Mesin Berputar dan Industri 4.0
Selama masih ada mesin berputar, produk ”bearing” atau laher akan terus dibutuhkan. Di sinilah kiprah PT SKF Indonesia. ”Kompas” dapat kesempatan wawancara khusus dengan Presiden Direktur PT SKF Indonesia Toto Suharto.
Selama masih ada mesin berputar, di situ bearing, atau bahasa awamnya laher, akan selalu dibutuhkan. Inilah pasar sekaligus peranan penting produsen laher, seperti SKF Indonesia.
Mulai dari roda sepeda sampai turbin pembangkit listrik tenaga angin, semuanya membutuhkan bearing atau laher. Bantalan ini berfungsi mengurangi gesekan pada bagian berputar sehingga perputarannya lancar dan membutuhkan energi minimum.
SKF Indonesia telah memproduksi laher ini dalam berbagai model dan ukuran di Tanah Air sejak 1986. Namun, kini, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, perusahaan tersebut tidak terbatas hanya memproduksi barang saja, tetapi juga mengembangkan berbagai bisnis model baru bagi para konsumennya.
Kompas mendapat kesempatan wawancara khusus dengan Presiden Direktur PT SKF Indonesia Toto Suharto, Selasa (8/12/2020). Pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 21 Maret 1972, ini baru duduk di kursi puncak perusahaan tersebut sejak 1 Oktober 2020. Berikut ini petikan wawancaranya.
Bisa diceritakan gambaran operasional SKF di Indonesia saat ini?
SKF di Indonesia ini memiliki dua perusahaan. Yang pertama PT SKF Indonesia, di mana di situ ada pabrik pembuatan bearing yang utamanya untuk roda 2 dan roda 4. Jadi, ada produksi dan ada sales unitnya di SKF Indonesia.
Kemudian, yang kedua ada PT SKF Industrial Indonesia. Perusahaan ini mengkhususkan di aplikasi-aplikasi industri. Semua mesin atau komponen yang ada putarannya, pasti kan memakai bearing. Nah, itu mereka memang bergerak di aplikasi-aplikasi industri. Dari kendaraan bergerak hingga mesin-mesin di pabrik-pabrik, atau bahkan yang terkait dengan, misalnya, pembangkit listrik tenaga angin ataupun turbin-turbin yang besar, itu semua menggunakan bearing.
Kalau dari manpower jumlahnya semua lebih kurang ada 500 orang. Jadi, 100 orang di PT SKF Industrial Indonesia, dan lebih kurang 400 orang ada di PT SKF Indonesia yang ada manufakturnya.
Toto sendiri menjabat presdir di PT SKF Indonesia dan sebagai salah satu direktur di PT SKF Industrial Indonesia.
SKF Industrial Indonesia tidak memiliki fasilitas manufaktur di sini?
Kalau Industrial belum ada manufakturnya. Sebagian (kebutuhan bearing) memang diproduksi oleh kami (PT SKF Indonesia) untuk bearing-bearing yang kecil, tetapi untuk bearing-bearing yang besar dan model lainnya, yang bukan ball bearing, belum diproduksi di sini. Karena, kita harus melihat economic of scale-nya, ya. Biasanya untuk aplikasi industri itu bearing-nya gak banyak, tetapi besar-besar dan aplikasinya dari segi volume tinggi juga. Bearing-nya bisa sebesar rumah atau sebesar orang.
Kami ada pabrik di China, Malaysia, India, Italia, dan juga Jerman. Tergantung dari aplikasinya apa, mereka menyesuaikan. Karena tidak semua pabrik memproduksi bearing yang sama.
Bagaimana pengembangan bisnis yang dilakukan SKF Indonesia?
Sekarang produk kami itu tidak cuma bearing. SKF juga memiliki bisnis lain di sealing dan lubrication (pelumas). Ini lubrication khusus untuk bearing. Kan, SKF sebagai pembuat bearing mengetahui lebih baik lubrication apa yang paling baik digunakan untuk bearing-bearing tertentu.
