Tiga tahun termasuk waktu yang terbilang pendek untuk menyamakan kedudukan, bahkan membalikkan ”skor” defisit dagang dengan China. Jika ekonomi sudah pulih dan siklus super komoditas berakhir, defisit masih bisa melebar.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meninjau lahan Kawasan Industri Terpadu Batang di Desa Ketanggan, Kecamatan Grisingsing, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (30/6/2020). Sebanyak tujuh perusahaan asing telah berkomitmen untuk merelokasi perusahaannya dari China ke Indonesia, salah satu tempat relokasi ialah di Kawasan Industri Batang. Pada tahap I Pemerintah menyediakan lahan 450 hektar.
Pada 2024, Indonesia diperkirakan tidak lagi mengalami defisit neraca perdagangan dengan China atau ”zero” defisit. Buah investasi dari China, khususnya di sektor industri hilir pertambangan dan manufaktur, menjadi salah satu penopangnya.
Begitu ungkap Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR pada 25 Agustus 2021. Benarkah demikian dan mudahkah merealisasikannya?
Lutfi menyampaikan optimisme itu bukan tanpa dasar. Sepanjang periode 2015-2019, rata-rata defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap China senilai 15 miliar dollar AS. Pada 2020, defisit tersebut telah terpangkas separuhnya menjadi 7,85 miliar dollar AS.
Sementara pada Januari-Juli 2021, defisit dagang Indonesia terhadap China senilai 3,21 miliar dollar AS atau turun dari 4,27 miliar dollar AS pada periode sama 2020. Komoditas ekspor utamanya masih sama, yaitu batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), serta belakangan ini turut ditopang besi baja.
Lutfi menyebutkan, hal ini tidak terlepas dari ekspor Indonesia ke China yang mulai didominasi oleh produk bernilai tambah, yakni besi baja. Nilai ekspor besi dan baja, terutama baja nirkarat, RI ke China pada 2020 sebesar 10,68 miliar dollar AS. Kemudian pada Januari-Juli 2021, nilai ekspornya sudah menyentuh 8,79 miliar dollar AS. Ke depan, ekspor Indonesia ke China, bahkan ke sejumlah negara di dunia, akan semakin didominasi oleh produk-produk bernilai tambah tinggi.
Pada 2024, Indonesia diperkirakan tidak lagi mengalami defisit neraca perdagangan dengan China atau ’zero’ defisit.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI
Tangkapan layar Corporate Marketing Director Bank of China Handojo Wibawanto yang tengah memaparkan potensi penggunaan yuan atau renminbi di sektor perdagangan dan investasi RI-China dalam dialog virtual ”Implikasi Penerapan LCS Indonesia-China” yang digelar Kementerian Perdagangan pada 4 Agustus 2021.
Dalam dialog ”Implikasi Penerapan LCS Indonesia-China” pada 4 Agustus 2021, Bank of China menyebutkan, China merupakan salah satu investor besar bagi Indonesia. Nilai investasinya pada 2019 sebesar 4,7 miliar dollar AS atau meningkat 100 persen dari 2018. Pada 2020, investasinya senilai 4,8 miliar dollar AS.
Dalam kurun waktu kurang dari enam tahun, peringkat China sebagai investor di Indonesia melonjak dari peringkat ke-9 menjadi ke-2 setelah Singapura. Investasi langsung China ini tidak sebatas pada proyek infrastruktur, seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, tetapi juga menyasar hilirisasi industri tambang dan peningkatan nilai tambah produk manufaktur.
Sebut saja investasi fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, di Maluku Utara. Ada juga investasi pabrik pembuatan baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) di Morowali Industrial Park, Sulawesi Tengah. HRC merupakan barang setengah jadi untuk bahan baku dalam konstruksi jalan, bangunan, dan jembatan. Sementara CRC merupakan bahan baku yang banyak dibutuhkan oleh industri otomotif, peralatan listrik, dan peralatan rumah tangga.
Pada 2020 dan 2021, investasi dari negeri China itu terus berkembang. Misalnya saja, sebuah perusahaan China Contemporary Amperex Technologi (CATL) akan mengembangkan industri baterai litium di Morowali dengan investasi senilai 2,6 miliar dollar AS. Selain itu, ada dua investor China yang berencana membangun pabrik furnitur senilai 1,38 miliar dollar AS dan juga pabrik vaksin pada tahun depan.
