Pandemi global Covid-19 yang terjadi sejak awal tahun menjadi pemicu pelemahan rupiah yang cukup dalam akibat tidak langsung dari perlambatan ekonomi yang terjadi secara global.
Oleh
GIANIE
·5 menit baca
Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat merupakan salah satu indikator makroekonomi yang selalu dijaga dinamikanya oleh pemerintah. Pasalnya, nilai tukar rupiah menentukan banyak indikator ekonomi lainnya di dalam negeri.
Sejak awal tahun hingga akhir Agustus ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah 4,74 persen. Nilai tukar rupiah pada 2 Januari 2020 tercatat pada angka Rp 13.895 per satu dollar AS. Pergerakannya cenderung melemah hingga mencapai puncak pelemahan pada 2 April 2020. Nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat pada hari itu tercatat Rp 16.741, turun 20,48 persen dibandingkan kurs awal tahun.
Namun, rupiah bukan satu-satunya mata uang yang melemah terhadap dollar AS pada hari itu. Pelemahan juga dialami mata uang asing lainnya, seperti won Korea Selatan dan ringgit Malaysia.
Angka tersebut merupakan pelemahan yang paling dalam sepanjang 2020 hingga hari ini. Bahkan, nilai kurs rupiah pada 2 April itu yang tertinggi sejak reformasi bergulir.
Faktor eksternal sangat kuat membuat rupiah terdepresiasi cukup dalam di masa puncak penyebaran virus korona di dunia. Pandemi menyebabkan manufaktur di kawasan Asia dan Eropa banyak yang terhenti merespons langkah karantina atau kebijakan pembatasan sosial yang banyak diterapkan.
Banyak berhentinya kegiatan produksi menunjukkan perlambatan ekonomi yang sangat parah di banyak kawasan yang mencoba untuk menanggulangi virus korona. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi global dan sejumlah negara banyak yang terkoreksi menjadi negatif.
Pergerakan rupiah pada tahun 2020 ini bertolak belakang dengan kondisi pada 2019 yang cenderung menguat. Pada awal tahun 2019, rupiah bertengger pada kurs Rp 14.465 per dollar AS, dan di akhir tahun ditutup dengan Rp 13.901 per dollar AS.
Dengan demikian, sepanjang 2019, rupiah menguat sekitar 3,8 persen. Meskipun di pertengahan tahun, tepatnya pada 23 Mei 2019, rupiah sempat sedikit melemah di angka Rp 14.513 per dollar AS.
Menarik sedikit ke belakang, pelemahan rupiah semakin nyata terjadi pada tahun 2013 ketika rupiah menyentuh batas Rp 10.000 per dollar AS. Tanggal 15 Juli 2013 menjadi hari pertama rupiah bertengger di atas Rp 10.000 dan terus melesat.
Dalam hitungan kurang dari dua bulan, rupiah terus melemah di angka Rp 11.000-an per dollar AS. Pada 11 Oktober 2018 rupiah mencapai puncak pelemahan yang pertama di angka Rp 15.253 per dollar AS, tetapi kemudian perlahan terkoreksi ke kisaran Rp 13.000.
Nilai tukar rupiah yang melemah sangat berimplikasi pada besaran rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal itu oleh karena utang pemerintah mayoritas dalam denominasi valuta asing, baik dari lembaga multilateral maupun dari sumber bilateral.
Pada tahun 2000, misalnya, dengan nilai tengah kurs yang mencapai Rp 9.595 pascakrisis multidimensi 1997/1998, rasio utang pemerintah terhadap PDB melonjak mencapai 89 persen.
Fluktuasi rupiah, karena ia berimplikasi pada besaran rasio utang pemerintah terhadap PDB, oleh karena itu ia juga menjadi faktor risiko yang menjadi pertimbangan penting dalam mengelola utang pemerintah.
Selama periode 2013-2018, pelemahan rupiah disebabkan, baik oleh faktor eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, pelemahan rupiah karena mulai dari adanya rencana pengetatan stimulus moneter oleh Bank Sentral AS, gejolak harga minyak dunia, hingga perbedaan BI Rate dengan suku bunga dunia yang mengecil menyebabkan investor tidak tertarik dan mengalihkan investasinya.