Terus sekarang juga ada sedikit peralihan juga dari business model. Kalau dulu, kan, SKF ini memproduksi barang, yakni bearing. Nah, sekarang dengan adanya digitalisasi, Industri 4.0 dan IoT (internet of things), kita sudah mulai bergerak dari produk ke arah Rotating Equipment Performance (REP). Artinya, pelanggan itu membayar performance dari bearing tersebut. Jadi, tidak sekadar membeli produknya lagi, tetapi mereka bisa membuat kontrak dengan SKF terkait, misanya, uptime dari mesin.
Kan, kalau mesin bisa ada downtime, maintenance, dan sebagainya. Nah, mereka sekarang bisa memiliki berbagai macam business model dengan SKF. Jadi, ini peralihan business model dari produk ke jasa layanan (services) yang terkait dengan performance dari rotating equipment-nya tersebut.
Mulai kapan pergeseran ini?
Sebenarnya sudah beberapa tahun yang lalu. Kalau di Eropa, kan, Industri 4.0 sudah mulai tahun 2012-an. Sejak itu SKF sudah merintis beberapa aplikasi. Jadi seperti tadi kita kan sudah bicara tentang service, kita juga bicara tentang condition monitoring. Artinya, memonitor kondisi mesin, seperti semacam aplikasi, ada alatnya, ada perangkat lunaknya, ada kecerdasan buatannya.
Banyak mesin yang berputar itu kadang-kadang perlu di-maintenance atau diganti suku cadangnya. Nah, untuk mengetahui kapan harus diganti suku cadangnya itu bisa menggunakan equipment dan infrastruktur dari SKF. Jadi, sebelum mesinnya rusak, kita sudah bisa mengantisipasi dulu, oh ini sudah harus diganti, oh ini harus diperbaiki. Jadi, downtime-nya bisa dikurangi. Itu bagi customer sangat bermanfaat. Karena kalau tidak diantisipasi, kerusakannya bisa lama dan itu bisa menyebabkan kerugian yang besar.
Jadi, ini terkait dengan condition monitoring dan predictive maintenance. Perawatan yang bisa diprediksi. Sebelum rusak, kita sudah tahu apa yang harus diganti dan kapan harus diganti. Jadi, sekarang model bisnis kami sudah berubah. Dari sekadar produk menjadi lebih ke arah service dan aplikasi.
Artinya sekarang yang ditawarkan lebih ke solusi komprehensif ya? Tidak hanya bearing-nya saja, tetapi semua mesin berputar itu dikontrol oleh sistem yang diberikan SKF ya?
Betul. Memang di Indonesia kami saat ini masih cukup besar di produk, ya. Kan, kami punya pabrik di sini yang memproduksi bearing untuk (kendaraan) dua roda dan bearing untuk empat roda. Jadi, otomotif masih menjadi pasar yang sangat potensial untuk SKF. Makanya, kita juga mencoba untuk membuka distributor-distributor baru untuk roda 2 dan roda 4. Yang sedang kita jajaki ini sekarang di Palembang, Medan, Bali, dan mungkin nanti beberapa tempat lagi di Sumatera dan Kalimantan, dan Indonesia timur.
Dari sisi nilai bisnisnya, berapa persen yang untuk otomotif ini?
Untuk tahun 2019, saya lihat nilai bisnisnya 50:50 lah, ya. Mungkin lebih banyak sedikit yang otomotif. Cuma kalau dilihat dari angkanya, 50:50, dari nilai bisnis yang kita deliver ke customer. Mungkin kalau dilihat dari jumlah bearing yang diproduksi dan dikirim ke customer dari PT SKF Indonesia lebih banyak yang untuk otomotif. Dari jumlah bearing-nya, ya. Tapi dari business value-nya, mungkin karena Industrial itu kan aplikasi dan juga proyek, nilai bisnisnya agak sedikit berbeda. Kan, tidak hanya produk, tetapi dari service, projects, dan aplikasi.
