”Tapering Off” The Fed Bakal Pengaruhi Harga Komoditas
”Booming” harga komoditas juga merupakan imbas ”bocor”-nya stimulus AS dan kebijakan ”tapering” The Fed. Likuiditasnya yang banyak berpengaruh ke pergerakan arus modal sehingga ada yang masuk ke pasar komoditas.
JAKARTA, KOMPAS — Bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve atau The Fed, mengisyaratkan bakal mengurangi pembelian obligasi bulanan Pemerintah AS secara bertahap tahun ini. Kebijakan ini tidak hanya akan berpengaruh pada keluarnya modal asing dari negara-negara berkembang, tetapi juga akan memengaruhi penurunan harga komoditas ekspor
Dalam risalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pada 27-28 Juli 2021 yang dirilis Rabu (18/8/2021) malam, sebagian besar anggota FOMC mendukung The Fed untuk mengurangi pembelian obligasi akhir tahun ini. Sementara beberapa anggota berpendapat tapering off paling mungkin dilakukan pada awal 2022.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani mengatakan, tapering off tidak hanya akan berimbas pada keluarnya modal asing dari pasar keuangan Indonesia, tetapi juga akan berpengaruh pada penurunan harga komoditas global. Sejumlah komoditas yang mengalami booming atau lonjakan harga pada tahun ini antara lain minyak kelapa sawit mentah (CPO), batubara, dan karet.
Lonjakan harga komoditas pada tahun ini tidak dipengaruhi oleh lonjakan permintaan seperti pada era booming komoditas pada 2003-2008. Hal itu terlihat dari volume permintaan komoditas tersebut yang masih belum tumbuh normal seperti sebelum pandemi Covid-19.
”Memang permintaan ada, tetapi volumenya masih rendah. Nilai ekspornya saja yang besar karena harganya melonjak tinggi,” ujar Dendi saat dihubungi di Jakarta, Kamis (19/8/2021).
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pandemi Covid-19 menyebabkan volume ekspor CPO pada tahun 2020 turun 9,04 persen menjadi 34 juta ton dibandingkan tahun 2019 yang sebanyak 37,39 juta ton. Penurunan permintaan terbesar berasal dari China, yaitu minus 1,96 juta ton.
Kemudian pada Januari-Mei 2021, Indonesia telah mengekspor CPO sebanyak 10,4 juta ton. Gapki memperkirakan volume ekspor CPO hingga akhir 2021 bisa mencapai 35 juta ton atau masih lebih rendah dibandingkan tahun 2019.
Menurut Dendi, booming harga komoditas itu lebih merupakan imbas dari ”bocor”-nya stimulus Pemerintah AS dan kebijakan tapering The Fed. Likuiditas tersedia banyak dan berpengaruh ke pergerakan arus modal sehingga ada yang masuk ke pasar komoditas dan menjadi mesin spekulasi bursa.
Booming harga komoditas itu lebih merupakan imbas dari ”bocor”-nya stimulus Pemerintah AS dan kebijakan tapering The Fed. Likuiditas tersedia banyak dan berpengaruh ke pergerakan arus modal sehingga ada yang masuk ke pasar komoditas dan menjadi mesin spekulasi bursa.
Oleh karena itu, jika The Fed mulai mengurangi kebijakan tapering secara bertahap tahun ini, harga sejumlah komoditas akan terkoreksi turun akhir tahun ini. CPO, misalnya, rata-rata harganya hingga akhir tahun ini diperkirakan 972,2 dollar AS per ton. Rata-rata harga tersebut diperkirakan turun menjadi 807,9 dollar AS per ton pada 2022.
”Kendati begitu, harga tersebut masih relatif baik dan menguntungkan. Nantinya harga tersebut akan kembali ke harga fundamentalnya, yaitu 700-800 dollar AS per ton, seiring meredanya booming komoditas dan pulihnya permintaan,” katanya.
Baca juga : Kementerian Keuangan Pangkas Tarif Ekspor Produk Kelapa Sawit
Adapun terkait dengan perlambatan ekonomi China dan Amerika Serikat, lanjut Dendi, hal itu akan berlangsung sementara seiring dengan meredanya gelombang kedua Covid-19 akibat virus korona baru varian Delta. Kedua negara tersebut telah memiliki catatan baik dalam pengendalian pandemi Covid-19 dan tingkat vaksinasinya juga tergolong paling tinggi di antara negara-negara lain.
Sebelumnya, ekonom Moody’s Analytics, Sonia Zhu, mengatakan, Indonesia perlu mewaspadai negara-negara tujuan ekspor utama yang tengah menghadapi kebangkitan Covid-19 akibat virus korona baru varian Delta, terutama China dan Amerika Serikat. Ekspansi China mulai melambat sejak Juli 2021, sedangkan pemulihan ekonomi Amerika Serikat diperkirakan melambat karena tengah menghadapi gelombang Delta.
