Bendungan Baihetan, Ambisi China Menuju Energi Baru dan Terbarukan
China berambisi beralih dari energi fosil ke energi terbarukan. Pembangunan Bendungan Baihetan, kedua terbesar di negeri itu, diharapkan mendorong China menjadi negara ramah lingkungan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BEIJING, SENIN — Bendungan Baihetan yang berada di perbatasan Provinsi Sichuan dan Yunnan mulai menghasilkan listrik pada Senin (28/6/2021) pagi waktu setempat. Diperkirakan 16 turbin yang masing-masing menghasilkan 1 juta kilowatt listrik akan beroperasi penuh pada akhir Juli nanti. Ini adalah hadiah untuk ulang tahun ke-100 Partai Komunis China yang salah satu komitmennya ialah menggeser ketergantungan China terhadap bahan bakar fosil.
Saat ini, baru satu turbin yang beroperasi penuh karena 15 turbin sisanya masih dalam persiapan tahap akhir. Beradasarkan liputan televisi nasional China, CCTV, listrik yang dihasilkan oleh Bendungan Baihetan ini akan digunakan di Provinsi Shanghai, Guangdong, Zhejiang, dan Jiangsu.
Bendungan Baihetan memiliki tinggi 289 meter dengan panjang 709 meter. Ini adalah bendungan terbesar kedua setelah Bendungan Tiga Ngarai di Hubei yang memiliki tinggi 181 meter dan panjang 2.335 meter. Baihetan juga dirancang oleh tim yang sama yang membangun Bendungan Tiga Ngarai.
Berdasarkan rilis resmi tim perancang dan pembangun, Bendungan Baihetan memanfaatkan aliran Sungai Jinsha, salah satu anak Sungai Yangtze, sebagai sumber tenaganya. Bendungan ini akan menjadi sumber listrik utama untuk China bagian timur sekaligus mengendalikan volume air agar tidak terjadi banjir.
China berambisi beralih dari energi fosil yang menggunakan batubara dan minyak bumi ke energi baru dan terbarukan. Mereka memanfaatkan sungai-sungai besar yang mengaliri negeri tersebut. Bendungan Tiga Ngarai mampu menghasilkan listrik sebesar 22,5 juta kilowatt, sedangkan Baihetan mampu menghasilkan listrik sebesar 16 juta kilowatt. Target per tahun 2022, Bendungan Baihetan bisa menghasilkan listrik 62,4 juta kilowatt per jam setiap tahun.
Keberadaan Baihetan, menurut kantor berita nasional Xinhua, akan menggeser pemakaian 19,68 juta ton batubara setiap tahun. Oleh sebab itu, sebanyak 51,6 juta ton emisi karbon dioksida, 170.000 ton belerang dioksida, 150.000 ton nitrogen dioksida per tahun bisa dicegah. Pencapaian ini, menurut Partai Komunis China (PKC), mendorong China menuju masyarakat ramah lingkungan.
”Capaian nol karbon atau netral karbon ini kunci perubahan komprehensif masyarakat dan ekonomi hijau kita,” kata Presiden China Xi Jinping, yang juga menjabat Sekretaris Jenderal PKC.
Prestasi
Xi juga memuji berbagai prestasi yang dicapai China menjelang Ulang Tahun Ke-100 PKC pada Juli mendatang. Selain Bendungan Baihetan, ia menyinggung juga misi kesuksesan pengiriman antariksawan ke Stasiun Luar Angkasa Tiangong dan penanganan pandemi Covid-19.
”Sejarah mencatat semua capaian ini. Sejatinya, semangat sejarah adalah kunci dari pewarisan nilai, ilmu, dan kebijaksanaan kepada generasi penerus. Kita tidak boleh lupa sejarah dari perjuangan para martir bangsa sampai para pahlawan di era modern ini,” ujarnya di hadapan politbiro PKC.
Meskipun begitu, pembangunan bendungan Baihetan ini bukan tanpa kritik. Berbagai organisasi lingkungan hidup dan negara Barat memprotes proyek tersebut karena menggusur perkampungan, menebang hutan, dan mengubah jalur air ataupun banjir alami.
Pembangunan bendungan telah ditinggalkan oleh negara-negara Barat karena mengorbankan berhektar-hektar lahan dan merusak ekosistem lokal. Akan tetapi, bendungan masih jamak dibuat di benua Asia dan Afrika karena merupakan cara paling mudah untuk beralih dari bahan bakar fosil ke tenaga hidro. Biaya pembangunannya memang mahal, tetapi listrik yang dihasilkan berkapasitas jutaan kilowatt, berbeda dari pembangkit listri tenaga surya ataupun bayu.
Pakar teknologi lingkungan dari Kolese Emmerson, Amerika Serikat, Jon Honea, dalam esainya di media The Conversation, Juni 2020, menjelaskan, keberadaan Bendungan Tiga Ngarai mengakibatkan nyaris punahnya populasi baiji atau lumba-lumba Sungai Yangtze (Lipotes vexillifer). Di AS, bendungan-bendungan besar juga mengancam keberlanjutan populasi ikan salem (Salmo salar) karena jalur migrasi mereka dari laut ke perairan tawar berubah.
”Bendungan menghalangi sedimentasi sungai mengalir ke muara sehingga meningkatkan pengikisan pesisir sungai. Bendungan turut menghasilkan gas metana yang berdampak pada peningkatan suhu Bumi. Gas ini berasal dari pembusukan tanaman yang tenggelam dan berada di dasar bendungan,” demikian kutipan analisis Honea.
Sejumlah literatur teknik lingkungan dan elektronik mengusulkan alternatif dari bendungan bisa berupa pemanfaatan energi kinetik dari sungai yang mengalir bebas. Dibandingkan dengan memusatkan aliran sungai ke satu ”, yaitu bendungan, pembangkit listrik kinetik ini bisa dibangun dengan skala lebih kecil di berbagai titik aliran sungai.