China dilaporkan tengah membangun lebih banyak pembangkit listrik tenaga batubara dibandingkan dengan gabungan di seluruh dunia. Padahal, negara itu berjanji menjadi sebagai negara netral karbon tahun 2060.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Utusan Khusus Kerja Sama Iklim Amerika Serikat John Kerry, pekan ini, berada di Beijing untuk mendesak China mengurangi ketergantungannya pada batubara. Hampir 60 persen ekonomi China yang haus energi didorong oleh batubara. Namun, negara itu bertekad mencapai puncak konsumsi batubara sebelum tahun 2030 dan beralih ke sumber energi yang ramah lingkungan.
China dilaporkan tengah membangun lebih banyak pembangkit listrik tenaga batubara dibandingkan dengan pembangkit gabungan seluruh dunia. China mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batubara baru yang mampu menghasilkan 38,4 gigawatt listrik pada tahun lalu. Kapasitas yang dihasilkan itu besarnya lebih dari tiga kali lipat dari yang dihasilkan pembangkit listrik batubara secara global.
”Dalam konteks China, batubara identik dengan keamanan energi,” kata Li Shuo, penasihat kebijakan iklim Greenpeace China. ”Rencana yang diumumkan sejauh ini tidak memberikan jawaban yang jelas tentang bagaimana China dapat memastikan pasokan energi yang stabil tanpa bergantung pada bahan bakar fosil yang kotor.”
Para perencana ekonomi menyatakan kekhawatiran tentang pemotongan batubara yang terlalu cepat karena dapat melumpuhkan pertumbuhan ekonomi negara itu. Selama enam bulan terakhir, beberapa pusat industri di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu telah dilanda pemadaman listrik terburuk dalam satu dekade. Ini terjadi karena impor batubara China terganggu akibat pandemi Covid-19.
Badan pembuat keputusan utama China pada akhir Juli lalu mengatakan, Beijing tengah berupaya ”memainkan permainan catur nasional” yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan tujuan iklim Beijing.
Badan pembuat keputusan utama China pada akhir Juli lalu mengatakan, Beijing tengah berupaya ”memainkan permainan catur nasional” yang menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan tujuan iklim Beijing. Namun, Li Shuo memperingatkan bahwa ini mengindikasikan ”kemunduran” pada momentum iklim yang muncul saat pengumuman soal netralitas karbon China pada tahun lalu. Ketika itu, Presiden China Xi Jinping berjanji menjadikan China sebagai negara netral karbon pada tahun 2060.
Survei baru-baru ini oleh Akademi Ilmu Sosial China menunjukkan, lebih dari sepertiga dari 6 juta petambang batubara China kehilangan pekerjaan antara tahun 2013 dan 2020. Kondisi itu terjadi sebagai akibat langsung dari penutupan sejumlah tambang tua batubara di negara itu. Ketakutan akan pengangguran massal yang mengarah ke kerusuhan sosial telah memaksa perencana ekonomi papan atas China menunda rencana pemerintah-pemerintah daerah untuk mengurangi emisi.
Awal bulan ini, pemerintah pusat China memperingatkan provinsi-provinsi untuk meniadakan ”kampanye langkah-langkah pengurangan karbon”. Beijing juga memerintahkan pemerintah daerah berbuat lebih banyak untuk meredam dampak pada bisnis yang dipaksa mengurangi polusi.
Sebagian besar listrik dengan tenaga angin, surya, dan air di China dihasilkan di wilayah paling barat negara itu. Kurangnya saluran listrik ke pabrik-pabrik di pantai timur negara itu telah memaksa produsen energi terbarukan menghentikan produksi selama berbulan-bulan.
State Grid—penyedia utilitas utama di China—mengatakan telah menginvestasikan lebih dari 45 miliar dollar AS selama lima tahun terakhir untuk menghubungkan sumber daya terbarukan ke jaringan nasional. Investasi itu juga ditujukan untuk membangun fasilitas penyimpanan energi guna memastikan daya listrik yang bersih atau ramah lingkungan tidak terbuang percuma.
Namun, di lapangan, masih ada ketidaksesuaian antara penawaran dan permintaan. China meluncurkan sistem perdagangan emisi yang telah lama ditunggu-tunggu pada Juli lalu. Akan tetapi, harga 1 metrik ton karbon masih kurang dari 7 dollar AS. Angka itu masih jauh di bawah 70 dollar AS per metrik ton, sebagai acuan harga dalam skema Eropa pada akhir Agustus lalu.
Kalangan analis telah memperingatkan harga itu tidak cukup tinggi untuk memaksa pencemar besar menghentikan cara-cara mereka. Di pasar saat ini dilaporkan terdapat 2.162 produsen listrik besar. Secara total mereka menghasilkan sekitar sepertujuh dari emisi karbon global lewat pembakaran bahan bakar fosil.
Yan Qin, analis di lembaga Refinitiv, menyatakan, regulator China telah memberikan terlalu banyak izin gratis bagi produsen listrik bertenaga karbon. Akibatnya harga listrik pun makin tertekan. Kuota energi gaya lama juga memaksa perusahaan utilitas untuk membeli lebih banyak listrik yang dihasilkan menggunakan batubara meskipun energi terbarukan sekarang lebih murah.
Upaya untuk mengubah atau menghapus sistem kuota ini telah terhenti selama hampir satu dekade di China. Hal itu terjadi akibat penolakan oleh provinsi-provinsi yang memiliki banyak kandungan batubara. ”Sistem kuota berarti bisnis pembangkit listrik tenaga batubara di China hampir bebas risiko,” kata Yuan Jiahai, profesor di Universitas Tenaga Listrik China Utara, di Beijing. ”Jadi, pemerintah daerah dan industri bergegas membangun kapasitas batubara baru sebelum batas waktu mencapai puncak emisi.” (AFP)