Dan, kita juga dari PT SKF Industrial Indonesia punya training center. Tentunya untuk memberikan training terkait products dan solusi. Dan ke depannya diharapkan bisa bersinergi dengan industri dan pemerintah dan juga (dunia) akademis. Jadi, kita juga mencoba membuat ekosistem training juga ke depan.
Dengan pergeseran ini, berarti ada perekrutan tenaga baru dibandingkan dengan zaman dulu, ya?
Ya, sekarang baik di SKF Indonesia maupun di SKF Industrial memang kami sangat membutuhkan application engineers namanya. Application engineers itu biasanya insinyur-insinyur yang mencoba mengerti berbagai kebutuhan dari customer yang kemudian diterjemahkan dalam produk atau solusi yang kita miliki. Dan, juga tentunya saat ini kami membutuhkan pegawai-pegawai yang mengerti digital, punya digital mindset begitu. Karena, aplikasi yang kita miliki juga sudah mengarah ke digitalisasi.
Dan, juga kalau kita bicara digitalisasi, di pabrik pun kita harus mulai dengan digitalisasi juga. Supaya lebih efisien lagi.
Itu sebabnya, jumlah karyawannya tidak terlalu banyak? 500 orang untuk dua perusahaan, padahal mengoperasikan pabrik. Apakah pabriknya sudah hampir sepenuhnya otomasi?
Ya, pabriknya otomatisasi, dalam artian memang mesinnya, kan, banyak machining ya. Machining itu, kan, memang sebagian besar tidak perlu dioperasikan orang karena sudah ada program automation-nya. Jadi, orang itu paling hanya men-setting parameter dari mesin. Kemudian kalau ada masalah di mesin, memperbaiki. Atau ketika ada pergantian part number. Atau mereka harus mengganti parameter atau tooling-nya. Jadi, memang kebutuhannya tidak padat karya kalau kita. Karena, (membuat) bearing itu banyaknya prosesnya machining. Mesin bubutlah gampangnya. Tak bisa dikerjakan sama orang.
Bagaimana sejarah perjalanan SKF di Indonesia?
Kalau di Indonesia kan ada dua entitas perusahaan, ya. Jadi, di Indonesia ini yang satu SKF Indonesia, ini transisi dari sebelumnya perusahaan lokal. Sebelum diakuisisi SKF, ini perusahaan lokal. Jadi, sejarahnya perusahaan lokal yang diakusisi SKF, kemudian sekarang menjadi perusahaan joint venture antara SKF dan Astra Otoparts (AOP). Jadi, saham PT SKF Indonesia ini, 60 persen dimiliki SKF global, kemudian 40 persennya AOP.
Kalau PT SKF Industrial Indonesia, itu 100 persen (sahamnya dimiliki) SKF. Itu juga awalnya dari perusahaan lokal. Perusahaan lokal ini dari awalnya produksi bearing, mungkin awalnya lisensi begitu. Terus melihat perkembangan bisnis dan peluang di Indonesia, SKF memutuskan untuk investasi di sini. Mungkin agak berbeda dengan perusahaan PMA lainnya yang langsung terjun gitu. Ini ada sejarah Indonesianya ternyata.
(Merek-merek laher), seperti Aspira, Genio, dan FitGo, itu diproduksi di SKF. Mereka pakai brand masing-masing, tetapi produksi di SKF. Termasuk kreasi lokal. Yang merek SKF juga ada. Biasanya beda part number.
Tadi sudah disebutkan nilai bisnisnya 50:50 antara (produksi) untuk sektor otomotif dan sektor solusi industrial. Nah, apakah ke depannya SKF akan lebih mengejar yang solusi industrial ini?
Tidak. Jadi, kita akan bergerak tetap seperti di beberapa negara dan secara global juga kita kembangkan bisnis di semua bidang. Terutama untuk Indonesia, tentunya otomotif motor dari perekonomian Indonesia. Memang, sekarang pada (era) Covid-19 ini otomotif yang paling menderita ya, terdampak, tetapi sebenarnya optimistis mungkin 2022 sudah kembali ke level 2019. Jadi, kita tetap mengikuti perkembangan otomotif. Tapi, karena pasar Indonesia ini besar, kami sih yakin bisnis otomotif di Indonesia akan semakin berkembang.
