Pengembangan industri 4.0 sebenarnya bisa bertumpu pada investasi baru yang padat modal dan teknologi. Namun, hal ini memunculkan kompleksitas di tengah surplus tenaga kerja, pengangguran, dan problem kompetensi.
Oleh
Agnes Theodora, Mediana
·5 menit baca
Inovasi digital ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, otomasi dan digitalisasi bisa mendorong efisiensi dan menambah daya saing pelaku industri untuk bermain di kancah global. Namun, di negara dengan surplus angkatan kerja membeludak, problem pengangguran tinggi, dan ketidaksiapan angkatan kerja, inovasi digital juga membawa disrupsi.
Dilema dan tantangan klasik itu ditambah dengan pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, bahkan semakin parah. Angka pengangguran bertambah, kemiskinan menjadi-jadi, sementara kapasitas sumber daya manusia Indonesia untuk mengejar pesatnya perkembangan teknologi siber masih tertinggal.
Indonesia, yang awalnya sudah bersiap-siap merespons revolusi industri 4.0 dan mengembangkan SDM yang cakap digital, kini harus memecah fokus. Antara memperbanyak industri yang berdaya saing lewat digitalisasi dan menciptakan sebanyak-banyaknya lapangan kerja untuk masyarakat yang belum cakap digital.
Dalam bincang-bincang secara daring dengan Kompas, akhir Juni 2021, Country Managing Director Accenture Indonesia Kher Tean Chen turut menyoroti tantangan pelik yang dihadapi Indonesia itu. Accenture, firma konsultan manajemen dan layanan teknologi global, telah bekerja dengan berbagai perusahaan multinasional global untuk melakukan adaptasi digital.
”Digitalisasi industri di Indonesia adalah isu yang sangat kompleks, manufakturnya masih sangat basic, dan ekosistem di sekitarnya pun belum komplet,” ujar Kher Tean.
Industri manufaktur Indonesia masih didominasi usaha skala kecil dan menengah (IKM). Data Kementerian Perindustrian, dari total 4,4 juta unit usaha industri nasional, sebanyak 99,77 persen di antaranya berskala IKM. Hanya 0,23 persen atau sebanyak 10.183 unit usaha yang termasuk dalam industri besar.
Tenaga kerja pun lebih banyak terserap pada IKM, yakni 66,25 persen dari total 15,63 juta angkatan kerja yang terserap di industri manufaktur. Hanya 33,75 persen tenaga kerja yang bekerja di industri pengolahan skala besar.
Alhasil, baru segelintir industri yang memanfaatkan teknologi digital, internet, komputasi awan (cloud) dan big data untuk mengembangkan industri 4.0 di Indonesia. Ambil contoh, sektor makanan dan minuman.
Data Kementerian Perindustrian, 70 persen pelaku industri makanan-minuman berskala besar baru beroperasi di level industri 3.0 (otomasi dan teknologi komputerisasi) dan 30 persen sisanya masih menggunakan teknologi industri 2.0 (produksi massal dan elektrifikasi). Sementara itu, 70 persen industri mikro dan kecil masih beroperasi di level 2.0. Hanya 30 persen IKM yang sudah beralih ke industri 3.0.
Kher Tean mengatakan, pengembangan industri 4.0 di Indonesia sebenarnya bisa bertumpu pada investasi baru yang saat ini sedang gencar disasar pemerintah. Namun, hal ini memunculkan kompleksitas lain mengingat kondisi angkatan kerja sedang terdisrupsi dua hal: akselerasi digitalisasi dan dampak pandemi Covid-19.
Di satu sisi, untuk sementara ini, investasi padat karya masih dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan menekan pengangguran. Di sisi lain, investasi padat modal dan padat teknologi juga diperlukan untuk mendorong daya saing Indonesia di rantai pasok global yang semakin terdigitalisasi.
”Pemerintah Indonesia mendorong masuknya investasi, tetapi ini sulit karena selama ini, apa yang ada di pikiran pemerintah adalah menciptakan lapangan kerja, yang berarti industri manufaktur masih berat sebelah pada penggunaan tenaga kerja massal (labour),” kata Kher Thean.
