Ekonomi China Tumbuh di Tengah Krisis akibat Covid-19
China mencatatkan kenaikan ekspor di tengah pandemi Covid-19. Faktor pendukungnya ialah pengendalian wabah, laju vaksinasi, dan pelonggaran pembatasan sosial di beberapa negara.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Perekonomian China membaik di tengah pandemi Covid-19. Hal ini ditandai dengan meningkatnya ekspor dan impor walau belum drastis. Meskipun demikian, para pakar ekonomi di dalam dan luar negeri China tetap mewanti-wanti agar jangan telanjur senang karena situasi masih belum menentu, terutama dengan harga bahan baku yang masih belum stabil.
Pengumuman perkembangan ekonomi itu disampaikan oleh juru bicara bea dan cukai Pemerintah China, Li Kuiwen, Selasa (13/7/2021), melalui sejumlah media arus utama negara tersebut. Ia mengatakan, faktor mulai masifnya proses imunisasi Covid-19 secara global membuat negara-negara mulai melonggarkan pembatasan sosial yang berpengaruh terhadap perdagangan China.
”Sebelumnya, pada tahun 2020, aktivitas di pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Guangdong, menurun 30 persen. Sekarang sudah mulai pulih perlahan-lahan,” papar Li.
Ekspor China pada Juni naik 32,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu menjadi 281,4 miliar dollar AS. Jumlah ini juga naik dibandingkan dengan capaian pada Mei sebesar 28 persen. Impor juga tumbuh 36,7 persen menjadi 229,9 miliar dollar AS meskipun turun dibandingkan bulan lalu yang melonjak hingga 51 persen.
Akan tetapi, hal ini masih dipandang positif karena impor tidak merugi. Jika dilihat melalui perbandingan antara tahun 2020 dan 2021, impor mengalami kenaikan 2,7 persen. Komoditas yang diimpor oleh China, antara lain, adalah gas alam dan kedelai.
Satu-satunya
Virus korona jenis baru pertama kali muncul di China pada akhir tahun 2019. Pembatasan yang ketat membuat laju penularan virus bisa dikendalikan cukup cepat. Dengan cara ini, China menjadi satu-satunya negara dengan perekonomian besar yang bisa berkembang sepanjang tahun 2020.
China memimpin pemulihan global dari pandemi meski belanja konsumen domestik dan aktivitas lainnya belum seperti yang diharapkan. Pengekspor menghadapi disrupsi dalam aliran komponen industri dan langkah pengendalian di sejumlah negara terhadap dunia usaha guna meredam penyebaran virus varian Delta yang lebih menular.
”Perdagangan masih menghadapi banyak faktor ketidakpastian dan ketidakstabilan. Pertumbuhannya mungkin melambat pada paruh kedua 2021, tetapi diharapkan masih relatif cepat,” kata Li.
Selama pandemi, mitra dagang terbesar bagi China adalah Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Secara kumulatif, jumlah ekspor dan impor China-ASEAN relatif seimbang dibandingkan dengan negara ataupun kawasan lain. Dapat dilihat dari jumlah ekspor China ke ASEAN 33,1 persen dan impor China dari ASEAN 33,69 persen. Laporan ini tidak menjelaskan secara rinci negara ASEAN yang memiliki perdagangan paling tinggi dengan China.
Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar kedua dengan perbandingan ekspor dan impor tidak terlalu jomplang meskipun tidak seseimbang dengan ASEAN. Ekspor China ke UE adalah 27,2 persen dan impornya lebih tinggi, yaitu 34,1 persen.
Peringkat ketiga diduduki oleh Amerika Serikat. Hubungan dagang kedua negara memang lebih kompleks karena Presiden AS periode 2017-2021 Donald Trump menerapkan tarif yang tinggi terhadap produk-produk dari China. Presiden sekarang, Joe Biden, pernah mengutarakan hendak memperbaiki hubungan dagang kedua belah pihak, tetapi belum ada kejelasan apabila ia hendak menurunkan tarif tersebut. Ekspor China ke AS 37,55 persen dan impor 17,78 persen.
Sejumlah negara anggota Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat mulai melonggarkan pembatasan sosial. Namun, pembatasan di beberapa negara ASEAN justru semakin ketat.
Secara keseluruhan, China mengalami surplus dagang 51,53 miliar dollar AS per Juni. Di samping itu, pemerintah meminta agar bank-bank segera melepas dana simpanan mereka untuk diputar di masyarakat. Pengumuman dari pemerintah menyatakan ada 154 juta dollar AS dana simpanan bank yang akan dilepas.
Analis pemasaran CMC Markets, Kelvin Wong, menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi ini berkat China telah mengendalikan wabah Covid-19 sejak akhir tahun 2019. Berdasarkan data Pemerintah China, mereka telah menyuntikkan 1,3 miliar dosis vaksin Covid-19 meskipun tidak ada keterangan jumlah penduduk yang telah menerimanya.
”Memang China terkena dampak dari kelangkaan semikonduktor global, kenaikan harga bahan baku, dan ongkos logistik yang mahal. Namun, ini masalah di seluruh negara secara umum. China dengan penanganan pandeminya yang cepat bisa membawa dirinya lebih duluan ke ekonomi yang berbasis pertumbuhan, bukan pemulihan lagi,” papar Wong.
Di bursa saham juga menampakkan hasil yang positif bagi China. Saham kapitalisasi terbesar cip biru CSI 300, misalnya, mengalami kenaikan 0,53 persen. Demikian pula sektor kebutuhan pokok naik 1,8 persen, real estat 0,2 persen, dan sektor kesehatan naik 0,21 persen.
Christina Zhu, ekonom dari Moody’s Analytics, mengingatkan agar Pemerintah China jangan senang dulu karena merebaknya penularan galur Alfa, Delta, dan Gamma di sejumlah negara. Artinya, negara-negara yang telah melakukan pelonggaran sehingga meningkatkan perdagangan dengan China ada kemungkinan menutup diri kembali jika mereka kewalahan menangani pandemi.
Komisi Kesehatan China, Selasa, melaporkan 29 kasus baru Covid-19, naik dari hari sebelumnya sebanyak 27 kasus. Dari kasus baru tersebut, dua di antaranya merupakan penularan lokal di Provinsi Jiangsyu dan Provinsi Yunnan.
Tidak ada laporan korban meninggal. Hingga 12 Juli, China daratan mencatat 92.095 kasus dengan akumulasi korban meninggal 4.636 orang. (AP/AFP/REUTERS)