Di lain pihak, dengan adanya digitalisasi, Industri 4.0, aplikasi-aplikasi di industri juga akan semakin berkembang. Jadi, kita tidak bisa, OK kita akan go di industri (saja), tetapi kita akan go di berbagai macam bisnis yang bisa kita jalankan. Jika kita melihat potensi, kita akan mengejar semua yang bisa kita nilai. Cuma memang dari segi aplikasinya berbeda (antara otomotif dan industri lain).
Soal elektrifikasi di dunia otomotif. Mobil listrik adalah masa depan, dan beberapa produsen akan membuka pabrik di Indonesia. Terkait dengan itu semua, produk bearing apakah masih relevan?
Kita sih melihatnya masih relevan. Karena, semua yang berputar, semua yang bergerak, masih perlu ball bearing, kan? Kalau kita sih bilangnya we are everywhere. Kita di mana-mana. Misalnya, pembangkit listrik tenaga angin, itu kan listrik juga, tetapi berputarnya kan menggunakan bearing itu. Kereta listrik ya ada bearing-nya juga. Jadi, kalau menurut saya, elektrifikasi buat kita bukan ancaman sih. Justru kesempatan untuk mengembangkan produk-produk kita lagi.
Kan, kalau bearing itu ada dua faktor, yang pertama friction (hambatan), yang kedua berat (weight). Jadi, mobil listrik ini kan pakainya baterai. Baterai ini harus dimanfaatkan seefisien mungkin. Nanti mungkin larinya ke material (bearing) yang lebih ringan. Yang kedua, less friction. Jadi, friksi yang semakin berkurang. Jadi untuk mengurangi energi, friksinya kan harus lebih smooth lagi, lebih lancar lagi, itulah mungkin tantangan ke depannya, bagaimana kita membuat bearing yang low friction dan low weight. Supaya relevan untuk masa elektrifikasi. Karena kuncinya ke depan mobil listrik itu mengurangi beban ya, supaya baterainya bisa lebih jauh (jangkauannya).
Bagaimana Anda melihat perkembangan industri manufaktur ke depan?
Ya, sekarang ini kan dengan adanya isu Covid ini, ada satu tren ya. Kami bilangnya tren ini adalah local for local. Karena semenjak Covid, ketika terjadi di China, misalnya, (pabrik) di China tutup. Tidak bisa mengirim bearing ke mana pun. Sementara di Indonesia waktu itu belum tutup. Kita butuh bearing atau butuh materialnya. Makanya, sekarang ada banyak perusahaan yang berusaha meningkatkan aktivitasnya local for local. Kalau kami di produksi lokal untuk pasar lokal. Ya minimal cakupannya regionallah, misalnya ASEAN. Jadi, ketika terjadi pandemi ataupun masalah-masalah baru yang akan muncul, market ini tidak akan terganggu.
Jadi, konsep Global Supply Chain yang dulu sempat muncul itu sekarang mulai direvisi lagi. Dulu, kan, China itu disebutnya pabriknya dunia. Dengan adanya pandemi ini agak sedikit berubah. Jadi perusahaan-perusahaan ini strateginya mulai berubah. Ya beberapa tahun yang lalu sebenarnya sudah local for local juga. Tapi kemudian dengan adanya efisiensi, mereka berusaha untuk mengglobalkan supply chain. Dengan adanya Covid-19 ini, trennya kembali ke local for local. Jadi, kalau menurut saya, ini kesempatan buat Indonesia dan SKF di Indonesia juga untuk terus berkembang, meng-cover pasar Indonesia yang masih cukup besar.
Kalau kita sendiri sih memang investasi terus dilakukan, jadi ke depannya juga akan ada investasi untuk penambahan kapasitas untuk manufaktur.
