Hasil laporan terbaru dari lembaga Third Generation Environmentalism menunjukkan sebanyak 76 persen rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di dunia dinyatakan batal setelah adanya Perjanjian Paris 2015.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil laporan terbaru dari lembaga Third Generation Environmentalism atau E3G menunjukkan bahwa ketergantungan dunia terhadap energi batubara mulai menurun. Sebanyak 76 persen rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara di dunia dinyatakan batal setelah adanya Perjanjian Paris 2015.
Menurut laporan E3G yang diterbitkan pada Selasa (14/9/2021) tersebut, 44 negara telah berkomitmen untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara baru sejak 2015. Laporan juga menemukan bahwa lebih dari 40 negara tidak lagi memiliki rencana pembangunan proyek PLTU batubara.
Secara global, kapasitas proyek PLTU batubara yang dibatalkan mencapai 1.175 gigawatt. Hingga Juli 2021, setidaknya terdapat enam negara, yakni China, India, Vietnam, Indonesia, Turki, dan Bangladesh, yang masih berencana membangun pembangunan PLTU batubara.
Rencana pembangunan dari enam negara tersebut masuk dalam tahap prakonstruksi sebesar 82 persen dari PLTU batubara dunia yang tersisa. Langkah nyata pemimpin enam negara itu untuk membatalkan rencana pembangunannya dapat menghilangkan 82 persen PLTU batubara dunia dari tahap prakonstruksi.
Ekonomi yang bertumpu pada energi batubara menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan energi terbarukan. Di sisi lain, risiko aset dari rencana pembangunan PLTU batubara yang telantar semakin meningkat.
Tahap prakonstruksi lainnya yang tersisa tersebar di 31 negara dan 16 di antaranya hanya memiliki satu proyek. Selain itu, lebih dari 40 gigawatt proyek PLTU batubara di 20 negara dapat dibatalkan jika China mengikuti langkah Jepang dan Korea Selatan untuk mengakhiri pembiayaan batubara luar negeri.
Khusus di Asia Tenggara telah terjadi penurunan rencana pembangunan PLTU batubara sebesar 63 persen sejak tahun 2015. Malaysia tercatat tidak lagi memiliki proyek yang sedang dikembangkan, sementara Filipina dan Vietnam mulai beralih dari energi batubara. Adapun Kamboja, Indonesia, Laos, dan Thailand dapat mengikuti jejak negara-negara tersebut dan berkomitmen untuk tidak melakukan pembangunan PLTU batubara baru.
Dalam laporan itu, penulis memperkirakan pembatalan proyek PLTU batubara di sejumlah negara terjadi akibat adanya kebijakan pemerintah yang baru dan banyaknya penolakan dari masyarakat sipil. Hingga Juni 2021, tercatat bahwa negara-negara di dunia telah menghindari ekspansi sebesar 56 persen dari total armada batubara global.
Chris Littlecott, Associate Director E3G yang juga penulis laporan tersebut, mengatakan, ekonomi yang bertumpu pada energi batubara menjadi semakin tidak kompetitif dibandingkan dengan energi terbarukan. Di sisi lain, risiko aset dari rencana pembangunan PLTU batubara yang telantar semakin meningkat.
Komunitas internasional selanjutnya dapat mendukung negara-negara yang masih bergantung pada batubara untuk segera meninggalkan energi yang tidak ramah lingkungan ini. Setiap negara dapat terus didorong untuk mulai fokus meningkatkan proyek energi baru terbarukan yang lebih bersih dengan pengembangan infrastruktur hingga kerangka kebijakan untuk mempercepat transisi energi.
”Pemerintah sekarang dapat mulai bertindak dan berkomitmen untuk tidak membangunan PLTU batubara baru. Konferensi para pihak ke-26 (COP26 di Glasgow) akan menjadi momen penting bagi anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, Uni Eropa, serta China untuk menunjukkan dukungan peralihan dari batubara ke energi bersih,” katanya.
Manajer Riset E3G Leo Roberts menambahkan, transformasi struktural di sektor ketenagalistrikan global berjalan semakin cepat. Hal ini ditunjukkan dari komitmen sejumlah negara untuk meninggalkan batubara sebagai energi masa lalu.
”Negara-negara yang masih mempertimbangkan pembangunan PLTU batubara baru harus segera menyadari keniscayaan pergeseran global ini. Mereka harus menghindari kesalahan dan kerugian besar dalam membangun proyek batubara baru,” ucapnya.
Laporan dari E3G ini diluncurkan bertepatan dengan Dialog Energi Tingkat Tinggi PBB (UN-HLD) akan berlangsung pada 24 September 2021. UN-HLD ini akan dihadiri sejumlah kepala negara yang akan menyatakan komitmennya dengan tujuan mencapai energi bersih dan terjangkau untuk semua pada 2030 dan emisi nol karbon pada 2050.
Sementara batubara merupakan kontributor tunggal terbesar terhadap perubahan iklim. Menurut laporan terbaru dari Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC), penggunaan batubara harus turun 79 persen pada 2030 untuk memenuhi komitmen negara-negara dalam Perjanjian Paris.