Meneropong Ekonomi Digital 2021
Ekonomi digital berpotensi menjadi tulang punggung (” backbone” ) dalam pemulihan ekonomi Indonesia tahun 2021. Menjadi solusi pada masa pandemi dan setelahnya sehingga butuh kebijakan ekonomi digital optimal.
Pemulihan ekonomi merupakan tema besar perekonomian Indonesia pada 2021. Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan sendi perekonomian nasional dan global, mendorong banyak negara, termasuk Indonesia, masuk ke dalam jurang resesi.
Asa sudah terlihat, dengan semakin dekatnya penemuan vaksin Covid-19, dan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 yang relatif lebih baik dibandingkan dengan kuartal sebelumnya menjadi indikasi awal bahwa pemulihan ekonomi dapat berjalan dengan cepat. Ekonomi digital akan memegang peran sentral dalam mempercepat pemulihan ekonomi tahun 2021.
Pandemi yang berlangsung memaksa banyak orang beradaptasi dengan teknologi. Laporan yang dikeluarkan Facebook dan Bain Company menunjukkan tahun 2020 di Asia Tenggara terdapat 310 juta konsumen digital, angka yang seharusnya baru dicapai empat tahun lagi.
Pada laporan tersebut ditunjukkan bahwa barang yang dikonsumsi oleh konsumen Indonesia meningkat 40 persen apabila dibandingkan tahun 2019, sedangkan jumlah online shops yang dikunjungi meningkat 30 persen. Secara keseluruhan, jumlah konsumen digital di Indonesia bertambah 35 juta dibandingkan dengan tahun 2018.
Pandemi yang berlangsung memaksa banyak orang beradaptasi dengan teknologi.
Masa depan mendekat lebih cepat daripada perkiraan. Menariknya, untuk konteks Indonesia, pertambahan konsumen digital selama masa pandemi sebagian besar berasal dari kota non-metropolitan. Berdasarkan riset dari Google, Temasek, dan Bain&Company (2020), 56 persen dari tambahan konsumen digital berasal dari nonmetro.
Riset tersebut menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia tahun 2020 mengalami lonjakan tajam, tumbuh 11 persen dibandingkan 2019, mencapai 44 miliar dollar AS saat ini. Angka tersebut diperkirakan 124 miliar dollar AS tahun 2025.
Peran digital 2021
Memasuki tahun 2021, ekonomi digital diharapkan dapat menjadi lokomotif utama dalam pemulihan ekonomi nasional. Isu besar perekonomian dalam masa pandemi adalah sulitnya melakukan transaksi karena minimnya mobilitas. Dalam hal tersebut, pada tahun 2021 ekonomi digital memegang setidaknya tiga peran penting.
Peran pertama, mendorong digitalisasi layanan ekonomi. Sejumlah produsen jasa mencoba beradaptasi, baik dengan mengubah layanan dalam bentuk digital maupun menjadikan digital platform sebagai sarana penjualan produk. Sektor jasa seperti pendidikan dan kesehatan saat ini mengubah bentuk layanan dalam bentuk digital.
Selain kursus daring (online), layanan health-tech juga semakin berkembang. Hal ini didukung oleh semakin tingginya permintaan jasa digital. Riset yang dilakukan Google, Temasek, dan Bain&Company (2020) menunjukkan bahwa 37 persen dari konsumen jasa digital pada 2020 adalah konsumen baru, di mana 93 persen akan terus menggunakan layanan jasa digital setelah pandemi.
Richard Baldwin dalam bukunya, Globotics Revolution, mengatakan bahwa teknologi digital, robotik, kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan mengurangi kebutuhan interaksi tatap muka sektor jasa, dan hal ini membuat semakin banyak pekerjaan jasa yang dapat diperdagangkan lintas batas negara. Contohnya, sejumlah layanan jasa, seperti jasa desain, animasi, hingga audit keuangan, saat ini mulai diperdagangkan melalui platform digital ataupun outsourcing lintas batas negara.
Selain kursus daring (online), layanan health-tech juga semakin berkembang.
Berdasarkan analisis KPMG, nilai transaksi untuk information technology outsourcing (ITO) dan business process outsourcing (BPO) secara global mencapai 167,9 miliar dollar AS, di mana sekitar 84 persen permintaan outsourcing berasal dari Amerika Serikat.
Peran kedua, mendorong perdagangan barang melalui layanan e-dagang (e-commerce), terlebih khusus untuk pelaku UMKM. Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh AMTC (2018), digitalisasi dapat menghemat biaya ekspor MSME di India, China, Korea Selatan, dan Thailand hingga sebesar 339 miliar dollar AS.
Lebih lanjut, riset AMTC tersebut menemukan bahwa teknologi digital menghemat waktu untuk ekspor dari UMKM sebesar 29 persen, dan mereduksi 82 persen biaya ekspor UMKM yang memanfaatkan berbagai tools digital. Teknologi digital mendorong UMKM untuk memasuki pasar global yang sebelumnya sulit untuk diraih.