Ada kemungkinan diversifikasi produk lagi? Atau semua kebutuhan rotating machine untuk mobil atau motor itu sudah diproduksi semua oleh SKF?
Saya kira kita belum menyuplai ke semua pabrikan mobil ya. Itu satu potensi juga. Kemudian dengan adanya model-model baru, produk-produk baru, kita juga ditantang untuk menyesuaikan. Jadi, kita harus membuat produk yang baru juga.
Kalau masyarakat awam berpikir bearing itu ya bearing aja dari dulu ya? Ternyata teknologinya berkembang juga. Misalnya dari segi konstruksinya, desainnya, berkembang juga. Makanya, untuk ke depannya saya kira kita akan mencoba untuk meningkatkan bisnis di roda 4 juga. Kalau roda 2 kan sudah lumayan bagus kalau menurut saya. Roda 4 masih belum maksimal.
Dunia per-bearing-an ini menarik juga. Kita suka tidak sadar kalau semua yang berputar itu memerlukan bearing. Setelah berkecimpung di dunia bearing baru terasa manfaatnya.
Saat ini, bearing atau laher produksi SKF sudah diakui oleh sejumlah produsen sepeda motor dan mobil di Tanah Air untuk menjadi perlengkapan standar sejak dari pabrik (original equipment manufacturer/OEM), misalnya Astra Honda Motor (sepeda motor Honda) dan sepeda motor Suzuki. Sementara untuk mobil, SKF juga memasok OEM ke PT Astra Daihatsu Motor, PT Honda Prospect Motor (mobil Honda), dan Suzuki. SKF juga menjadi pemasok suku cadang asli (original equipment supplier/OES) untuk Honda Genuine Parts, Suzuki Genuine Parts, dan Yamaha Genuine Parts.
Manufaktur yang dilakukan di Indonesia proses dari material mentah atau assembling saja?
Di sini kita ada beberapa proses, jadi kita beli ring-nya, nanti di kita ada beberapa tahapan proses. Kebanyakan prosesnya adalah machining. Jadi, bagian tengahnya harus dibubut supaya bolanya berputar di jalannya, kemudian kita juga ada heat treatment untuk mengolah komponennya. Ada machining, ada heat treatment, ada assembling. Jadi, tidak hanya assembling, memang ada teknologi-teknologi yang harus kita kuasai di sini.
Orangnya juga harus kita training, harus kita didik supaya mereka menguasai teknologi ini. Teknologinya, kalau machining, itu ternyata cukup rumit juga karena parameternya toleransinya di (ukuran) micron ya. Bukan mili bukan senti, melainkan micron. Untuk mencapai kualitas seperti itu, perlu teknologi dan perlu orang yang mengerti. Jadi, kita tidak hanya melakukan proses assembly, yang mungkin dari segi value-add rendah ya, tetapi kita juga melakukan proses yang value-add-nya lumayan tinggi.
Bahan bakunya kebanyakan dari mana?
Bahan bakunya saat ini kebanyakan dari China. Mungkin beberapa dari India, dari Jerman juga ada. Tergantung dari produknya. Kesulitan kita di Tanah Air kalau menurut saya umum ya, kesulitannya memang di steel production-nya. Metalurgi. Jadi, perusahaan-perusahaan mobil pun kan sebenarnya bahan bakunya impor ya untuk besi yang berkualitas baik. Saya kira ini tantangan ke depannya ya, bagaimana menciptakan pabrik baja yang sesuai dengan kebutuhan otomotif. Ini tantangan terberat di Indonesia.
Anda punya pengalaman 25 tahun di Jerman dan terlibat dalam industrinya. Apa strategi personal untuk memajukan SKF, terutama pada kondisi sekarang?
Sebenarnya sejak kepulangan dari Jerman, saya sih hanya ingin memanfaatkan ilmu dan pengalaman yang saya miliki untuk kemajuan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Jadi, saya melihat SKF ini memiliki potensi yang besar untuk berkembang, dengan sistem produksi yang diimplementasikan lebih baik. Dan juga dengan solusi digitalisasi dan Industri 4.0, saya kira perusahaan ini akan berkembang jauh lebih cepat lagi. Itu motivasinya. Kebetulan SKF memberi kesempatan kepada saya.