Bergulirnya investasi dari China ke sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tidak terlepas dari kebijakan pengurangan emisi karbon, terutama di sektor industri dan kelistrikan. Presiden China Xi Jinping menyatakan, China akan menargetkan emisi karbon mencapai titik tertinggi sebelum 2030 dan netralitas karbon dicapai pada 2060.
Beberapa program yang digulirkan itu mulai dari pengurangan batubara untuk pembangkit lisrik dan industri-industri manufaktur serta pengurangan produk-produk yang mengandung karbon tinggi di industri manufaktur, seperti aneka logam, termasuk besi baja dan nikel.
Tidak mengherankan jika prospek cerah perdagangan dan investasi China ini membuat Kementerian Perdagangan berencana mendirikan kantor perwakilan dagang di empat kota besar di China. Kendati begitu, Indonesia tidak boleh tenggelam dalam euforia investasi dan perdagangan tersebut.
Dari sisi investasi, mobilisasi sejumlah industri dari China ini memang berbuah positif bagi Indonesia. Namun, pada suatu saat, buah itu dapat menjadi bumerang bagi Indonesia.
Dari sisi investasi, mobilisasi sejumlah industri dari China ini memang berbuah positif bagi Indonesia. Namun pada suatu saat, buah itu dapat menjadi bumerang bagi Indonesia yang merupakan negara pengekspor batubara ke China. Selain itu, Indonesia bakal memiliki pekerjaan rumah untuk mengendalikan kandungan karbon dalam produk-produk ekspornya dan emisi karbon yang dihasilkan dari pembangkit listrik.
Uni Eropa (UE) melalui Komisi Eropa akan memberlakukan Cross Border Carbon Tax atau aturan pajak karbon perdagangan lintas negara untuk semua produk impor dari negara-negara di luar kawasannya mulai 2026 dengan target dekarbonisasi kelar pada 2050. Pada masa transisi 2023-2025, UE akan mulai mewajibkan para importir melaporkan jejak emisi karbon (emission footprint) produk-produk mereka.
Dari sisi kinerja perdagangan nonmigas Indonesia-China, Indonesia tetap perlu kritis mencermati belum normalnya perdagangan kedua negara akibat imbas pandemi Covid-19 dan usainya masa siklus super (supercycle) komoditas.
Permintaan industri nasional atas produk-produk impor dari China masih belum sebaik sebelum pandemi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor nonmigas Indonesia dari China pada Januari-Desember 2020 senilai 39,53 miliar dollar AS, turun 5,07 miliar dollar AS atau minus 11,77 persen dari periode sama 2019 yang senilai 44,60 miliar dollar AS.
Di sisi lain, impor nonmigas Indonesia, khusunya besi baja, masih menjadi ancaman bagi industri besi baja dalam negeri. Pada 2020, impornya senilai 6,9 miliar dollar AS, turun dari 2019 yang senilai 10,9 miliar dollar AS. Asosiasi Industri Besi Baja Indonesia (IISIA) menyatakan, penurunan ini bukan lantaran subtitusi impor, melainkan lebih karena penurunan permintaan akibat pandemi Covid-19.
Adapun kinerja ekspor nonmigas Indonesia memang mulai membaik. Pada Januari-Desember 2020, ekspor nonmigas Indonesia ke China senilai 29,93 miliar dollar AS, bertambah 4,04 miliar dollar AS atau tumbuh 15,59 persen dari periode sama 2019. Namun, perlu diingat, capaian positif nilai ekspor Indonesia ke China ini tidak terlepas dari kenaikan harga komoditas, seperti CPO dan batubara.
Tiga tahun termasuk waktu yang terbilang pendek untuk menyamakan kedudukan atau bahkan membalikkan ”skor” defisit dagang dengan China.
Jika ekonomi kedua negara benar-benar pulih dan siklus super komoditas berakhir, defisit neraca perdagangan ini masih mungkin melebar. Indonesia butuh bekerja keras untuk mewujudkan ”zero” defisit neraca perdagangannya dengan China pada 2024 dengan benar-benar memanfaatkan buah-buah investasi. Tiga tahun termasuk waktu yang terbilang pendek untuk menyamakan kedudukan atau bahkan membalikkan keadaan ”skor” defisit dagang dengan China.
Terlepas dari itu, investasi berorientasi ekspor dan hilirisasi industri sangat positif bagi Indonesia. Namun, jangan sampai investasi itu hanya menjadi jembatan migrasi tenaga kerja asing dari China ke Indonesia. Sungguh akan lebih memberikan efek ganda jika investasi itu menopang ekspor sekaligus meningkatkan serapan dan keterampilan tenaga kerja domestik, serta transfer teknologi.