Peran ketiga, memfasilitasi pembayaran. Untuk mendorong transaksi, sistem pembayaran yang baik tentu diperlukan, hal ini dapat difasilitasi oleh layanan teknologi finansial/tekfin (financial technology/fintech). Pada awal tahun 2017, salah satu marketplace terbesar Indonesia mengeluarkan data, di mana 57 persen dari pembayaran e-dagang masih dilakukan dengan transfer bank, dan 28 persen dilakukan secara cash on delivery (bayar waktu barang datang). Kedua metode pembayaran tersebut masih sangat manual sehingga akhirnya menyebabkan high cancelation rate (pembatalan).
Maju lebih kurang tiga tahun setelahnya, pola pembayaran transaksi telah mengalami perubahan yang signifikan. Masyarakat telah mengadopsi pola pembayaran digital seiring dengan semakin berkembangnya perusahaan tekfin di Indonesia.
Data yang dirilis oleh Indonesia E-Commerce Association (IdEA) menunjukkan bahwa 34 persen konsumen bertransaksi di e-dagang saat Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) tahun 2019 dilakukan dengan E-Wallet, dan 29 persen konsumen menggunakan M-Banking.
Maju lebih kurang tiga tahun setelahnya, pola pembayaran transaksi telah mengalami perubahan yang signifikan.
Optimasi kebijakan
Peran ekonomi digital tersebut tentu perlu diimbangi dengan kebijakan yang tepat. Setidaknya terdapat tiga kebijakan yang perlu dioptimalkan untuk memperkuat ekosistem ekonomi digital.
Pertama, kebijakan bidang perdagangan melalui sistem elektronik. Aturan perdagangan melalui sistem elektronik di Indonesia masih belum memperhatikan variasi model bisnis setiap e-dagang yang ada. Akibatnya, terjadi potensi mismatch antara kewajiban dan model bisnis, yang dapat menyebabkan ketidapastian berusaha.
Berdasarkan kajian yang telah dilaksanakan Indonesia Services Dialogue (2020), untuk e-dagang dengan model bisnis classified ads/s-commerce (iklan baris), hanya tujuh dari 20 kewajiban yang dapat dijalankan secara penuh. Untuk e-dagang dengan bisnis model marketplace, hanya 13 dari 20 kewajiban yang dapat diijalankan.
Kajian menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomot 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik membebankan kewajiban yang dikenakan kepada Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) secara tidak proporsional dan tidak dapat diimplementasikan karena tidak sesuai dengan model bisnisnya. Pemerintah seharusnya merevisi PP No 80/2019 dan mempertimbangkan variasi model bisnis dari e-dagang Indonesia.
Kedua, kebijakan transfer data lintas batas. Pergerakan data ini menciptakan rantai nilai global (global value chain), menghubungkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari berbagai penjuru dunia. Berdasarkan riset dari Mckinsey Global Survey (2018), monetisasi data (data monetization) berkontribusi terhadap 10 persen dari keuntungan total dari 32 persen perusahaan yang berperforma tinggi.
Pada 2014, pergerakan dari data diperkirakan berkontribusi sebesar 2,8 triliun dollar AS dalam perekonomian global, dan diperkirakan mencapai 11 triliun dollar AS pada 2025 (Manyika et al, 2016, Mckinsey, 2015).
Adanya PP No 71/2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menjadi angin segara bagi dunia ekonomi digital nasional karena menghapuskan restriksi transfer data lintas batas. Restriksi dari lalu lintas data dapat berimbas negatif bagi perekonomian Indonesia.
Restriksi dari lalu lintas data dapat berimbas negatif bagi perekonomian Indonesia.
Penelitian ECIPE (2014) menunjukkan bahwa kebijakan lokalisasi data akan mengurangi kesejahteraan konsumen Indonesia sebesar 2,7 miliar dollar AS-3,7 miliar dollar AS, dan mengurangi pendapatan dari pekerja secara umum sebesar Rp 300.000-Rp 500.000 per pekerja.
Ketiga, kebijakan pelindungan data pribadi. Regulasi terkait data pribadi memegang peran penting dalam pengembangan ekonomi digital tahun 2021. Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang sedang disusun mengatur setidaknya enam hal utama: definisi dari data pribadi, hak dari pemilik data, mekanisme persetujuan (consent), kewajiban dari pengendali dan prosesor data, sanksi, dan terkait dengan kelembagaan.
Perlu menjadi catatan bahwa aturan pelindungan data pribadi ketika tidak disusun secara optimal berpotensi berimplikasi negatif terhadap perekonomian. Setidaknya terdapat empat potensi implikasi yang dapat terjadi.
Pertama, RUU PDP menjadikan data agregat, terenkripsi, dan pseudonim sebagai data pribadi, dan hal ini berpotensi mengurangi kemampuan analisis dari sebuah data. Umumnya data agregat digunakan untuk kepentingan penelitian yang akhirnya digunakan untuk meningkatkan pelayanan. Ketika data agregat dimasukkan ke dalam definisi data pribadi, dikhawatirkan hal tersebut dapat menghambat kemampuan analisis dari data.
Ekonomi digital berpotensi menjadi tulang punggung (backbone) dalam pemulihan ekonomi Indonesia tahun 2021. Dengan potensinya yang besar dalam mendorong mobilitas transaksi, ekonomi digital menjadi solusi pada masa pandemi dan setelahnya. Oleh sebab itu, kebijakan ekonomi digital yang optimal diperlukan untuk menjamin keberlangsungan ekosistem ini pada masa depan.
(Muhammad Syarif Hidayatullah, Policy Analyst Indonesia Services Dialogue)