Kebetulan juga saya aktif juga dengan Kementerian Perindustrian untuk mengembangkan kurikulum terkait lean manufacturing, itu prinsip produksi yang ramping gitu, dan juga dengan transformasi Industri 4.0. Itu sudah ada SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia)-nya yang tinggal disahkan. SKKNI yang dibuat Kemenperin, saya mencoba berkontribusi di situ juga. Jadi, selain di perusahaan, saya coba juga menyebarkan pengalaman dan ilmunya untuk dapat dimanfaatkan oleh perusahaan lain dan juga orang lain. Isinya sudah selesai, tinggal disahkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Menurut Anda, apa dasar yang dibutuhkan untuk Transformasi Industri 4.0?
Jadi, basisnya yang harus kita miliki ya, mungkin semua perusahaan yang bergerak di bidang manufacturing, itu basisnya lean production. Lean production itu kita berusaha semaksimal mungkin mengurangi waste. Waste itu artinya non-value-add activities, berbagai aktivitas yang tidak menghasilkan nilai. Kalau kita melihat di pabrik itu masih ada aktivitas-aktivitas yang tidak menghasilkan nilai, misalnya kegiatan menunggu. Menunggu itu, kalau di tempat produksi, adalah non value-add. Karena dia tidak menghasilkan nilai. Termasuk ergonomi di dalamnya, ketika seseorang meng-assembly sesuatu, itu bisa diukur, berapa waktu yang sebenarnya dibutuhkan untuk membuat satu barang tertentu. Nah, itu bisa di-improve terus sampai mendapatkan waktu yang benar-benar minimal. Karena di produksi, waktu kan sama dengan uang ya, sama dengan harga produk.
Jadi, untuk bisa memanfaatkan teknologi Industri 4.0 dengan baik dan maksimal, dasarnya adalah produksi kita harus lean dulu. Lean ini sendiri asalnya memang dari Jepang. Jadi, yang menjadi acuan banyak perusahaan ya, seperti SKF juga, itu namanya Toyota Production System (TPS). Itu menjadi acuan berbagai perusahaan untuk menerapkan lean di pabriknya masing-masing. Perusahaan-perusahaan Eropa, Jerman, dan Amerika pun ikut menerapkan TPS ini, mungkin dalam versi yang berbeda-beda ya, disesuaikan dengan produksinya. Kalau di SKF, kami menyebutnya SKF Production System.
Basiknya terkait lean itu, kalau menurut saya, tetap dari TPS itu. Tapi mungkin dari segi implementasinya disesuaikan dengan kondisi di lapangan, disesuaikan dengan proses yang dilakukan. Misalnya pabrik bearing atau pabrik mobil kan beda sama pabrik kimia, pabrik minuman-makanan. Jadi, dari nature-nya beda. Tapi ada beberapa prinsip yang sama.
Nah, kalau ini sudah diterapkan, baru kita bisa mendapatkan manfaat yang maksimal dari Industri 4.0. Kalau tidak, ya digitalisasi dan implementasi Industri 4.0 itu hanya mungkin visualisasi saja. Hanya mungkin display yang ditunjukkan, tapi kita tidak mendapatkan benefit-nya dalam artian mempermudah pekerjaan kita, atau produksi menjadi lebih produktif, mengurangi waktu yang non value-add. Justru, kalau menurut saya, suksesnya Industri 4.0 ini tidak hanya di teknologi, tetapi di people dan process-nya.
Jadi, kalau teknologi itu kan berkembang terus ya. Nah itu hanya sebagai alat ya. Hanya sebagai tool. Dulu mungkin kita menerapkan automation, sekarang muncul IoT, itu kan berkembang terus. Tapi yang penting kita harus menguasai proses yang kita miliki. Misalnya proses pembuatan bearing. Habis itu kita meneliti apa sih teknologi yang bisa kita manfaatkan untuk supaya produksi bearing kita lebih optimal lagi.
