Pengecualian jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi beberapa kondisi, seperti pekerja yang di-PHK karena cacat total tetap, dinilai bertentangan dengan prinsip inklusivitas. Pemerintah dinilai perlu meninjau aturan itu.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Syarat dan ketentuan terkait penyelenggaraan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dinilai masih menyulitkan pekerja korban pemutusan hubungan kerja untuk mengaksesnya. Pekerja mana pun seharusnya punya hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan manfaat program jaminan sosial.
Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) mengatur, manfaat JKP dikecualikan untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) karena mengundurkan diri, cacat total tetap, pensiun, atau meninggal.
Direktur Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko Otang, Kamis (25/2/2021), menilai, skema JKP seharusnya dimudahkan untuk merangkul sebanyak mungkin pekerja, tanpa mendiskriminasi status dan alasan pekerja tersebut kehilangan pekerjaan. Ia menyoroti pengecualian untuk pekerja yang di-PHK karena cacat total tetap dan mengundurkan diri.
Pekerja dengan kondisi itu seharusnya mendapatkan JKP karena masih berpeluang kembali ke dunia kerja, berbeda dengan pekerja yang pensiun dan meninggal. Apalagi, mereka sudah terdaftar dan iurannya telah dibayarkan. ”Seharusnya semua pekerja punya hak dan kesempatan sama untuk bisa terdaftar jadi peserta program jaminan sosial sepanjang membayar iuran,” ujarnya dalam diskusi daring di Jakarta.
Ia menyoroti aspek inklusivitas terkait pekerja yang di-PHK karena cacat total. Pengecualian ini bertentangan dengan hak asasi pekerja disabilitas. Pengecualian itu mengandaikan bahwa pekerja difabel tidak bisa kembali ke dunia kerja setelah kehilangan fungsi fisik anggota tubuh tertentu.
Padahal, ada banyak kasus di mana pekerja difabel tetap mampu berdaya, berkarya, dan bekerja selayaknya pekerja lain. Pengecualian untuk pekerja cacat total itu juga bertentangan dengan prinsip inklusivitas yang disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
”Pekerja difabel umumnya butuh biaya dan usaha lebih besar untuk kembali mendapat kerja setelah di-PHK sehingga seharusnya mereka mendapatkan juga JKP,” katanya.
Selain pekerja difabel, Andriko juga menyoroti pengecualian untuk pekerja yang mengundurkan diri. Ada kasus-kasus tertentu di mana perusahaan tidak mau memecat pekerja dan meminta pekerja bersangkutan untuk mengundurkan diri. Saat pandemi, skenario seperti ini kerap terjadi.
Kasus pengunduran diri ini juga banyak ditemukan di kalangan buruh perempuan. Bagi pekerja perempuan, ada faktor situasional tertentu yang membuat mau tidak mau harus mengundurkan diri.
”Ada yang mengundurkan diri karena harus ikut suaminya pindah kerja ke kota lain, misalnya, atau karena alasan menikah dan baru melahirkan. Pekerja yang resign bukan berarti tidak akan kembali ke dunia kerja sehingga seharusnya mereka juga tetap bisa mencairkan manfaat JKP itu,” kata Andriko.
Merevisi
Persoalan lainnya, syarat kepesertaan JKP hanya diberikan pada pekerja formal. Padahal, perkembangan dunia kerja pascapandemi menunjukkan, jumlah pekerja informal semakin jauh melampaui pekerja formal.
Data Badan Pusat Statistik per Agustus 2020 menunjukkan, akibat pandemi, persentase pekerja informal meningkat menjadi 60,47 persen dari sebelumnya 55,88 persen pada Agustus 2019. Sebaliknya, pekerja formal turun 4,59 persen menjadi 39,53 persen.
Di sisi lain, pekerja informal saat ini sudah bisa mendaftar sebagai peserta BP Jamsostek kategori bukan penerima upah (BPU) sehingga secara teknis mereka sebenarnya bisa mengakses JKP.
”Bicara konteks SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), seharusnya semua penduduk itu tercakup dalam jaminan sosial,” kata Deputi Presiden Bidang Program Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Markus Sidauruk.
Andriko meminta pemerintah meninjau kembali ketentuan PP tentang JKP. Ia memaklumi pemerintah hanya memiliki waktu singkat untuk menyusun peraturan turunan karena mandat UU Cipta Kerja yang hanya memberi waktu tiga bulan untuk menyusun peraturan pelaksana. Namun, revisi kembali masih dimungkinkan.
Pemerintah tidak perlu khawatir merevisi sebuah aturan yang baru dikeluarkan jika hasilnya akan membawa keuntungan dan manfaat perlindungan yang lebih luas bagi pekerja.
”Yang paling penting, orientasi regulasi itu harus ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Kalau tidak bisa menjawab itu, regulasi kehilangan maknanya,” ujarnya.
Punya alasan
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah punya alasan untuk mengecualikan beberapa pekerja dari program JKP. Pekerja yang di-PHK karena cacat total tidak mendapat manfaat JKP karena ada ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan.
Cacat total yang dimaksud, ujarnya, adalah cacat total tetap yang mengakibatkan seseorang tidak mampu melakukan pekerjaan. ”Sementara, filosofi JKP adalah untuk mendapatkan pekerjaan kembali sehingga dengan definisi itu, pekerja cacat total tidak mendapat manfaat JKP,” kata Anwar.
Sementara terkait pekerja informal, ia mengatakan, JKP adalah jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja yang mengalami PHK. Sementara definisi PHK adalah pengakhiran hubungan karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dengan pengusaha. ”Dengan demikian, pekerja informal yang tidak punya hubungan kerja dengan pengusaha, tidak bisa masuk dalam kategori penerima manfaat,” katanya.