Setidaknya terdapat tiga kombinasi geopolitik yang menyebabkan perekonomian global mengalami volatilitas pada periode itu. Pertama, kondisi di internal AS yang antara lain mengurangi secara bertahap besaran pembelian aset finansial yang langsung memicu terjadinya arus kapital keluar (capital outflow) dari emerging market, termasuk Indonesia.
Kedua, China juga sedang mengalami perlambatan ekonomi di mana pertumbuhan ekonominya menurun dan hanya tumbuh di level 7 persen. Turun drastis dibandingkan dekade sebelumnya yang mampu tumbuh dua digit.
Terakhir, kawasan Timur Tengah juga dalam kondisi konflik geopolitik. Hal ini tentu memengaruhi dinamika perekonomian global.
Sementara itu, dari internal tekanan terhadap rupiah datang dari berbagai sisi. Selain kontribusi inflasi yang masih tinggi, pemicu utama rupiah melemah adalah defisit neraca transaksi berjalan akibat perkembangan ekspor yang tidak mampu mengimbangi impor yang melesat. Ketergantungan kita terhadap impor sangat tinggi untuk barang modal, bahan baku industri, dan konsumsi.
Pergerakan rupiah mesti dijaga dari beberapa kondisi yang dapat menimbulkan tekanan. Porsi mata uang dollar AS yang masih dominan terhadap total utang negara membuat tekanan terhadap rupiah menjadi cukup tinggi.
Ditambah lagi dengan adanya potensi keluarnya dana asing, terutama dari pasar obligasi yang tentunya juga akan menimbulkan tekanan bagi nilai tukar rupiah. Karena itu diperlukan adanya upaya pemerintah mengurangi tekanan, antara lain dengan menjadi ”pembeli” ketika asing menjual surat utang dalam mata uang rupiah tersebut.
Penjualan surat utang dalam rupiah biasanya akan dikonversi investor asing ke dalam dollar AS. Konversi inilah yang bisa menjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Ketika investor asing menjual Surat Berharga Negara (SBN) dalam rupiah, tidak hanya harga dari SBN yang jatuh, tetapi juga membuat rupiah melemah karena konversi rupiah tersebut ke dollar AS.
Pelemahan rupiah ini membuat tidak hanya sektor keuangan menjadi lebih rentan, tetapi juga perekonomian secara keseluruhan. Fluktuasi rupiah membuat harga-harga di dalam negeri juga terbawa rentan.
Hal itu oleh karena perekonomian Indonesia tidak lepas dari ketergantungan pada impor, baik dari sisi barang modal maupun bahan baku untuk industri. Di sini, fluktuasi rupiah juga berpengaruh pada defisit neraca perdagangan.
Ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, harga barang impor menjadi lebih mahal. Sebagai bahan baku, kenaikan itu membuat biaya produksi naik yang berakibat pada kenaikan harga produksi, yang berujung pada kenaikan inflasi.
Kondisi ini dikenal juga dengan istilah exchange rate pass through, inflasi yang disebabkan nilai tukar. Ketika inflasi meningkat dan menggerus daya beli masyarakat, dikhawatirkan gejolak sosial bisa muncul.
Kekhawatiran melemahnya rupiah secara tajam seperti pada krisis di pengujung tahun 2000 tentu tidak diinginkan saat ini mengingat potensi tersebut bisa saja terjadi. Apalagi pada saat pandemi global melanda seperti sekarang dan perekonomian global mengarah resesi.
Utang luar negeri pemerintah pun bertambah. Posisi utang luar negeri pemerintah pada akhir triwulan II-2020 tercatat 196,5 miliar dollar AS atau tumbuh 2,1 persen (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi 3,6 persen.
Hal ini mengindikasikan persepsi terhadap pemerintah masih positif meskipun dampak pandemi belum sepenuhnya teratasi. Ke depan pemerintah dan BI harus selalu berhati-hati dan akuntabel dalam pengendalian moneter sekaligus menjaga nilai tukar selama pandemi ini. (LITBANG KOMPAS)