Kebijakan ”Zero Emission” Bakal Berimbas ke Sejumlah Komoditas Ekspor
Kebijakan bebas emisi karbon tidak hanya berimbas pada batubara dan CPO, tetapi juga produk-produk ekspor unggulan Indonesia, seperti besi baja, tembaga, aluminium, nikel, elektronik, pupuk, dan semen.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan zero emission atau bebas emisi karbon tengah disiapkan dan dimatangkan sejumlah negara dan kawasan. Kebijakan itu akan berimbas tidak hanya untuk komoditas batubara dan minyak kelapa sawit mentah, tetapi juga ke komoditas ekspor unggulan lain asal Indonesia, seperti besi baja, pupuk, elektronik, aluminium, dan semen.
Sejak tahun lalu, Pemerintah China di bawah kepemimpinan Xi Jinping menargetkan China bebas emisi karbon pada tahun 2060. Komitmen tersebut kembali dinyatakan Xi Jinping dalam pidato di sidang Majelis Umum Ke-76 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (21/9/2021) siang waktu New York melalui rekaman video.
Beberapa cara yang ditempuh China, antara lain, menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap di dalam maupun luar negeri dan investasi penambangan batubara di luar negeri. China juga akan mengurangi penggunaan batubara di dalam negeri secara bertahap dengan menggantinya dengan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan, serta membangun perumahan ramah lingkungan.
Kemudian pada 14 Juli 2021, Komisi Uni Eropa mengadopsi proposal Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) atau pengenaan pajak bea masuk karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon secara bertahap mulai 2023. Pada tahap awal, CBAM akan diterapkan untuk sejumlah produk, seperti semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan elektronik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.
Uni Eropa juga masih berkomitmen tinggi untuk menerapkan Kebijakan Energi Terbarukan (RED) II dengan mengeliminasi minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya dari daftar sumber energi terbarukan. Uni Eropa menganggap CPO menyebabkan deforestasi.
Sementara Rusia dan Uni Ekonomi Eurasia (EAEU) juga memiliki kebijakan yang kurang lebih sama. Rusia akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (value added taxes/VAT) untuk CPO dan produk turunanannya sebesar 20 persen, tetapi meringankan VAT bagi minyak nabati lainnya.
Adapun EAEU memiliki regulasi baru Unified EAEU Veterinary and Sanitary Requirements. Salah satunya mengatur pembatasan kandungan kontaminan (substansi yang menjadi sesuatu tidak murni atau bersih) minimal minyak nabati, yaitu 3-monochlorpro-pandiol (3-MCPD) esters dan glycidol esters (GE) sebesar 1 ppm.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Kamis (23/9/2021), mengatakan, proses penerapan kebijakan bebas emisi karbon dan kebijakan-kebijakan lain dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim memang masih lama. Namun, Indonesia harus bersiap sejak sekarang untuk mengantisipasinya lantaran akan berimbas ke sejumlah komoditas ekspor unggulan Indonesia.
Tak hanya CPO dan batubara, kebijakan tersebut juga akan berimbas pada komoditas-komoditas yang mengandung karbon atau dalam proses produksinya turut menyumbangkan emisi karbon tinggi. Banyak produk-produk ekspor Indonesia yang proses produksi menggunakan listrik bertenaga uap atau berbahan bakar batubara.
”Produk-produk itu, antara lain, semen, pupuk, tekstil, besi baja, nikel, aluminium, tembaga, dan elektronik,” katanya.
Kebijakan tersebut juga akan berimbas pada komoditas-komoditas yang mengandung karbon atau dalam proses produksinya turut menyumbangkan emisi karbon tinggi.
World Resources Institute menyebutkan, ada empat sektor penyumbang emisi karbon tertinggi, yaitu sektor energi, transportasi, manufaktur, dan konstruksi. Sektor energi, terutama dari pembangkit panas dan listrik, menyumbang karbon sebesar 31,9 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia. Kemudian diikuti transportasi (14,2 persen), serta manufaktur dan konstruksi (12,6 persen).
Sektor lain yang menghasilkan emisi adalah pertanian, terutama perternakan dan budidaya tanaman (12 persen), industri bahan kimia seperti pupuk dan semen (5,9 persen), dan pengolahan limbah (3,3 persen). Selain itu, ada juga penggunaan lahan yang mencakup, antara lain, perubahan penggunaan lahan dan hutan yang menyebabkan deforestasi (2,8 persen).
Oleh karena itu, lanjut Dendi, pemerintah perlu mengantisipasi kebijakan-kebijakan properubahan iklim itu dengan mereformasi sektor-sektor yang bakal terimbas. Di sisi lain, pemerintah tetap perlu memperjuangkan kepentingan nasional untuk melindungi hambatan-hambatan perdagangan dan pengenaan pajak karbon atau pajak-pajak lan yang sejenis atas produk-produk ekspor Indonesia.
Indonesia masih memiliki hutan tropis yang luas dan terumbu karang yang banyak tersebar di sejumlah parairan di Indonesia yang berfungsi untuk menyerap emisi karbon. Hal ini bisa menjadi dasar bagi Indonesia untuk bernegosiasi mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
”Pemerintah perlu menghitung emisi karbon yang diproduksi dan di serap di Indonesia sehingga dalam pengenaan pajak karbon atau pajak-pajak lain yang sejenis bisa berdasarkan net karbon yang dihasilkan,” ujarnya.
Pemerintah perlu menghitung emisi karbon yang diproduksi dan di serap di Indonesia sehingga dalam pengenaan pajak karbon atau pajak-pajak lain yang sejenis bisa berdasarkan net karbon yang dihasilkan.
Rentan ”profit taking”
Sementara itu, di tengah tren rencana penerapan kebijakan bebas emisi karbon, harga komoditas batubara masih tinggi. Rabu lalu, harga batubara di pasar ICE Newcastle (Australia) 182,75 dollar AS per ton atau meningkat 2,5 persen dibandingkan hari sebelumnya dan sekaligus mencatatkan rekor tertinggi sejak 2008. Sejak akhir 2020, harga batubara melonjak hingga 123,6 persen secara tahunan.
Direktur PT Batulicin Nusantara Maritim (BNM) Yuliana mengatakan, di tengah maraknya aksi beberapa negara mengusung energi nonkarbon, batubara tetap dapat mempertahankan eksistensinya. Namun, posisi yang menguntungkan itu justru membuat batubara rentan terdampak aksi ambil untung (profit taking).
”Pada awal September 2021, nilai saham BNM turun cukup signifikan akibat efek aksi ambil untung tersebut. Pada Agustus 2021, harga saham BNM Rp 760 per lembar dan turun menjadi Rp 690 per lembar pada 3 September,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta.
Meski demikian, lanjut Yulina, BNM tetap optimistis aksi ambil untung ini tidak menjadi ancaman serius bagi pelaku industri batubara Indonesia. Selama lima hari terakhir, pergerakan harga saham BNM memang masih fluktuatif, tetapi harga batubara kembali naik.
Potensi kenaikan harga batubara diperkirakan tetap terjadi mengingat perekonomian China, yang merupakan negara konsumen batubara terbesar dunia, semakin membaik. Permintaan batubara juga akan ditopang pula oleh permintaan negara-negara yang akan menghadapi musim dingin.