Undang-Undang Cipta Kerja Dinilai Mengancam Kedaulatan Pangan
Undang-Undang Cipta Kerja dan produk hukum turunannya hingga kini masih menempatkan lahan pertanian dalam ancaman konversi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Cipta Kerja dan produk hukum turunannya dinilai belum berpihak kepada kepentingan petani dan justru bisa melemahkan kedaulatan pangan. Selain bakal membuka keran impor pangan yang mengancam petani, lahan pertanian juga semakin tak terlindungi.
Tinjauan kritis terhadap UU Cipta Kerja ini disampaikan tiga guru besar dari Fakultas Pertanian IPB University dalam diskusi daring, Selasa (9/3/2021). Ketiga pembicara adalah ahli agronomi Edi Santoso, ahli tata guna lahan Widiatmaka, serta ahli agronomi dan hortikultura Sobir dengan moderator Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Muhammad Firdaus.
Edi mengatakan, dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya, impor pangan berkaitan dengan neraca pangan dan pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun, kewajiban pengutamaan produksi dalam negeri ini telah dihapus dalam UU Cipta Kerja. ”Sekarang kalau mau impor pangan, langsung impor saja,” katanya.
Sebagian besar sawah yang ada saat ini dalam rencana ruangnya bukan sawah lagi. Boleh dikonversi secara legal. Ini sangat mengkhawatirkan. (Widiatmaka)
Sekalipun dalam Pasal 64 Ayat 2 UU Cipta Kerja ada istilah kepentingan petani dan Ayat 5 ada klausul pemerintah pusat menetapkan kebijakan impor untuk menyejahterakan petani. ”Ini harus dibuat dalam turunannya karena dalam Peraturan Pemerintah No 26/2021 tentang Pertanian belum terlihat jelas. Bagaimana caranya agar impor pangan bisa menyejahterakan petani,” katanya.
Masalah lain yang ditemukan dalam UU Cipta Kerja dan PP No 26/2021 yang menjadi turunan perundang-undangan ini adalah terkait dengan aturan mengenai batas minimum dan maksimum luas lahan untuk industri hilir di sektor pertanian. Misalnya, perusahaan sawit bisa memiliki lahan maksimal hingga 100.000 hektar (ha), tebu 125.000 ha, dan teh 14.000 ha. Sementara batas minimum lahan untuk kelapa sawit 6.000 ha dan tebu 2.000 ha.
”Masalahnya, banyak pabrik perkebunan ini tidak punya kebun yang cukup, bahkan ada pabrik kelapa sawit tidak punya kebun. Juga perusahaan tebu, banyak yang punya lahan sedikit. Kondisi ini akan menyebabkan perusahaan melakukan ekspansi lahan,” kata Edi.
Di sisi lain, dalam PP No 26/2021 tidak ada ada kewajiban perlindungan pada komoditas pangan lokal. ”Maka, dalam mengembangkan kelapa sawit guna memenuhi luasan lahan minimal, kalau mengacu kasus sekarang, banyak menggusur hutan yang selama ini menjadi sumber pangan lokal. Ini akan jadi masalah di kemudian hari,” katanya.
Konversi lahan
Widiatmaka mengkhawatirkan pelaksanaan UU Cipta Kerja bakal mempercepat laju konversi lahan pertanian, khususnya di Pulau Jawa. ”Jawa menyumbang lebih dari 50 persen produksi beras, padahal luasnya kurang dari 7 persen daratan Indonesia. Luar Jawa yang luasannya 93 persen menyumbang kurang dari 50 persen. Ini juga berlaku untuk jagung dan kedelai,” ujarnya.
Namun, menurut Widiatmaka, lahan pertanian ini tidak terlindungi lagi karena UU No 41/2009 yang sebelumnya melindungi lahan sudah digantikan UU Cipta Kerja yang lebih memprioritaskan investasi, infrastruktur, dan proyek strategis nasional. ”Masalahnya, produksi pangan tidak masuk kepentingan umum dalam UU Cipta Kerja. Pangan juga tidak masuk ke proyek strategis nasional,” katanya.
Di dalam PP No 26/2001, menurut Widiatmaka, memang disebutkan, setiap orang dilarang mengalihfungsikan lahan yang telah ditetapkan sebagai budidaya pertanian, tetapi demi kepentingan umum dan proyek strategis nasional dapat dialihfungsikan. ”Aspek perlindungan lahan pertanian terabaikan. Memang ada klausul pengalihan ada syaratnya, ada kajian strategis, dan disediakan lahan pengganti. Namun, karena konsen pertanian di Jawa, lahan penggantinya sangat sempit. Klausul ini tidak praktis,” tuturnya.
Padahal, menurut Widiatmaka, luas sawah di Pulau Jawa saat ini konsisten turun. Misalnya, di Bekasi yang merupakan sentra produksi padi, luas lahan sawah menyusut dari 71.000 ha menjadi 61.000 ha dalam jangka waktu 16 tahun. ”Apalagi jika dilihat tata ruang. Sebagian besar sawah yang ada saat ini dalam rencana ruangnya bukan sawah lagi. Boleh dikonversi secara legal. Ini sangat mengkhawatirkan,” ucapnya.
Sobir mengatakan, keberadaan pangan bukan sebagai proyek strategis nasional ini membuatnya bisa dinomorduakan. Di sisi lain, ada kemudahan alih fungsi lahan. ”Salah satu tantangan paling berat, ketika produksi pangan dilakukan oleh rakyat, bukan oleh perusahaan. Konsekuensinya, jika alih fungsi lahan hanya disiapkan lahan siap tanam, siapa yang menanam? Ini mengingkari budaya pertanian di Indonesia,” katanya.
Padahal, di sisi lain, luas lahan pangan per kapita di Indonesia saat ini sudah sangat rendah. Menurut Sobir, di Indonesia luas lahan pangan per kapita hanya sekitar 400 meter persegi sehingga sangat tidak memadai. Padahal, di Vietnam luas lahan pangan per kapita masih 900 meter persegi, Thailand per kapita 2.000 meter persegi, China per kapita 1.000 meter persegi, AS 6.000-10.000 meter persegi, dan Argentina 24.000 meter persegi. ”Di Indonesia hanya hitung luas lahan, tidak pernah hitung luas per kapita yang sangat kurang,” ujarnya.
Menurut Sobir, UU Cipta Kerja juga menunjukkan pemerintah ingin memaksakan investasi besar-besaran di sektor perkebunan. ”Terlihat dalam undang-undang ini, investasi di bidang perkebunan sangat didorong dan dipermudah. Tidak lagi dibedakan, investasi asing atau dalam negeri,” katanya.