Peta jalan
Di sini dibutuhkan campur tangan pemerintah untuk membuat peta jalan (road map) industri yang terencana. Sektor yang membutuhkan otomasi dan teknologi digital mutakhir perlu dibedakan dengan sektor padat karya yang saat ini masih diperlukan untuk menyerap angkatan kerja yang tersedia, yang umumnya masih berpendidikan rendah-menengah.
IKM tetap menjadi tulang punggung dan keunikan industri manufaktur di Indonesia. Namun, bukan berarti mereka tetap berjalan di tempat. Dengan skala pemanfaatan teknologi digital yang berbeda dari usaha besar, IKM juga harus mulai beradaptasi dengan rantai pasok global yang terdigitalisasi.
Seiring dengan itu, angkatan kerja Indonesia juga harus dilatih sejak sekarang agar lebih terampil dan siap menghadapi perubahan industri di kemudian hari.
Kher Thean menyoroti pentingnya aspek demokratisasi teknologi, di mana dunia usaha dan industri harus meluangkan upaya dan sumber daya untuk melatih karyawannya beradaptasi dengan dunia digital. Riset Technology Vision 2021 yang dibuat Accenture, awal tahun ini menunjukkan, 82 persen pengusaha Indonesia sepakat bahwa mereka harus berpartisipasi untuk mengembangkan SDM.
Sebanyak 82 persen pengusaha Indonesia sepakat bahwa mereka harus berpartisipasi untuk mengembangkan SDM.
Terkait ini, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam wawancara dengan Kompas, pekan lalu, mengatakan, pemerintah sedang melakukan transformasi balai latihan kerja (BLK) yang terintegrasi dengan pelaku industri untuk membekali SDM dengan keterampilan yang relevan dengan perkembangan digital di dunia industri.
”Perlindungan terbaik yang bisa kita siapkan untuk pekerja adalah menyiapkan kompetensi mereka karena nantinya mereka akan mendapat reward atas kompetensi yang mereka punya,” kata Ida.
Lewat transformasi BLK dan pendidikan vokasi itu, pemerintah akan menggandeng dunia industri untuk bersama menyusun modul pelatihan yang relevan sesuai perkembangan. ”Pelatihan harus diredesain, tetapi kami tidak bisa sendiri. Keterampilan apa yang dibutuhkan oleh industri? Sampaikan ke kami sehingga modul pelatihan bisa dikembangkan, tidak statis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Kher Tean menilai, pemerintah juga perlu segera mengembangkan ekosistem yang ramah teknologi digital ala industri 4.0. Digitalisasi pada industri membutuhkan ekosistem rantai pasok yang terkoneksi dan efektif dari hulu ke hilir, dari produksi sampai sistem logistik yang mengandalkan digital.
Berpikir global
Meski digitalisasi industri di Indonesia masih menghadapi tantangan pelik, Kher Tean menilai, sektor industri digital memiliki potensi yang besar. Menurut dia, kehadiran perusahaan rintisan (startup) digital menjadi pilar penting untuk mendorong pengembangan teknologi digital di Indonesia. Terlebih, pelaku startup digital lokal umumnya sudah terbiasa menggunakan teknologi komputasi awan dalam kegiatan bisnis sehari-hari.
”Perusahaan rintisan teknologi ini menjadi pencipta tren untuk adopsi penggunaan cloud. Kehadiran mereka akan menjadi tulang punggung ekonomi digital di Indonesia,” katanya.
Namun, ia menilai pelaku usaha rintisan bidang teknologi di Indonesia masih cenderung melihat pasar secara domestik. Akibatnya, platform digital dari negara lain masuk dan mendominasi pasar, seperti kehadiran Shopee di jagat platform digital nasional.
”Itu tidak salah, tetapi alangkah lebih baik jika pelaku startup digital memiliki visi untuk menembus pasar internasional. Jangan nyaman dengan pemikiran bahwa Indonesia punya pasar besar, pelaku usaha harus berani bepikir global,” ujar Kher Tean.