Program JKP baru menyasar para pekerja formal. Sementara pekerja informal belum tersentuh dan buruh kontrak berpotensi tidak memperoleh JKP.
Oleh
M Paschalia Judith J/agnes theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menerapkan jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP pada tahun ini. Sejumlah kalangan berharap JKP tidak hanya diperuntukkan bagi pekerja formal, tetapi dapat menjangkau juga pekerja informal dan buruh kontrak.
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia Dian Septi Trisnanti, Jumat (12/2/2021), mengatakan, status kerja tenaga di sektor informal sarat dengan ketidakjelasan. ”Pekerja konveksi, pekerja rumahan, pekerja transportasi, dan asisten rumah tangga tidak masuk dalam skema Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan JKP,” ujarnya melalui siaran pers.
Dian juga menyoroti syarat peserta JKP sudah mengiur minimal selama 12 bulan. Padahal, terdapat buruh kontrak yang masa kerjanya selama 20 hari, 30 hari hingga maksimal 3 bulan. Artinya, kelompok kerja tersebut berpotensi tidak memperoleh JKP.
Tak hanya itu, Dian juga mempersoalkan tentang rekomposisi iuran program jaminan sosial sebagai salah satu sumber dana penyelanggaraan JKP. Dia khawatir, rekomposisi tersebut berdampak pada pengurangan manfaat peserta, terutama jaminan hari tua. Dia berharap, anggaran pemerintah menjadi sumber dana utama.
Pekerja konfeksi, pekerja rumahan, pekerja transportasi, dan asisten rumah tangga tidak masuk dalam skema Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan JKP.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Bob Azam menyebutkan, tenaga kerja di sektor formal telah terdaftar di BP Jamsostek. ”Dalam pelaksanaan JKP, pekerja sektor informal yang belum tercakup dalam pendataan BP Jamsostek perlu diperhatikan,” katanya.
Bob berharap, perusahaan tak perlu menambah iuran untuk JKP. Rekomposisi pengelolaan dana program jaminan sosial menjadi salah satu jalan keluar dengan mempertimbangkan perbandingan antara jumlah pemasukan dari iuran terhadap realisasi pengeluarannya.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 82 menambahkan, JKP sebagai salah satu program jaminan sosial selain jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) berhak mendapatkan JKP.
Pekerja yang sudah terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BP Jamsostek) secara otomatis menjadi peserta JKP. Manfaat JKP berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Nilai jaminan yang diberikan setara dengan upah selama enam bulan. Tahun ini, pemerintah telah menganggarkan Rp 6 triliun sebagai modal iuran awal program itu.
Lewat JKP, pekerja atau buruh yang terkena PHK akan mendapat uang tunai selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama setelah terkena PHK, mereka akan menerima uang sebesar 45 persen dari upah per bulan yang terdaftar (dengan plafon maksimal Rp 5 juta per bulan). Sementara itu, untuk tiga bulan sisanya, buruh akan mendapat manfaat JKP sebesar 25 persen dari upah per bulan.
Ketentuan detail mengenai penyelenggaraan program JKP diatur dalam RPP yang sudah rampung disusun pemerintah awal bulan ini. Kini, RPP itu sedang menunggu diundangkan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Kamis lalu, mengatakan, perusahaan wajib mendaftarkan pekerja di program JKP dan program jamsostek lainnya. Perusahaan tidak perlu menanggung iuran bulanan JKP karena akan dibayarkan pemerintah lewat APBN dan BP Jamsostek lewat rekomposisi iuran program JKK dan JKM dan dana operasional.
Dengan mendaftarkan pekerjanya di JKP, beban perusahaan membayar pesangon saat PHK lebih ringan. ”Jika tidak mendaftarkan pekerjanya di JKP, pengusaha harus menanggung tanggungan pesangon sendiri tanpa bantuan pemerintah,” katanya.
Jika tidak mendaftarkan pekerjanya di JKP, pengusaha harus menanggung tanggungan pesangon sendiri tanpa bantuan pemerintah.
Ida menambahkan, pemerintah akan mendorong peningkatan kepesertaan lewat penegakan hukum bagi pemberi kerja yang mengabaikan kewajiban mendaftarkan pekerjanya. Sosialisasi aktif bersama BP Jamsostek akan dilakukan, tidak hanya ke pemberi kerja, tetapi juga para pekerja mandiri yang statusnya bukan penerima upah.
Saat ini, masih ada persoalan terkait cakupan kepesertaan BP Jamsostek yang minim. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, peserta BP Jamsostek pada 2020 berjumlah 51,75 juta orang. Sebagai perbandingan, total jumlah penduduk Indonesia yang bekerja per Agustus 2020 ialah 128,45 juta orang. Dengan demikian, kepesertaan BP Jamsostek saat ini baru mencakup sekitar 40 persen dari total penduduk bekerja.