IK-CEPA Ditandatangani, RI Jangan Hanya Jadi Pasar
Pasar yang semakin bebas dan terbuka membawa konsekuensi. Keterbukaan dagang dan globalisasi harus diiringi dengan jaminan perlindungan dan dukungan peningkatan daya saing terhadap industri dalam negeri, khususnya UMKM.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Semakin terbukanya pasar Indonesia di kancah perdagangan global harus diiringi dengan kesiapan daya saing serta perlindungan industri dalam negeri, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah. Tanpa upaya perbaikan dan perlindungan, Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak hanya akan dimanfaatkan sebagai pasar menggiurkan bagi produk negara-negara lain.
Menuju pengujung tahun ini, perjanjian dagang internasional yang ditandatangani Indonesia semakin banyak jumlahnya. Pada Jumat (18/12/2020), Menteri Perdagangan Agus Suparmanto berkunjung ke Seoul, Korea Selatan (Korsel), untuk menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Korea Selatan (IK-CEPA) dengan Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korsel Sung Yun-mo.
Perjanjian dagang yang sempat berlangsung pada 2012 itu sempat terhenti pada 2014, saat kedua negara mengalami pergantian pemerintahan. Pada Februari 2019, negosiasi untuk mengaktifkan kembali kerja sama itu dimulai. Proses penyelesaiannya memakan waktu relatif singkat selama delapan bulan.
Dalam telekonferensi pers dari Seoul, Agus mengatakan, Korsel merupakan mitra strategis yang menawarkan banyak potensi, mengingat produk domestik bruto serta daya beli masyarakat Korsel yang tinggi. Selama ini, Korsel selalu masuk dalam 10 besar mitra dagang utama Indonesia, tetapi potensinya belum dimaksimalkan.
Kesepakatan untuk mengeliminasi pos tarif perdagangan barang di IK-CEPA akan menguntungkan Indonesia. Korsel akan memangkas hingga 95,54 persen pos tarif dan Indonesia 92,06 persen pos tarif. Dari nilai impor, Korsel akan mengeliminasi tarif untuk 97,3 persen impornya dari Indonesia, sementara Indonesia 94 persen impornya dari Korsel.
”Di pasar Korsel, posisi Indonesia selama ini masih tertinggal dari negara tetangga ASEAN, seperti Vietnam dan Malaysia. Lewat perjanjian dagang ini, eliminasi pos tarif akan menjadi keunggulan berharga untuk Indonesia dibandingkan dengan negara pesaing lain yang tidak memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Korsel,” ujarnya.
Di pasar Korsel, posisi Indonesia selama ini masih tertinggal dari negara tetangga ASEAN, seperti Vietnam dan Malaysia. Lewat perjanjian dagang ini, eliminasi pos tarif akan menjadi keunggulan berharga untuk Indonesia.
Sebelum IK-CEPA, baru-baru ini pemerintah juga meneken perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan akan segera meratifikasi perjanjian dagang terbesar yang melibatkan 14 negara lain itu. Indonesia juga sedang mengejar ratifikasi protokol amendemen terhadap Kemitraan Ekonomi Komprehensif ASEAN-Japan dengan Jepang serta Perjanjian Perdagangan Preferensial Indonesia-Mozambik (IM-PTA).
Kendati demikian, pasar yang semakin bebas dan terbuka membawa konsekuensi. Dalam laporannya tentang Indeks Daya Saing Global 2020 (Global Competitiveness Report 2020), Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengingatkan, keterbukaan dagang dan globalisasi yang meningkat seiring dengan tren pemulihan ekonomi pascapandemi harus diiringi dengan jaminan perlindungan dan dukungan terhadap kepentingan nasional setiap negara.
Di tengah Covid-19, perlindungan itu harus diperkuat, mengingat banyaknya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang babak belur terimbas resesi. Terkait ini, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Ikhsan Ingratubun menilai, berbagai perjanjian dagang yang diteken Indonesia di tengah pandemi, termasuk IK-CEPA, lebih menguntungkan negara mitra ketimbang Indonesia.
Menurut dia, tanpa persiapan kuat meningkatkan daya saing produk ekspor serta perlindungan terhadap industri dalam negeri, Indonesia hanya akan berakhir menjadi pasar menggiurkan untuk negara lain. ”Kita dengan naif terus meneken perjanjian, padahal kita belum siap. Pada akhirnya kita dimanfaatkan menjadi negara konsumen,” katanya.
Keringanan berupa eliminasi tarif bea masuk dalam berbagai perjanjian itu tidak akan banyak menguntungkan Indonesia jika produk Indonesia tidak dilirik negara lain. ”Apakah kita sudah mampu membuat produk berkualitas tinggi yang siap menembus pasar global? Keringanan tarif itu hanya bumbu-bumbu penyedap karena masalah utamanya adalah daya saing produk kita,” katanya.
Kita dengan naif terus meneken perjanjian, padahal kita belum siap. Pada akhirnya kita dimanfaatkan menjadi negara konsumen.
Ikhsan menambahkan, mayoritas industri dalam negeri, khususnya UMKM, masih sebatas memproduksi barang untuk dipakai di dalam negeri. Oleh karena itu, ke depan, pemerintah harus membuka seluas-luasnya akses pasar di dalam negeri untuk produk UMKM, baik lewat belanja pemerintah maupun BUMN.
Jaminan akses pasar dalam negeri diperlukan sebelum UMKM meningkatkan daya saing dan merambah pasar internasional dengan memanfaatkan berbagai perjanjian dagang yang ada. ”Dengan keberlangsungan pesanan domestik, usaha menjadi efisien dan bisa berkembang. Setelah itu, baru UMKM bisa bersaing untuk menembus pasar ekspor,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah berharap perjanjian IK-CEPA dapat meningkatkan nilai perdagangan Indonesia-Korsel sampai 10 persen pada tahun depan. Kementerian Perdagangan mencatat, pada 2019, total perdagangan Indonesia-Korsel sebesar 15,65 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke Korsel 7,23 miliar dollar AS dan impor dari Korsel 8,42 miliar dollar AS.
Selama pandemi, periode Januari-November 2020, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Korsel senilai 5,03 miliar dollar AS. Korsel tercatat sebagai negara tujuan ekspor kedelapan dan sumber impor keenam bagi Indonesia. Ekspor utama Indonesia ke Korsel adalah batubara, briket, produk baja antikarat, karet alam, dan bubur kertas. Sementara impor dari Korsel adalah sirkuit elektronik, bahan pakaian, produk baja olahan, dan karet sintetis.
IK-CEPA tidak hanya menyasar perdagangan barang, tetapi juga jasa. Untuk sektor jasa, kedua negara berkomitmen membuka lebih dari 100 subsektor; meningkatkan integrasi sejumlah sektor jasa, seperti konstruksi, layanan pos dan kurir, franchise, dan layanan terkait komputer; serta memfasilitasi pergerakan tenaga kerja asing dan kunjungan bisnis.