Gaung Talenta Masa Depan Menunggu Gayung Bersambut
Aspirasi anak muda terkait UU Cipta Kerja penting didengarkan karena mereka akan jadi bagian dari struktur ketenagakerjaan di masa depan. Sejumlah elemen mahasiswa menggaungkan tuntuan terkait dampak regulasi itu.
Oleh
M Paschalia Judith J
·6 menit baca
Meski 51 peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah terbit, penolakan terhadap regulasi ”sapu jagat” itu tetap bergaung. Calon talenta yang menentang kehadiran UU Cipta Kerja ingin berkarya dan berkiprah dengan memegang prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainability) dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Hingga saat ini, Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB) periode 2020/2021 Nada Zharfania Zuhaira menilai, UU Cipta Kerja bukan solusi mendatangkan investasi berkelanjutan yang dapat berdampak positif pada kinerja perekonomian Indonesia. Oleh sebab itu, KM ITB merumuskan gagasan melalui dokumen ulasan kebijakan atau policy brief berjudul ”Peningkatan Kompleksitas Ekonomi untuk Sustainabilitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”.
Gagasan itu menyuarakan sudut pandang mahasiswa sebagai tenaga kerja masa depan. ”Kami memperkirakan, pada 20-30 tahun mendatang, UU Cipta Kerja akan memunculkan dampak buruknya. Ini adalah bentuk perjuangan kami dengan menciptakan gagasan yang timeless untuk masa depan dengan cara mengimajinasikan solusi yang dibutuhkan untuk menghadapi potensi dampak buruk tersebut,” tuturnya dalam wawancara khusus dengan Kompas.
Dalam rangka menjawab kebutuhan tenaga kerja masa depan, dia mengusulkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berorientasi pada indeks kompleksitas (economic complexity index/ECI). Dia optimistis, ECI akan menarik investasi yang sejalan dengan nilai-nilai kelestarian lingkungan dan pemberdayaan sumber daya manusia sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mendukung keberlanjutan.
Menurut Center for International Development Harvard University, ECI merupakan pemeringkatan negara berdasarkan keragaman dan kompleksitas ekspor produk. Semakin tinggi tingkat kompleksitas, berarti negara tersebut memiliki kemampuan produksi yang beragam dan canggih.
Di sisi lain, Nada memperkirakan, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan UU Cipta Kerja justru berisiko mendatangkan kelompok investor yang ekstraktif dan eksploitatif. Keduanya bukan kualitas investor yang diharapkan oleh talenta masa depan.
Sisi ekstraktif dan eksploitatif itu salah satunya tampak dari Pasal 22 Ayat 16 UU Cipta Kerja yang menghapus Pasal 29, 30, dan 38 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 38 UU Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan, izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.
Pasal 29 dan 30 mulanya mengatur tentang Komisi Penilai Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang terdiri dari instansi lingkungan hidup; instansi teknis terkait; pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji; wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; serta organisasi lingkungan hidup.
Dia berpendapat, penghapusan Pasal 29 dan 30 mengecilkan ruang partisipasi dan kontrol masyarakat dalam aspek dampak kegiatan usaha terhadap lingkungan hidup.
Dimensi lingkungan hidup dalam UU Cipta Kerja berseberangan dengan sejumlah investor hijau di tingkat mancanegara. Reuters pada 5 Oktober 2020 menyebutkan, 35 investor dunia yang memegang total aset 4,1 triliun dollar AS melayangkan surat kepada Pemerintah Indonesia. Mereka memperingatkan dampak UU Cipta Kerja terhadap perlindungan lingkungan hidup. Mereka khawatir UU Cipta Kerja berisiko merusak lingkungan.
Dari segi ketenagakerjaan, Pasal 81 UU Cipta Kerja mengubah Pasal 42 dan menghapus Pasal 43 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan itu mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh pemerintah pusat.
Akan tetapi, usaha rintisan atau start up dikecualikan dari kewajiban tersebut. Padahal, UU sebelumnya memperketat penggunaan tenaga kerja asing dengan kewajiban memiliki izin tertulis dari menteri.
Oleh sebab itu, Nada menyatakan, KM ITB menulis surat terbuka kepada Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Fraksi Partai Demokrat DPR agar tidak hanya menolak UU Cipta Kerja, tetapi juga merealisasikan solusi alternatif yang ditawarkan melalui ulasan kebijakan yang telah dirumuskan. ”Proses pengesahan UU Cipta Kerja adalah bukti nyata pengkhianatan pada segenap rakyat Indonesia,” begitu bunyi surat terbukanya.
