada 2050.
Adapun Komisi UE, seusai mengeliminasi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari daftar sumber energi baru terbarukan, kini tengah mematangkan proposal skema tarif preferensi umum (GSP) UE 2024-2034. Skema GSP baru itu akan mencakup juga dimensi sosial, tenaga kerja, serta lingkungan dan iklim.
Komisi UE juga akan mengadopsi proposal Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan bea karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.
Baca juga: Kebijakan ”Zero Emission” Bakal Berimbas ke Sejumlah Komoditas Ekspor
Sudah barang tentu aneka tantangan di sektor perdagangan itu akan berdampak pada ekspor Indonesia ke depan. Tahun ini, Indonesia masih mendapatkan keuntungan dari siklus super (supercycle) komoditas dan mulai menikmati berkah investasi di sektor otomotif, besi-baja, dan elektronik.
Membenahi diri
Indonesia boleh saja memetik keuntungan perdagangan pada ”hari ini”. Namun, carpe diem perdagangan yang hanya sekadar dimaknai memanfaatkan dan mengoptimalkan berkah siklus super dan investasi tidaklah cukup.
Arus perdagangan global ke depan mulai mengarah ke perdagangan dan industri hijau, serta ekonomi sirkular. Untuk menopang perdagangan dan industri hijau, Indonesia perlu mempercepat progres pembangunan infrastruktur, terutama pembangkit listrik yang bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT) dengan kuantitas memadai dan harga listrik yang relatif terjangkau. Selama ini, pasokan listrik industri nasional bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.
Indonesia boleh saja memetik keuntungan perdagangan pada ”hari ini”. Namun, ”carpe diem” perdagangan yang hanya sekadar dimaknai memanfaatkan dan mengoptimalkan berkah siklus super dan investasi tidaklah cukup.
Artinya, Indonesia memiliki beban besar untuk mempercepat proses transisi energi dari fosil ke EBT. Di tengah pemulihan ekonomi dari imbas pandemi yang menelan banyak biaya, Indonesia juga harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk mewujudkan transisi energi itu.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan, dalam hal transisi energi, Indonesia berada di peringkat ke-71 dari 115 negara dengan skor indeks transisi energi (ETI) sebesar 56 dari total skor 100. ETI Indonesia berada di bawah rata-rata ETI global yang sebesar 59,3.
Dari tahun ke tahun ke tahun, peringkat transisi energi Indonesia terus merosot. Pada 2018, Indonesia berada di peringkat ke-53. Pada 2019 dan 2020, Indonesia menempati peringkat ke-63 dan ke-70.
Baca juga: Perdagangan Global Mengarah pada ”Green Trade”
Di sisi lain, sembari terus memetik buah-buah investasi di sektor industri penopang ekspor, Indonesia juga perlu lepas dari ketergantungan terhadap kapal-kapal asing. Selama ini, 80 persen komoditas ekspor dan impor Indonesia dilayani oleh kapal-kapal asing tersebut. Hal ini menyebabkan Indonesia mengeluarkan banyak devisa untuk membayar biaya pengapalan itu sehingga berpengaruh cukup signifikan terhadap defisit transaksi berjalan.
Indonesia sebenarnya telah memiliki modal besar di sektor ocean freight ini. Tahun ini Indonesia meraih status White List sesuai laporan Tokyo MOU 2020. Tahun lalu status Indonesia masih Grey List dan pada 1993-2019 Black List. Ini berarti kapal-kapal berbendera Merah Putih yang terdaftar di luar negeri diakui sebagai kapal-kapal berisiko rendah dan standar karena telah memenuhi persyaratan regulasi internasional keselamatan dan keamanan pelayaran, termasuk kondisi kerja awak kapal (Kompas, 12 Mei 2021).
Baca juga:
- ”White List” Pelayaran Internasional Indonesia
- RI Butuh Perusahaan Pelayaran Nasional yang Mampu Topang Ekspor-Impor
Carpe diem. Petiklah peluang-peluang itu saat ini juga untuk membenahi beragam persoalan yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekspor ke depan.
Indonesia juga masih memiliki perusahaan pelayaran nasional PT Djakarta Lloyd (Persero) yang didirikan sejak 18 Agustus 1950. Badan usaha milik negara ini memiliki armada kapal curah dan kontainer. Namun, sebagian besar layanannya masih terkonsentrasi di dalam negeri. Salah satunya untuk menopang angkutan batubara dan tol laut.
Ke depan, Indonesia dapat meningkatkan peran perusahaan pelayaran tersebut. Tujuannya adalah mengantisipasi terjadinya kembali kelangkaan kontainer dan meroketnya biaya pengapalan, sekaligus mengurangi penggunaan devisa.
Carpe diem. Petiklah peluang-peluang itu saat ini juga untuk membenahi beragam persoalan yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekspor ke depan.
Baca juga kolom penulis: