Kontradiksi Cipta Kerja
Alih-alih membuka lapangan kerja baru, lonjakan impor pangan sebagai dampak pelonggaran yang dibawa RUU Cipta Kerja justru berpotensi mengubur ladang yang selama ini digarap para petani kecil.
Tujuan pembentukan Undang-Undang Cipta kerja, sebagaimana tertuang dalam poin menimbang draf rancangannya, adalah memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan guna mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
Cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Namun, upaya mencapai tujuan itu tidak mudah. Apalagi, sejumlah pasal justru bertolak belakang dengan tujuan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya.
Pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang mengubah, menambah, dan menghapus substansi undang-undang rumpun pangan dan pertanian bisa jadi contoh. Alih-alih membuka lapangan kerja baru, pasal-pasal baru justru berpotensi mematikan sumber penghidupan petani, peternak, dan nelayan di perdesaan.
Pasal 36B Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, misalnya, mengamanatkan pemasukan ternak dan produk hewan dari luar negeri ditempuh jika produksi dan pasokan di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Namun, Pasal 34 RUU Cipta Kerja ”menganulir” substansi pasal itu sehingga impor menjadi pilihan yang setara bagi penyediaan kebutuhan pangan di dalam negeri.
Syarat pemasukan ternak dalam wujud bakalan pun diubah tanpa syarat sehingga mengurangi kesempatan mendapat nilai tambah di dalam negeri. Logikanya, buat apa menggemukkan atau membesarkan ternak di dalam negeri jika mengimpor ternak siap potong atau produk ternak olahan lebih murah?
Padahal, tanpa mengubah pasal itu, peternak sapi di dalam negeri setengah mati mengejar produktivitas dan efisiensi guna menyaingi harga daging sapi impor. Alih-alih berkembang, mereka kerap rugi dan tak sedikit yang bangkrut, sebab harga jual ternaknya tak sebanding dengan ongkos pemeliharaannya.
Baca juga: Petani dan Nelayan Berkeberatan dengan RUU Cipta Kerja
Tak hanya di sektor peternakan, RUU Cipta Kerja juga mengubah, menghapus, atau menetapkan norma baru yang sebelumnya diatur dalam UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 18/2012 tentang Pangan, UU No 13/2010 tentang Hortikultura, dan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Revisi atas sejumlah pasal di beberapa undang-undang itu jelas membuka ruang importasi pangan jauh lebih lebar. Ketentuan umum tentang ketersediaan pangan sebagaimana amanat UU Pangan bahkan direvisi sehingga impor tidak lagi mensyaratkan kecukupan produksi dan stok di dalam negeri.
Apakah dengan membuka lebar pintu impor kita bisa mendongkrak produksi pangan dalam negeri? Tentu tidak ada hal yang tidak mungkin. Namun, ketika sejumlah undang-undang menjamin perlindungan bagi petani, peternak, dan nelayan saja sulit, apalagi jika produsen dalam negeri tanpa perlindungan?
Wajar jika kalangan petani dan nelayan menolak UU sapu jagat tersebut. Sejumlah organisasi petani dan nelayan yang tergabung dalam Badan Musyawarah Tani dan Nelayan Indonesia (Bamustani), misalnya, menolak RUU Cipta Kerja. Selain menabrak beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sejumlah pasal RUU juga mengubah substansi undang-undang yang dinilai melanggar hak petani, nelayan, dan orang-orang yang bekerja di perdesaan.
Baca juga: Karpet Merah Impor Pangan, Nasib Petani Jadi Taruhan
RUU Cipta Kerja, misalnya, dianggap menabrak putusan MK terkait Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. RUU Cipta Kerja mengabaikan Putusan MK Nomor 138/PUU-XIII/2015 yang, antara lain, memutuskan bahwa Pasal 30 UU No 39/2014 tidak berlaku bagi varietas hasil pemuliaan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri.
Sejumlah akademisi menilai, RUU Cipta Kerja bisa membawa Indonesia pada ketergantungan yang makin dalam terhadap pangan impor. Oleh karena prioritas dan fasilitas perlindungannya ”dilucuti”, para pelaku sektor pertanian, khususnya petani, peternak, pekebun, dan nelayan skala kecil, bakal semakin rapuh di arena perdagangan bebas.
Pemerintah diingatkan untuk menghitung dengan matang dampak RUU Cipta Kerja bagi sektor yang pada Agustus 2019 lalu masih menyerap 34,58 juta tenaga kerja atau 27,33 persen dari total 126,51 juta penduduk bekerja di Indonesia ini. Tak hanya berdampak ke buruh yang berulang memprotes lewat unjuk rasa, RUU Cipta Kerja juga bakal sangat berdampak bagi mata pencarian dan sumber penghidupan petani.
Pesan Bung Karno, saat memberikan amanat dalam Musyawarah Besar Tani Seluruh Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa 20 Juli 1965, barangkali masih relevan. Kaum tani dan buruh adalah sokoguru revolusi Indonesia. Keduanya adalah tiang utama revolusi. Artinya, bangunan akan runtuh dan ambruk bila salah satu tiang itu runtuh. Tanpa kaum tani dan buruh, kata Bung Karno, revolusi Indonesia tidak akan dapat berjalan.
”Cita-cita revolusi Indonesia hanya dapat tercapai dengan adanya cucuran keringat kaum tani yang menghasilkan produksi dan pangan. Siapa yang berani berkata bahwa masyarakat adil dan makmur bisa terlaksana dan terwujud tanpa adanya kaum tani?” kata Bung Karno (Kompas, 21/7/1965).
Pidato itu meneguhkan pentingnya persoalan pangan. Pangan adalah soal hidup-matinya suatu bangsa. Bukankah sejumlah norma baru dalam RUU bakal semakin menggembosi kedaulatan pangan nasional? Alih-alih membuka lapangan kerja baru, lonjakan pangan impor justru bakal mengubur ladang yang selama ini digarap oleh para petani kecil.
Baca juga: Peluang Peternak Makin Kecil