Berkah ”Supercycle” dan Investasi
Di tengah berkah kenaikan harga komoditas, transisi produk-produk ekspor Indonesia ke sejumlah negara mulai terjadi. Investasi langsung yang juga ditopang relokasi industri memperkuat struktur ekspor Indonesia.
Sudah 16 bulan berturut-turut, Mei 2020-Agustus 2021, neraca perdagangan Indonesia surplus. Kinerja ekspor tumbuh sangat positif di tengah pasang surutnya kinerja impor. Hal ini berkat siklus super atau supercycle komoditas dan buah investasi.
Buah kenaikan harga komoditas dan investasi itu ditunjukkan oleh kinerja ekspor nonmigas, terutama pada Januari-Agustus 2021. Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor nonmigas Indonesia pada periode tersebut senilai 134,132 miliar dollar AS, tumbuh 37,03 persen secara tahunan.
Lemak dan minyak hewan/nabati, bahan bakar mineral, besi baja, karet dan barang dari karet, bijih logam, serta timah dan produk turunannya tumbuh cukup signifikan. Total kontribusi komoditas-komoditas itu terhadap ekspor nonmigas pada Januari-Agustus 2021 sebesar 45,19 persen. Kontribusi terbesar berasal dari lemak dan minyak hewan/nabati (15,39 persen), bahan bakar mineral (13,41 persen), dan besi baja (9,04 persen).
BPS juga menyebutkan, secara bulanan, harga batubara pada Agustus 2021 naik 11,04 dan minyak kepala sawit mentah (CPO) naik 6,85 persen. Harga batubara acuan (HBA) pada Agustus 2021 sebesar 130,99 dollar AS per ton dan pada September 2021 sudah melonjak lagi menjadi 150,03 dollar AS per ton. Adapun harga referensi CPO pada Agustus 2021 sebesar 1.048,62 dollar AS per ton dan pada September 2021 naik menjadi 1.185,26 dollar AS per ton.
Adapun untuk besi baja, nilai ekspornya pada Januari-Agustus 2021 mencapai 12,130 miliar dollar AS atau tumbuh 94,95 persen. Kinerja positif ekspor komoditas ini ditopang permintaan dari China yang sejak awal tahun hingga Juli 2021 saja totalnya sudah senilai 6,325 miliar dollar AS. Hal ini juga tidak terlepas dari buah investasi sejumlah perusahaan besi baja, termasuk baja nirkarat, China. Mereka mendirikan pabrik besi baja di Indonesia dan mengekspornya ke China.
Apakah tren ekspor yang ditopang buah investasi, serta kenaikan harga komoditas perkebunan dan tambang ini akan berlanjut ke depan? Indonesia tidak bisa selamanya mengandalkan komoditas mentah karena harganya yang rentan bergejolak dan ditentukan perilaku pasar. Harga CPO dan batubara diperkirakan masih tinggi hingga awal tahun depan, tetapi berlahan-lahan akan turun pada pertengahan 2022 dan pada akhirnya akan kembali ke titik ekulibriumnya.
Tantangan ekspor komoditas perkebuhan dan pertambangan itu tak sekadar gejolak harga, tetapi juga menyangkut tren ekonomi hijau yang terus digulirkan, antara lain, oleh negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, China, dan Jepang. Ekspor CPO Indonesia ke sejumlah negara di Eropa masih dibayang-bayangi dengan rencana penerapan Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II Uni Eropa, pembatasan kandungan kontaminan, dan pengenaan pajak pertambahan nilai sebesar 20 persen di Rusia.
Bahkan ke depan, bukan hanya produk komoditas perkebunan dan pertambangan yang menghadapi tantangan tren ekonomi hijau, tetapi juga produk-produk manufaktur.
Uni Eropa juga akan menerapkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.
Agar ekspor komoditas tetap berkesinambungan, tim ekonom PT Bank UOB Indonesia merekomendasikan agar Indonesia perlu mengembangkan ekspor komoditas yang berkelanjutan atau berbasis ramah lingkungan, sosial, dan pengelolaan yang baik (environmental, social and governance/ ESG). Syarat ESG ini mencakup solusi pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, emisi karbon, efisinesi energi, polusi dan sampah, serta ramah lingkungan.
