Mendag: ”Supercycle” Komoditas Diperkirakan Berakhir September 2022
Jika tidak ada halang rintang, Indonesia diperkirakan akan menikmati buah ”supercycle” komoditas hingga September 2022. Salah satu faktor yang berpotensi memengaruhi siklus super adalah kebijakan ”tapering off” The Fed.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Siklus super komoditas atau supercycle diperkirakan berakhir pada September 2022. Meskipun demikian, neraca perdagangan Indonesia diperkirakan tetap terjaga baik karena ekspor produk-produk bernilai tambah tinggi dari hasil investasi akan meningkat.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Jumat (17/9/2021), mengatakan, kinerja positif ekspor menopang surplus neraca perdagangan Indonesia selama 16 bulan berturut-turut. Salah satu faktor utamanya adalah kenaikan harga sejumlah komoditas, terutama minyak sawit mentah (CPO) dan batubara, akibat siklus super komoditas yang mulai terjadi sejak September 2020.
Siklus super komoditas itu diperkirakan berlangsung 24-30 bulan atau lebih lama dari siklus super yang pernah terjadi pada 2011-2012 yang berlangsung 14 bulan. Siklus super komoditas itu akan berlangsung lebih lama karena ada permintaan dari sejumlah negara dalam rangka pemulihan ekonomi. Harga komoditas itu juga turut terkerek kenaikan harga sejumlah komoditas lain yang terimbas perubahan iklim, seperti gula dan kedelai.
”Jika tidak ada halang rintang, Indonesia diperkirakan menikmati buah dari super siklus komoditas itu hingga September 2022. Salah satu faktor yang berpotensi memengaruhi siklus super itu adalah tapering off (pengurangan pembelian obligasi bulanan Pemerintah Amerika Serikat oleh Bank Sentral Amerika Serikat),” kata Lutfi dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Jika tidak ada halang rintang, Indonesia diperkirakan menikmati buah dari super siklus komoditas itu hingga September 2022. Salah satu faktor yang berpotensi memengaruhi siklus super itu adalah tapering off.
Oleh karena itu, lanjut Lutfi, Kementerian Perdagangan akan menggenjot ekspor dengan memanfaatkan siklus super itu. Namun, ketika siklus super itu berakhir, Kementerian Perdagangan tetap optimistis neraca perdagangan akan terjaga dengan baik karena ekspor produk-produk bernilai tambah tinggi dari hasil investasi akan meningkat.
Produk-produk bernilai tambah tinggi itu, antara lain, besi baja dan otomotif. Selain itu, ada juga produk-produk baru hasil pemurnian di sektor pertambangan berkat investasi pembangun smelter. ”Saya tengah menunggu ekspor alumina dan aluminium dari pabrik smelter di Bintan, Kepulauan Riau, yang sudah mulai beroperasi pada Agustus 2021. Nilai ekspornya diperkirakan bisa mencapai 3 miliar dollar AS,” ujarnya.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2021 mencapai 134,132 miliar dollar AS, tumbuh 37,03 persen secara tahunan. Lemak dan minyak hewan/nabati, bahan bakar mineral, besi baja, karet dan barang dari karet, bijih logam, serta timah dan produk turunannya, tumbuh cukup signifikan.
Total kontribusi komoditas-komoditas itu terhadap ekspor nonmigas pada Januari-Agustus 2021 sebesar 45,19 persen. Kontribusi terbesar berasal dari lemak dan minyak hewan/nabati (15,39 persen), bahan bakar mineral (13,41 persen), dan besi baja (9,04 persen).
Lutfi mengakui Indonesia masih kalah dengan Vietnam dalam hal menangkap peluang relokasi industri dari China. Vietnam banyak menampung perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang industri rantai pasok global. Sementara Indonesia baru bisa menangkap perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di sektor hulu, mulai dari penambangan dan pemurnian, kilang, hingga pengecoran logam.
”Ke depan, industri-industri hulu tersebut akan mengalirkan produk-produk turunan bahkan menciptakan mata rantai hilirisisasi industri,” kata Lutfi.
Indonesia masih kalah dengan Vietnam dalam hal menangkap peluang relokasi industri dari China.
Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja berpendapat, Indonesia merupakan negara pengekspor komoditas terbesar. Di tengah tren ekonomi hijau yang diterapkan sejumlah negara, terutama di Eropa, Indonesia perlu fokus untuk mengembangkan ekspor komoditas yang berkelanjutan atau berbasis ESG (ramah lingkungan, sosial, dan pengelolaan yang baik).
Syarat ESG ini bakal menjadi tantangan bagi ekspor komoditas Indonesia karena mencakup solusi pemanfaatan sumber daya alam, emisi karbon, efisiensi energi, serta polusi dan sampah. Penerapan ESG ini memang masih didominasi negara-negara di Eropa, tetapi ke depan akan berkembang pesat di China, Jepang, dan sejumah negara lain di Asia.
”Penerapan ESG ini menjadi kunci Indonesia untuk menjaga pendapatan dari sektor komoditas yang berksinambungan,” kata Enrico.
Ia menambahkan, Indonesia sebenarnya memiliki posisi strategis dalam hal konektivitas berelasi dengan negara-negara lain. Namun, Indonesia belum mengoptimalkan potensi itu sehingga pasarnya yang besar sejauh ini masih dijadikan tujuan ekspor oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengoptimalkan perjanjian perdagangan bebas dan perjanjian dagang regional untuk meningkatkan ekspor.
Sementara itu, Head of ASEAN Economic Research at JPMorgan Securities (Singapore) Pte Ltd Sing Beng Ong mengatakan, ekspor Indonesia masih sangat kuat karena dipengaruhi kenaikan harga CPO dan batubara. Khusus ekspor CPO, kenaikan harganya lebih dominan ketimbang kenaikan volume.
Selain komoditas, ekspor logam manufaktur, terutama besi baja, ke China juga turut menopang ekspor nonmigas Indonesia. Stimulus pemulihan ekonomi dan upaya dekarbonisasi yang tengah digulirkan Pemerintah China diperkirakan meningkatkan ekspor logam Indonesia ke negara tersebut hingga akhir tahun ini.
”Ekspor yang kuat ini membuat neraca transaksi berjalan Indonesia pada triwulan IV-2021 diperkirakan surplus 4,7 miliar dollar AS,” ujarnya melalui siaran pers.
Bank Indonesia mencatat, pada triwulan II-2021 Indonesia mengalami defisit transkasi berjalan sebesar 2,2 miliar dollar AS. Neraca pembayaran Indonesia (NPI) juga defisit 400 juta dollar AS. Defisit tranksasi berjalan ini terjadi lantaran kinerja positif ekspor masih belum mampu mengompensasi defisit neraca jasa dan kenaikan imbal hasil investasi berupa deviden.
Defisit neraca jasa pada periode tersebut sebesar 3,7 miliar dollar AS. Peningkatan defisit neraca jasa ini terutama disebabkan oleh defisit jasa transportasi yang melebar dari 1,4 miliar dollar AS pada pada triwulan I-2021 menjadi 1,6 miliar dollar AS pada triwulan II-2021. Hal ini tidak terlepas dari pembengkakan biaya logistik atau pengiriman produk-produk impor dengan kapal.