Misalnya tadi condition monitoring, kita melihat bagaimana kondisi mesin kita, kapan harus di-maintenance, kapan harus diganti suku cadangnya yang sudah aus dan sudah rusak. Nah, itu penerapan Industri 4.0 yang sesuai dengan proses yang kita miliki. Dan menambah produktivitas dan benefit bagi kita. Kemudian people, orang yang mengerjakannya, atau menggunakan solusi itu, harus kita upscaling juga dari skill-nya. Dia harus menggunakan teknologi IT, dia harus menggunakan mungkin ke depannya robotik, dan sebagainya. Kalau dia tidak bisa ya akan susah juga.
Jadi untuk menerapkan Industri 4.0 itu, tidak sekadar tiba-tiba jadi digital ya?
Nah, tidak bisa. Itu yang menurut saya kenapa banyak transformasi Industri 4.0 yang gagal itu karena mereka tidak berawal dari, kalau kita bilangnya pain point.
Jadi, tahun lalu saya berdiskusi dengan sekitar 100 perusahaan atas permintaan Kemenperin juga untuk sosialisasikan Industri 4.0. Nah, dari diskusi itu memang sebagian besar masih belum paham manfaat dari Industri 4.0 karena selalu berawal dari implementasi digitalnya dulu. Jadi, hanya membuat display, atau membuat semua yang tadinya manual didigitalkan. Apa yang tadinya kertas dibikin aplikasi dan sebagainya. Tetapi, tidak berangkat dari pain point. Pain point itu artinya apa sih kesulitan kita itu di mana, di proses kita, di produksi kita.
Kalau kesulitan kita, misalnya, di menentukan produktivitas dari mesin, ya yang divisualisasikan mungkin bagaimana melihat kehilangan atau losses ketika berproduksi. Jadi, benar-benar berangkat dari masalah yang kita miliki, bukan ujug-ujug kita membeli software, membeli aplikasi, kemudian semuanya jadi dimunculkan di display. Tapi, kita tidak tahu masalah apa sebenarnya yang sudah kita selesaikan.
Jadi, yang sederhana-sederhana sebenarnya sudah cukup untuk kemudian dibuat digital. Tapi, bukan berarti berawal dari digital dulu. Tapi, berawal dari benar-benar kebutuhan kita itu apa sih. Nah dari kebutuhan ini, teknologi 4.0 apa yang bisa dimanfaatkan.
Jadi bukan langsung, oh kita beli robot untuk, misalnya, membuat satu produk. Tapi, apakah itu efektif dan efisien buat produksi kita, itu tidak dikaji dulu. Justru harusnya dikaji dulu, ini bikin produk apa, prosesnya bagaimana, sulit atau mudah, bisa dikerjakan manusia atau tidak, baru kita membuat keputusan ini prosesnya sulit, sehingga harus dikerjakan misalnya oleh robot. Atau, misalnya, kita beli sensor-sensor tertentu untuk apa gitu, ya nice to have mungkin ya, bagus untuk dimiliki, tapi kegunaannya tidak dipetakan dalam produksi dan proses kita.
Jadi, berangkat dari proses yang kita miliki, kemudian masalah yang kita hadapi, baru kita mencari solusinya. Bukan kebalikannya: ini ada solusi lho, cari masalahnya. Nanti itu kita bilangnya pilot project trap. Jadi berhenti di pilot project aja karena dia tidak tahu ini kelanjutannya gimana gitu.
Tapi, di sosialisasi kemarin diajarkan juga untuk bikin pilot, tetapi juga diajarkan untuk bikin roadmap. Peta jalannya itu seperti apa, nanti perjalanan, journey-nya untuk Industri 4.0 di perusahaan itu apa dan bagaimana. Supaya dia tidak hanya berhenti di pilot. Nah, itu di SKKNI yang dibuat itu ada.