Agar ekspor komoditas tetap berkesinambungan, Indonesia perlu mengembangkan ekspor komoditas yang berkelanjutan atau berbasis ramah lingkungan, sosial, dan pengelolaan yang baik (environmental, social and governance/ESG).
Baca juga:
- Modal Pemulihan Kuat, RI Tetap Perlu Mewaspadai Risiko
- ”Tapering Off” The Fed Bakal Pengaruhi Harga Komoditas
Relokasi dan investasi
Di sisi lain, Indonesia terus memperkuat transformasi struktur ekspor melalui berbagai investasi di sektor industri manufaktur secara bertahap. Buah investasi yang turut mendorong ekspor Indonesia belakangan ini terutama besi baja, kendaraan bermotor, dan elektronik. Ke depan, baterai listrik, kendaraan listrik, hasil olahan timah dan nikel, serta elektronik akan semakin mewarnai komoditas ekspor Indonesia yang bernilai tambah tinggi.
Buah investasi itu juga tidak terlepas dari angin segar relokasi industri milik Amerika Serikat, Jepang, dan Jepang dari China ke negera-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Laporan Investasi ASEAN 2020-2021: Investasi di Industri 4.0 yang dipublikasikan pada 8 September 2021 menyebutkan, ada 23 perusahaan yang hengkang dari China lantaran alasan kenaikan biaya produksi ke negara-negara di ASEAN dan empat di antaranya ke Indonesia.
Keempat perusahaan yang berpindah ke Indonesia adalah perusahaan lampu tenaga surya Alpan Lighting (AS) pada 2020, perusahaan otomotif Hyundai (Korea Selatan) pada 2019, perusahaan pakaian jadi dan tekstil Parkland (Korea Selatan) pada 2020, dan perusahaan kabel Volex (AS) pada 2019.
Dilaporkan juga, beberapa perusahaan multinasional telah merelokasi sebagian pabrik mereka dari China dan Jepang ke Indonesia pada 2020. Perusahaan-perusahaan dari Taiwan, China, itu, antara lain, produsen ban (Kenda Rubber Industrial) dan sistem audio (Meiloon Industrial). Adapun dari Jepang yang merelokasi perusahaannya, antara lain, produsen komponen elektronik (Sagami Electric), alat-alat elektronik (Panasonic), dan suku cadang otomotif (Denso).
Baca juga: Banjir Relokasi Industri di ASEAN dan RI
Kemudian pada 2020, perusahaan lain yang juga mendiversifikasi usaha ke Indonesia adalah LG (Korea Selatan). Perusahaan multinasional itu akan membangun fasilitas industri baterai kendaraan listrik terintegrasi dari hulu ke hilir, termasuk smelter, senilai 9,8 miliar dollar AS.
Jangan sampai transformasi komoditas mentah itu tidak dinikmati para petani dan penambang di hilir. Begitu juga sektor investasi, jangan sampai Indonesia sekadar menjadi pasar dan calon pekerja produktif di dalam negeri melongo.
Pada 15 September 2021, Indonesia telah memulai pembangunan pabrik bateri kendaraan listrik senilai 1,1 miliar dollar AS di Karawang New Industrial City, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Proyek dengan investor utama LG Energy Solution dan Hyundai Motor Group itu merupakan bagian dari investasi senilai 9,8 miliar dollar AS itu. Berikutnya akan dibangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) bahan baku baterai di Maluku Utara dan industri prekursor, katoda 20 giga, baterai sel, dan recycle baterai di Batang, Jawa Tengah.
Baca juga: Babak Baru Industri Mobil Listrik Nasional
Melalui transformasi komoditas berbasis ESG, serta produk-produk bernilai tambah tinggi dari buah investasi dan relokasi industri, struktur ekspor Indonesia ke depan akan lebih baik. Namun, jangan sampai transformasi komoditas itu tidak dinikmati para petani dan penambang di hilir. Begitu juga sektor investasi, jangan sampai Indonesia hanya sekadar menjadi pasar dan calon pekerja produktif di dalam negeri melongo menjadi penonton.
Baca juga kolom penulis: