Dunia Soroti Perlunya Pekerjaan Digital yang Humanis
Forum Menteri Ketenagakerjaan G-20 menggarisbawahi pentingnya pekerja digital diperlakukan seperti pekerja formal pada umumnya. Hindari misklasifikasi status bekerja yang membuat mereka rentan bekerja tanpa perlindungan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia mulai menyoroti pentingnya mewujudkan pekerjaan yang humanis di era fleksibilitas dan digitalisasi pasar kerja. Forum Menteri Ketenagakerjaan G-20 yang ditutup pekan ini mendorong negara-negara anggota untuk mengambil langkah-langkah menyikapi isu perlindungan buruh platform digital.
Dalam deklarasi para menteri ketenagakerjaan negara-negara G-20 (G-29 Labour and Employment Ministers’ Meeting) yang disampaikan pada Kamis (24/6/2021) di Catania, Italia, disebutkan, ekonomi digital dan dunia kerja fleksibel memberi keuntungan bagi pekerja untuk menavigasi kehidupan kerja dan sosialnya dengan lebih baik.
Namun, di sisi lain, menjamurnya pekerjaan gig di perusahaan platform digital itu juga mengangkat isu tentang minimnya perlindungan bagi pekerja. Forum G-20 menggarisbawahi pentingnya para pekerja digital diperlakukan dan dilindungi sebagaimana pekerja formal pada umumnya.
Forum pun membahas langkah-langkah yang harus diambil negara-negara anggota untuk menghindari adanya misklasifikasi status bekerja di kalangan pekerja gig atau buruh digital tersebut. Salah satunya membuat regulasi yang khusus mengatur pergeseran tren pekerjaan di era digital.
Forum pun membahas langkah-langkah yang harus diambil negara-negara anggota untuk menghindari adanya misklasifikasi status bekerja di kalangan pekerja gig atau buruh digital tersebut.
Secara umum, ada tiga isu prioritas yang diangkat dalam forum G-20. Selain isu pekerjaan digital yang humanis, hal lain yang menjadi komitmen adalah menciptakan pekerjaan yang lebih layak dan setara bagi pekerja perempuan. Kemudian, menyesuaikan sistem perlindungan kerja yang lebih adaptif dengan perubahan dunia kerja.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi, Minggu (27/6/2021), mengatakan, pemerintah memberi perhatian khusus pada tren kerja baru di ranah ekonomi gig. Salah satunya dengan menyiapkan regulasi yang mengatur ketentuan kerja, hak, dan perlindungan bagi pekerja platform digital dan pekerja lepas (remote working).
”Kami berkomitmen menjalankan semua kesepakatan. Tiga isu prioritas yang diangkat dalam forum itu mencerminkan tantangan ketenagakerjaan yang harus kita hadapi saat ini dan di masa mendatang,” kata Anwar, yang hadir dalam forum G-20 mewakili Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Terkait regulasi bagi pekerjaan platform digital, Anwar mengatakan, penerapannya tetap perlu memperhatikan kesiapan dan kondisi di setiap negara. Di Indonesia sendiri, pemerintah masih membuat kajian untuk membuat regulasi tersebut.
Menurut rencana, aturan baru itu akan dibahas bersama Kementerian Koperasi dan UKM. Sebab, selama ini pemerintah mengklasifikasikan para pekerja platform digital di bawah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Kemitraan, yang umumnya mengatur tentang sistem kerja kemitraan bagi pelaku UMKM.
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan (Barenbang) Kemenaker Bambang Satrio Lelono mengatakan, pemerintah masih perlu mengundang para pemangku kepentingan yang terkait dengan dunia kerja digital. ”Supaya keberadaan peraturan baru ini nanti bisa diterima semua sektor,” ujarnya.
Dalam dua bulan terakhir, banyak mitra kurir dari sejumlah perusahaan platform digital raksasa yang mengeluh karena skema insentif dan tarif upah diputuskan secara sepihak oleh perusahaan dan menyebabkan pendapatan mereka menurun.
Bambang mengatakan, pemerintah belum memutuskan bentuk regulasi tersebut. ”Apakah nanti undang-undang baru atau dalam bentuk peraturan pemerintah, itu yang sedang dikaji. Yang pasti akan diatur karena ini fleksibel sekali dan dari sisi hubungan kerja tetap perlu ada batasan yang lebih jelas agar tidak menciptakan gesekan sosial,” katanya.
Dinamika pekerjaan digital di Indonesia akhir-akhir ini menjadi salah satu isu yang banyak disorot. Dalam dua bulan terakhir, banyak mitra kurir dari sejumlah perusahaan platform digital raksasa yang mengeluh karena skema insentif dan tarif upah diputuskan secara sepihak oleh perusahaan dan menyebabkan pendapatan mereka menurun.
Para pekerja digital itu praktis bekerja tanpa perlindungan hukum karena mereka dianggap sebagai mitra usaha, bukan karyawan. Meski demikian, kenyataannya mereka tidak diperlakukan selayaknya seorang mitra usaha yang setara dan tidak pula mendapat hak dan perlindungan kerja selayaknya karyawan formal sebuah perusahaan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, perkembangan tren pekerjaan digital menuntut adanya regulasi yang relevan untuk mengisi kekosongan hukum itu.
”Dalam konteks pasokan dan permintaan pasar kerja yang tidak seimbang, posisi tawar pekerja mitra sangat lemah dan karena itu harus hadir regulasi dari pemerintah serta peran pengawasannya. Regulasi ini bisa disusun Kementerian Ketenagakerjaan dengan Kementerian Perhubungan,” ujarnya.
Timboel menyarankan regulasi baru itu mengatur ketentuan standar upah minimum bagi para pekerja digital yang diklasifikasikan sesuai jenis pekerjaan mereka. Seperti diketahui, bentuk pekerjaan digital ada banyak macamnya. Mitra pengemudi daring di platform on-demand hanya salah satu contoh.
Hal lain yang perlu diatur adalah waktu kerja dan waktu istirahat. Sebab, meski pekerjaan digital mengusung jargon fleksibilitas kerja, pada kenyataannya, kelenturan yang dijanjikan itu kerap tidak terjadi. Pekerja lepas digital justru kerap bekerja lebih keras dan tanpa batas waktu dibandingkan pekerja formal pada umumnya.
Selanjutnya, lanjut Timboel, regulasi baru juga harus mengatur tentang kewajiban perusahaan digital untuk tetap mendaftarkan para pekerja atau mitranya dalam program jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan serta memberi pekerjanya akses pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kerja.