RI perlu mencermati keseimbangan ekspor-impor, menangkap investasi, dan memperkuat daya saing industri. Upaya menangkap investasi dari negara-negara peserta RCEP itu bisa diintegrasikan dengan program substitusi impor.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR DARI KEMENTERIAN PERDAGANGAN
Suasana penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP yang digelar secara dalam jaringan, Minggu (15/11/2020).
Indonesia telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) RCEP ke-4, rangkaian dari KTT ASEAN ke-37 di Hanoi, Vietnam, pada 15 November 2020. Indonesia meneken pakta ini bersama 9 negara anggota ASEAN lain ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia.
Kelima belas negara yang tergabung dalam pakta ini mewakili 29,6 persen populasi dunia, 27,4 persen perdagangan dunia, 30,2 persen produk domestik bruto (PDB) dunia, dan 29,8 persen investasi asing langsung dunia.
Ruang lingkup RCEP ini bukan hanya perdagangan barang dan jasa, melainkan mencakup pula investasi, kerja sama ekonomi dan teknis, kekayaan intelektual, persaingan, penyelesaian sengketa, e-dagang, serta usaha kecil dan menengah.
Dengan RCEP, Indonesia berharap ada peningkatan 0,05 persen PDB nasional pada 2021-2023, pertumbuhan ekonomi sebesar 0,26 persen, serta peningkatan ekspor sebesar 8-11 persen dan investasi 18-22 persen dalam kurun waktu lima tahun setelah ratifikasi.
Namun, keuntungan itu tidak serta merta bisa terealisasi setelah RCEP ditandatangani karena masih harus melalui tahapan ratifikasi. Bentuk ratifikasi itu bisa berupa undang-undang (UU) atau peraturan presiden. Dasar ratifikasi itu adalah UU Nomor 20 Tahun 2020 tentang Perjanjian Internasional dan UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Keuntungan itu tidak serta merta bisa terealisasi setelah RCEP ditandatangani karena masih harus melalui tahapan ratifikasi.
Dalam Pasal 84 UU Perdagangan, misalnya, disebutkan, setiap perjanjian perdagangan internasional harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI paling lama 90 hari kerja setelah penandatanganan. Kemudian DPR memiliki waktu 60 hari kerja untuk meresponsnya. Jika DPR tidak mengambil keputusan dalam batas waktu itu, pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR.
Artinya, masih butuh waktu lama untuk mengimplementasikan RCEP sehingga tidak akan membantu pemulihan ekonomi nasional jangka pendek bahkan menengah. Juru Bicara Kementerian Perdagangan Fithra Faisal Hastiadi menyatakan, perkiraan moderatnya, proses ratifikasi itu bisa mencapai setahun. Indonesia juga baru bisa merasakan manfaatnya nanti pada 2023 (Kompas, 15/11/2020).
RCEP juga dinilai akan semakin memperketat persaingan antar-15 negara anggota, terutama perdagangan barang dan jasa di sektor-sektor serupa. Di bidang perdagangan barang, sejumlah sektor yang diperkirakan akan bersaing ketat, antara lain telekomunikasi, teknologi informasi, tekstil, alas kaki, dan otomotif.
Di sektor tekstil, misalnya, Indonesia diperkirakan akan bersaing ketat dengan China, Korea Selatan, dan Vietnam. Tentu tak hanya di sektor industri, impor pangan dan bahan pangan juga berpotensi meningkat sehingga dapat merugikan petani atau produsen pangan di dalam negeri.
Sementara berdasarkan peringkat daya saing global 4.0 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2019, Indonesia yang berada di peringkat ke-50 masih kalah dari Singapura (1), Jepang (6), Korea Selatan (13), Australia (16), Selandia Baru (19), Malaysia (27), China (28), dan Thailand (40).
Ini menunjukkan, Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya agar tidak menjadi pasar negara-negara anggota RCEP. Apalagi dengan China, neraca perdagangan Indonesia dengan ”Negeri Tirai Bambu” ini selalu defisit.
Ini menunjukkan, Indonesia perlu meningkatkan daya saingnya agar tidak menjadi pasar negara-negara anggota RCEP. Apalagi dengan China, neraca perdagangan Indonesia dengan ”Negeri Tirai Bambu” ini selalu defisit.
Tinjauan Transportasi Maritim 2020 UNCTAD pada 12 November 2020 menunjukkan, China merajai perdagangan maritim dunia melalui armada kapal barang. Kinerja indeks konektivitas pengiriman dengan kapal (LSCI) China dari triwulan I-2016 hingga triwulan III-2020 meningkat pesat, yaitu sebesar 56 persen. Capaian ini sedikit di atas LSCI global yang tumbuh 50 persen dalan kurun waktu sama.
Ini tidak lepas dari megaproyek China membangun Jalur Sutra Baru China atau Prakarsa Sabuk dan Jalan. Jalur perpaduan kekuatan geopolitik dan geoekonomi untuk menghubungkan wilayah Eurasia dengan China sebagai pusatnya itu mencakup aspek darat (New Silk Road Economic Belt) dan laut (21st Century Maritime Silk Road).
Tak mengherankan jika India dengan tegas menyatakan mundur dari RCEP karena khawatir kebanjiran impor produk-produk dari China. Apalagi, saat ini India tengah mengembangkan industri domestiknya, terutama otomotif dan telepon pintar.
Indonesia perlu mencermati keseimbangan ekspor-impor, menangkap peluang investasi, serta memperkuat daya saing industri domestik. Selain itu, strategi menangkap investasi dari negara-negara peserta RCEP itu bisa diintegrasikan dengan peta jalan substitusi impor.
Jika ingin meraih keuntungan dari RCEP, Indonesia mesti memiliki ”resep” jitu. Indonesia perlu mencermati keseimbangan ekspor-impor, menangkap peluang investasi, serta memperkuat daya saing industri domestik. Selain itu, strategi menangkap investasi dari negara-negara peserta RCEP itu bisa diintegrasikan dengan peta jalan substitusi impor.
Kementerian Perindustrian menargetkan substitusi impor minimal tercapai 15 persen pada 2021 dan 35 persen pada 2022. Jika tidak ada langkah-langkah konkret, Indonesia hanya sekadar menjadi pasar negara-negara anggota RCEP.