Menanggapi surat terbuka tersebut, Ketua Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Hidup PKS sekaligus anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera mengapresiasi. ”Kami siap bekerja sama dengan elemen masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, untuk sama-sama mengawasi UU Cipta Kerja. Namun, posisi kami bukan sebagai penggerak atau inisiator,” katanya saat dihubungi.
Hingga saat ini, lanjut dia, PKS menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan cita-cita pembangunan hijau berkelanjutan. Fraksi PKS DPR juga memiliki opsi untuk mengadakan tinjauan legislatif atau legislative review. Namun, prosesnya membutuhkan persetujuan fraksi lain melalui rapat paripurna sehingga dapat masuk ke Program Legislasi Nasional.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, menjadi peninjau dokumen ulasan kebijakan yang dirumuskan KM ITB.
”Aspirasi mahasiswa dan anak muda terkait UU Cipta Kerja penting untuk didengarkan dan dipertimbangkan karena mereka akan menjadi bagian dari struktur ketenagakerjaan. Nantinya, mereka akan merasakan dampak UU Cipta Kerja secara riil. Keterlibatan mereka dalam menyusun terobosan perekonomian penting karena pembangunan nasional membutuhkan regenerasi,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (30/3/2021).
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menuturkan, ECI merupakan konsep yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai buah dari pengelolaan pengetahuan serta penelitian dan pengembangan. Hal ini terwujud dalam hilirisasi industri dan pemanfaatan teknologi.
”ECI bisa jadi patokan pertumbuhan ekonomi sekaligus ukuran keterlibatan negara terhadap rantai produk global. Semakin tinggi kompleksitas produk yang dihasilkan, makin tinggi pula nilainya,” ujarnya.
Berdasarkan data Center for International Development Harvard University, nilai ECI Indonesia sebesar 0,015 dan berada di posisi ke-61 pada 2018. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia masih tertinggal dari Singapura yang berada di ranking ke-5 dengan nilai ECI 1,85; Thailand di posisi ke-22 dengan nilai ECI 1,16; Malaysia di peringkat ke-26 dengan nilai ECI 1,02; Filipina di posisi ke-35 dengan nilai ECI 0,67; serta Vietnam di peringkat ke-52 dengan nilai ECI 0,14.
Berkaitan dengan kompleksitas produk, riset Fithra dan Agus Miftahul Ilmi yang berjudul ”Global Production Networks: Participation and Structural Break” yang dipublikasikan pada 2019 menyimpulkan, karakteristik industri manufaktur mempengaruhi tingkat partisipasi dalam jaringan produksi dunia. Industri di sektor teknologi informasi dan komunikasi memiliki tingkat partisipasi tertinggi lalu diikuti oleh industri transportasi, industri berbasis sumber daya, dan industri permesinan.
Tidak menggunakan
Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menyatakan, pelaku industri manufaktur nasional umumnya familiar dengan konsep ECI yang memperhitungkan luaran ekspor.
Namun, pelaku industri tidak menggunakan ECI sebagai parameter untuk mengukur kinerja ekonomi nasional karena Indonesia merupakan negara yang mengandalkan konsumsi. Kontribusi ekspor barang dan jasa terhadap produk domestik bruto lebih rendah dibandingkan konsumsi.
Secara fundamental, tingkat kompleksitas produk ekspor akan terwujud apabila sumber daya manusia dan tingkat industrialisasi sudah cukup matang, stabil, dan telah terintegrasi dalam rantai pasok global secara jangka panjang.
”Saat ini, ECI lebih berfungsi sebagai instrumen penjelasan terkait penyebab statisnya perekonomian suatu negara, status industrialisasi, kemampuan negara untuk memanfaatkan pasar global, dan mendiversifikasi ekspornya sesuai dengan tingkat industrialisasinya, dan menjelaskan daya saing ekspor atau kinerja ekspor,” tuturnya.
Tak selamanya para perumus UU Cipta Kerja memegang kemudi perekonomian. Roda ekonomi berputar, talenta penggeraknya pun berganti. Kini, kelompok muda yang akan menjadi bagian dari ketenagakerjaan Tanah Air, bahkan menakhodainya, tengah menanti gagasannya didengarkan dan ditindaklanjuti.