Pembenahan masalah krisis pangan membutuhkan upaya terintegrasi hulu-hilir. Diversifikasi pangan menjadi salah satu jalan keluar dengan membiasakan masyarakat mengonsumsi pangan lokal.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia tengah menghadapi krisis pangan yang ditandai dengan sejumlah komoditas pangan pokok yang bergantung pada impor. Upaya mengatasi krisis pangan antara lain dapat ditempuh dengan mendorong diversifikasi pangan lokal.
Dekan Pertanian Universitas Gadjah Mada Jamhari Hadipranata, dalam bedah buku Krisis Pangan: Sejarah, Penyebab dan Jawaban Dunia, yang digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), Minggu (18/4/2021), mengatakan, Indonesia tengah menghadapi krisis, tecermin dari ketergantungan pangan impor. Ketahanan pangan tercukupi dari produk impor dan volumenya semakin naik.
Indonesia antara lain menjadi importir gandum terbesar dunia sejak tahun 2017. Padahal, di era tahun 1950-an Indonesia masih di peringkat ke-7 atau 8 importir gandum. Indonesia juga menjadi importir beras terbesar kedua di dunia pada tahun 2018. Padahal, tahun 2004 Indonesia pernah dinyatakan swasembada beras. Tahun 2020, 95 persen kebutuhan kedelai juga diimpor. Indonesia juga menjadi pengimpor gula mentah (raw sugar) terbesar dunia.
Penyebab krisis pangan tidak hanya dari sisi produksi, tetapi juga konsumsi. Masyarakat atau konsumen terbiasa mengonsumsi pangan yang tidak bisa dihasilkan sendiri. Konsumsi yang beragam cenderung dipenuhi dengan mendatangkan pangan dari luar negeri. Karakter konsumen diserahkan ke mekanisme pasar. Tidak ada kelembagaan pemerintah yang mampu membentuk permintaan konsumen sesuai dengan pangan lokal yang tersedia.
Kunci menghindari krisis pangan dan memenuhi kebutuhan pangan sendiri adalah diversifikasi pangan lokal serta mengurangi ketergantungan terhadap komoditas pangan impor. Keragaman konsumsi masyarakat harus sejalan dengan apa yang bisa diproduksi di Tanah Air. Revolusi mental perlu diterapkan di sektor pangan, yakni dengan membentuk karakter masyarakat yang terbiasa mengonsumsi pangan lokal.
”Kita tidak akan bisa membangun ketahanan pangan yang kuat tanpa revolusi mental pangan. Implementasi revolusi mental masih sangat jauh di bidang pangan dan pertanian, baik kebijakan makro dan turunannya,” katanya
Menurut Jamhari, masyarakat kini semakin menyukai produk pangan yang praktis dan enak. Cita rasa masyarakat harus mulai dibentuk dengan membiasakan untuk mengonsumsi pangan lokal yang praktis. Terobosan diversifikasi pangan perlu ditopang dengan diseminasi teknologi dan pengembangan agro industri pangan.
Kondisi krisis pangan nyata kita hadapi. Cara pandang pemerintah harus diubah dengan membentuk karakter konsumsi yang terintegrasi ke sisi hulu. ”Tanam apa yang bisa dimakan, dan makan apa yang bisa kita tanam,” katanya.
Wakil Ketua Umum II Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Anwar Sanusi, mengemukakan, krisis pangan sudah terjadi sejak masa lampau. Persoalan pangan cenderung berulang di setiap masa. Masa depan dunia bergantung kesanggupan merespons krisis pangan dengan baik.
Ia menilai pemerintah sudah merespons persoalan serius pangan, antara lain dengan menggulirkan program terobosan dan inovasi kebijakan pangan. Di antaranya program satu juta hektar lahan gambut, intensifikasi, dan ekstensifikasi pertanian. Namun, banyak program itu tidak bisa berjalan optimal karena prakondisi tidak mendukung.
Penulis buku Krisis Pangan, Andreas Maryoto, mengemukakan, muncul kegelisahan tentang bagaimana sektor pertanian dikelola belakangan ini, perubahan-perubahan, dan konversi lahan. Sementara itu, belum banyak inovasi yang dilakukan di tengah konversi lahan yang semakin cepat.
Dia mencontohkan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang dulu lumbung pangan, kini sudah bergeser menjadi kawasan hotel, perumahan, dan memicu kekumuhan baru. Perubahan peruntukan lahan terus mengarah ke timur Jawa. Ancaman konversi lahan pertanian juga terjadi di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Staf Pengajar Universitas Sanata Dharma, Heri Priyatmoko, mengemukakan, Indonesia mencatat sejarah krisis pangan yang direspons antara lain dengan memunculkan varian pangan lokal. Kini, masyarakat mulai kehilangan sumber pangan non-beras dan sangat bergantung pada beras. Padahal, ketahanan pangan bukan hanya ketersediaan beras, tetapi juga jenis makanan yang bervariasi di meja makan.
Diversifikasi pangan merupakan upaya alternatif kultural untuk mengatasi persoalan pangan lokal. Dia mencontohkan, Gunung Kidul lahannya ramah untuk pengembangan gaplek yang kerap dianggap makanan orang melarat. ”Harus ada upaya menghilangkan stigma negatif terhadap variasi pangan lokal. Pangan lokal merupakan jawaban petani terhadap (kondisi) alam,” kata Heri.
Berpihak kepada produsen
Ketua Umum DPP Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengemukakan, pemerintah selama ini dinilai mengandalkan pangan pokok terhadap petani kecil. Sebanyak 53 persen produksi padi dihasilkan di Jawa oleh petani lahan sempit yang sulit mengakses modal dan pasar sehingga produksi padi stagnan. Sedangkan 94 persen penggilingan padi skala kecil sehingga tidak efisien. Penyelesaian krisis pangan perlu dilakukan hulu-hilir.
Pembenahan problem pangan harus dimulai dari politik pangan. Keberpihakan pangan selama ini lebih condong ke konsumen, tetapi minim perhatian ke produsen. Opini publik dinilai sudah terbentuk bahwa harga pangan harus murah. Padahal, konsumen yang mampu secara ekonomi seharusnya bisa membeli mahal, sedangkan konsumen yang tidak sanggup membeli harga pangan mahal perlu disubsidi pemerintah.
”Harga pangan harus wajar untuk mendorong petani bergairah produksi, sehingga (komoditas) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan masyarakat,” ujarnya.