Aksi nyata mengatasi krisis iklim menjadi komitmen negara-negara anggota G-7. Salah satunya dengan mengakhiri dukungan terhadap penggunaan batubara untuk bahan bakar pembangkit listrik.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertemuan negara-negara G-7 atau Kelompok Tujuh telah bersepakat untuk meningkatkan upaya mengatasi dampak perubahan iklim. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menghentikan penggunaan batubara.
Tujuh negara tersebut, yakni Kanada, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat, juga memperbarui janji untuk mengumpulkan 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu negara-negara miskin mengurangi emisi.
Ahli lingkungan dan ”People’s Champion” COP26 Inggris, Sir David Attenborough, dalam pertemuan G-7 di Inggris menyampaikan, alam kita saat ini mengalami kemunduran yang luar biasa. ”Iklim memanas dengan cepat, tidak diragukan lagi. Ketidaksetaraan masyarakat dan bangsa kita terlihat jelas,” ujar Sir David Attenborough sebagaimana dirilis Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, Selasa (15/6/2021).
Attenborough mengatakan, kita berada di ambang ketidakstabilan seluruh planet. ”Keputusan yang kita buat dalam dekade ini, khususnya keputusan yang dibuat oleh negara-negara paling maju secara ekonomi, akan menjadi sangat penting dalam sejarah manusia,” ujarnya.
Perubahan iklim telah menjadi salah satu tema utama pada pertemuan puncak G-7 di Cornwall, Inggris, selama tiga hari terakhir. Dalam pertemuan, para pemimpin G-7 telah menyetujui rencana untuk mengubah pembiayaan proyek infrastruktur di negara-negara berkembang.
Iklim memanas dengan cepat, tidak diragukan lagi. Ketidaksetaraan masyarakat dan bangsa kita terlihat jelas.
Mereka akan lebih mendukung pengadaan infrastruktur hijau, seperti perkeretaapian di Afrika hingga ladang angin di Asia dan mengakhiri dukungan terhadap penggunaan batubara hingga tahun 2021.
”Pembangkit listrik batubara menjadi penyebab terbesar emisi gas rumah kaca. Investasi global dalam pembangkit listrik tenaga batu bara tidak sesuai dengan upaya menjaga kenaikan suhu Bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius,” demikian pernyataan resmi mereka.
Dalam pertemuan ini, mereka juga menekankan bahwa investasi internasional dalam batubara yang masih terjadi sampai saat ini harus dihentikan segera. ”Kami berkomitmen untuk mengakhiri segera dukungan langsung pemerintah untuk pembangkit listrik batu bara,” kata mereka.
Dengan pernyataan G-7 untuk mengakhiri batubara ini, China menjadi negara yang bakal mendominasi penggunaan batubara. Sejauh ini China bertanggung jawab atas lebih dari setengah pembakaran batubara dunia setiap tahunnya, baik di dalam negeri mereka maupun investasinya di luar negeri, termasuk di Indonesia.
Laporan carbonbrief.org pada 6 Juni 2021 menyebutkan, Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia pada tahun 2015 dengan sumber emisi tertinggi berasal dari deforestasi dan kebakaran hutan gambut yang kemudian diikuti oleh emisi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk energi, khususnya dari batubara.
Menurut data endcoal.org, sejak 2006-2020 setidaknya ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawatt. Dengan jumlah ini, Indonesia menempati urutan kelima negara dengan PLTU batubara terbanyak didunia setelah China, India, Amerika Serikat, dan Rusia.
Dana untuk kelautan
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang menjadi tuan rumah pertemuan tiga hari, meluncurkan dana Planet Biru Inggris. Dana sebesar 500 juta pound sterling itu untuk mendukung sejumlah negara, termasuk Indonesia dan negara-negara kepulauan Pasifik, untuk mengatasi isu penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, melindungi dan memulihkan ekosistem pesisir seperti bakau dan terumbu karang, dan mengurangi polusi laut.
Boris mengatakan bahwa melindungi planet merupakan hal terpenting yang dapat kita lakukan sebagai pemimpin bagi masyarakat. ”Kami jelas akhir pekan ini bahwa tindakan perlu dimulai dari kami.”
Menurut Johnson, ada hubungan langsung antara pengurangan emisi, pemulihan alam, penciptaan lapangan kerja, dan upaya memastikan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
”Sebagai negara demokratis, kita memiliki tanggung jawab untuk membantu negara berkembang memetik manfaat dari pertumbuhan bersih melalui sistem yang adil dan transparan. G-7 memiliki peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendorong Revolusi Industri Hijau global, dengan potensi untuk mengubah cara hidup kita,” ujar Johnson.
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins mengatakan, pertemuan pemimpin G-7 telah menunjukkan kemajuan dalam mengatasi krisis. Dia berharap dapat bekerja sama dengan Indonesia terkait sejumlah sikap baru dari G-7, termasuk akses terhadap dana Planet Biru untuk memulihkan dan melindungi lautan.