Transaksi Ekspor-Impor RI-China Bisa Pakai Rupiah dan Yuan
Penggunaan renminbi dalam berbagai transaksi antara RI dan China terus bertumbuh. Pada 2020, volume kliring renminbi di Indonesia mencapai 67,9 miliar yuan dengan CAGR sebesar 47 persen dalam tiga tahun terakhir.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transaksi pembayaran ekspor dan impor Indonesia dengan China bisa menggunakan mata uang lokal masing-masing negara, yaitu rupiah dan yuan. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan pada dollar AS sekaligus menjaga stabilitas nilai tukar masing-masing mata uang kedua negara.
Hal itu merupakan implementasi dari nota kesepahaman penggunaan mata uang lokal (local currency settlement/LCS) dalam transaksi bilateral perdagangan ataupun investasi yang telah ditandatangani Bank Indonesia (BI) dengan bank sentral China, yaitu Bank Rakyat China (PBOC), pada 22 September 2020. Nota kesepahaman serupa juga dilakukan Indonesia dengan sejumlah negara lain, yaitu Thailand, Malaysia, dan Jepang.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, Kamis (4/8/2021), mengatakan, di sektor perdagangan, kedua negara mitra dagang berkomitmen mendorong implementasi penggunaan LCS dalam penyelesaian transaksi pembayaran ekspor dan impor. Dengan LCS, Indonesia dan China dapat meningkatkan daya saing dan mengurangi ketergantungan dengan mata uang dollar AS.
China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Pada 2020, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 31,78 miliar dollar AS atau 19,46 persen dari total nilai ekspor Indonesia ke berbagai negara di dunia. Pada semester I-2021, nilai ekspor Indonesia ke China sebesar 22,45 miliar dollar AS atau 21,82 persen dari total nilai ekspor.
”Indonesia juga masih banyak mengimpor barang dari China. Hingga kini, neraca perdagangan Indonesia dengan China masih defisit, tetapi nilai defisitnya semakin berkurang. Pada 2020, defisitnya senilai 7,8 miliar dollar AS atau menyusut dari 2019 yang hampir mencapai 17 miliar dollar AS,” kata Kasan dalam Dialog Kebijakan Gambir Trade Talk ke-1 bertema ”Implikasi Penerapan LCS Indonesia-China” yang digelar secara virtual di Jakarta.
Narasumber dalam diskusi tersebut adalah Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno, Corporate Marketing Director Bank of China Handojo Wibawanto, Direktur PT Bank ICBC Indonesia Liu Hongbo, dan Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal.
Di sektor perdagangan, kedua negara mitra dagang berkomitmen mendorong implementasi penggunaan LCS dalam penyelesaian transaksi pembayaran ekspor dan impor.
Kasan menambahkan, saat ini, Indonesia juga mengincar negara-negara yang perekonomiannya mulai pulih dari pandemi, termasuk China. Oleh karena itu, implementasi kebijakan LCS Indonesia-China ini merupakan langkah penting menjaga kinerja perdagangan Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Selain menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang kerap bergejolak terhadap pergerakan dollar AS, implementasi ini juga bisa menciptakan efisiensi transaksi terkait nilai konversi mata uang.
Handojo Wibawanto mengemukakan, selain sektor perdagangan, kebijakan LCS ini bisa diterapkan juga di sektor investasi. China merupakan salah satu investor besar bagi Indonesia. Nilai investasinya pada 2019 sebesar 4,7 miliar dollar AS atau meningkat 100 persen dari 2018. Pada 2020, investasinya senilai 4,8 miliar dollar AS.
”Dalam kurun waktu kurang dari enam tahun, peringkat China sebagai investor di Indonesia melonjak dari peringkat ke-9 menjadi ke-2 setelah Singapura,” kata dia.
Likuiditas yuan
Handojo juga menyatakan, berdasarkan data SWIFT, pada Juni 2021, yuan atau renminbi menjadi alat pembayaran internasional teraktif kelima di dunia pada Juni 2021 dengan kontribusi sebesar 2,46 persen. Nilai transaski pembayarannya tumbuh 65,51 persen dibandingkan Mei 2021.
Pandemi berdampak besar terdahap pemulihan ekonomi setiap negara. Namun, dengan pemulihan ekonomi yang relatif cepat di China dan stabilnya nilai tukar renminbi, implementasi kebijakan LCS RI-China sangat tepat.
Selama ini, lanjut Handojo, penggunaan renminbi untuk berbagai transaksi antara RI-China cukup bagus dan terus bertumbuh. Pada 2020, volume kliring renminbi di Indonesia mencapai 67,9 miliar yuan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR) sebesar 47 persen dalam tiga tahun terakhir.
”Kami siap menyediakan likuiditas renminbi di Indonesia. PBOC juga telah bekerja sama dengan bank-bank di dunia untuk memfasilitasi kemudahan akses pembayaran menggunakan renminbi. Pada 2021, PBOC telah menunjuk 27 bank kliring renminbi di 25 negara dan wilayah,” katanya.
Sementara Benny Soetrisno mengatakan, dunia usaha antusias merespon implementasi kebijakan LCS Indonesia-China. Apindo bersama dengan BI dan perbankan di Indonesia sebenarnya telah bertukar gagasan sejak dua tahun lalu untuk mendorong implementasi kebijakan tersebut.
Akan tetapi, ada sejumlah tantangan dalam penerapan kebijakan itu. Dari sisi ekspor, misalnya, mayoritas eksportir Indonesia ke China adalah perusahaan-perusahaan komoditas (minyak kelapa sawit mentah/CPO dan batubara), dan kertas. ”Penentuan harga atau pricing komoditas itu masih dalam mata uang dollar AS sehingga minat menggunakan LCS rupiah-yuan masih rendah,” kata dia.
Ada sejumlah tantangan dalam penerapan kebijakan itu. Dari sisi ekspor, misalnya, mayoritas eksportir Indonesia ke China adalah perusahaan-perusahaan komoditas. Selama ini, penentuan harga komoditas dalam mata uang dollar AS, sehingga minat menggunakan LCS rupiah-yuan masih rendah.
Apindo berharap BI juga dapat memberikan fasilitas swap rupiah atau yuan dengan berbagai tenor dan mendirikan sistem kliring yuan di Indonesia sebagai infrastruktur untuk menciptakan likuiditas yuan. ”Kami juga meminta agar BI mendorong perbankan untuk terus mengembangkan dan menggunakan layanan transaksi pengiriman uang selain dollar AS secara langsung (direct settlement) guna mengurangi ketergantungan pada dollar AS,” ucap Benny.
Pada 26 Juni 2021, Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Donny Hutabarat menuturkan, BI dan PBOC akan segera mengimplementasikan LCS pada triwulan III-2021. Percepatan implementasi kerja sama itu merupakan salah satu upaya mempercepat pengembangan dan pendalaman pasar keuangan, mengurangi volatilitas nilai tukar rupiah, dan meningkatkan efisiensi pasar keuangan.
Beragam transaksi valas di sektor perdagangan dan investasi bisa melalui skema LCS. Beberapa transaksi valas itu antara lain mencakup spot, forward, swap, cross currency swap (CCS), dan domestic non deliverable forward (DNDF). Transaksi valas tersebut akan dilakukan oleh Appointed Cross Currency Dealer Bank (ACCD) atau bank pelaksana transaksi mata uang berskema LCS yang ditunjuk oleh BI bersama bank sentral atau otoritas moneter negara mitra.