”Ini bisa menghambat momentum pertumbuhan ekspor Indonesia. Kami perkirakan kinerja perdagangan Indonesia tidak akan goyah atau turun drastis, tetapi akan melemah dalam beberapa bulan mendatang,” katanya (Kompas, 18/8/2021).
Baca juga : Waspadai Perlambatan Ekonomi China dan Amerika Serikat
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor Indonesia ke China pada Juli 2021 mencapai 3,57 miliar dollar AS atau turun 13,7 persen dibandingkan Juni 2021. Nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat juga turun 5,35 persen secara bulanan menjadi 2,02 miliar dollar AS.
Bursa komoditas
Sementara itu, Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (Indonesia Commodity and Derivatives Exchange/ICDX) berkomitmen untuk terus mengembangkan pasar perdagangan berjangka komoditi (PBK) Indonesia. Melalui bursa komoditas tersebut, Indonesia diharapkan menjadi pusat perdagangan komoditas lokal, menyediakan fasilitas lindung nilai bagi pelaku perdagangan komoditas, dan ke depan bisa menjadi acuan perdagangan komoditas internasional.
Dalam telekonferensi pers di Jakarta, Vice President of Research and Development ICDX Isa Djohari mengatakan, sebagai salah satu negara utama produsen dan pengekspor komoditas-komoditas besar dunia, Indonesia masih rentan terhadap efek dari volatilitas harga di pasar komoditas global. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah wadah yang mengatur pasar perdagangan komoditas untuk dapat bertransaksi secara efektif pada saat harga komoditas turun ataupun naik.
”Di dalam negeri, harga komoditas kerap bergejolak sehingga produsen atau petani kerap merugi saat harga komoditas jatuh. Untuk itu, ICDX tengah mengembangkan tiga pilar perdagangan komoditas yang terintegrasi, yakni sistem resi gudang (SRG), pasar lelang komoditas (PLK), dan PBK,” katanya.
ICDX tengah mengembangkan tiga pilar perdagangan komoditas yang terintegrasi, yakni sistem resi gudang, pasar lelang komoditas, dan perdagangan berjangka komoditi.
Ketiganya, lanjut Isa, akan saling terintegrasi membentuk sebuah ekosistem. Diawali dengan perlindungan harga di tingkat produsen pascapanen raya dengan menyimpannya di gudang bersistem SRG. Dengan SRG, produsen bisa menunda menjual komoditasnya di saat harga jatuh dan menjualnya kembali di saat harga membaik.
Kemudian, untuk membentuk harga komoditas yang transparan yang bisa menjadi acuan harga, ICDX menciptakan PLK. Sementara itu, bursa berjangka komoditas dapat berfokus pada penyediaan layanan lindung nilai.
Isa menambahkan, bursa komoditas Indonesia juga diharapkan bisa menjadi acuan pelaku perdagangan global. Bahkan, para pelaku perdagangan komoditas Indonesia bisa menentukan harga sendiri atau tidak terpengaruh dengan harga komoditas di bursa komoditas lain.
Komoditas timah, misalnya. Sebelumnya, produsen timah Indonesia sulit menentukan harga jual sendiri karena referensi harga mengacu pada harga yang dibentuk di luar negeri, seperti oleh London Metal Exchange dan Kuala Lumpur Tin Market.
”Melalui ICDX, Indonesia telah berhasil mengubah kondisi tersebut dan menambah negara tujuan ekspor timah menjadi 27 negara. Sekarang produsen timah Indonesia dapat menentukan harga jual timahnya sendiri dan penerimaan negara dari ekspor timah menjadi lebih optimal,” ujarnya.
Pada semester I-2021, total ekspor timah melalui PBK ICDX sebesar 12.867 ton dengan total nilai sekitar Rp 5,3 triliun. Memasuki perdagangan pada semester II-2021, harga timah di ICDX mencatatkan rekor tertinggi, yaitu 35.600 ton.
Sementara itu, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan mencatat, per Juni 2021, jumlah gudang bersistem SRG di Indonesia sebanyak 123 gudang SRG. Dari jumlah itu, sebanyak 28 gudang (22,8 persen) beroperasi secara berkelanjutan, 29 gudang (23,6 persen) telah aktif dan bertumbuh, serta 43 gudang (35 persen) pernah dimanfaatkan tetapi terhenti operasinya.
Selain itu, sebanyak 23 gudang (18,7 persen) sama sekali belum pernah dimanfaatkan. Ada 20 komoditas yang bisa disimpan di gudang SRG, seperti gabah, beras, jagung, kopi, kakao, karet, rumput laut, garam, kakao, bawang merah, kedelai, dan gula kristal putih.
Baca juga : Sederet Pekerjaan Rumah Optimalkan Sistem Resi Gudang