Penolakan terhadap UU Cipta Kerja terus berlangsung. Sampai Rabu (4/11/2020) malam, ada tiga pengajuan uji materi, satu pengajuan uji formil, serta satu pengajuan uji formil dan materi ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan akan memberlakukan sistem upah murah yang dapat mengurangi hak buruh untuk hidup layak. Penolakan terhadap upah murah itu dilakukan serikat buruh melalui berbagai jalur, dari mengawal pembahasan rancangan peraturan pemerintah hingga uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sejumlah ketentuan yang ditengarai akan membawa Indonesia pada rezim upah murah antara lain penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang sifatnya tidak lagi wajib, penghapusan upah minimum sektoral (UMSP dan UMSK), pembayaran upah berdasarkan satuan waktu (upah per jam), serta sistem pengupahan yang tidak lagi mengacu pada indikator kebutuhan hidup layak.
Wakil Ketua Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko, Rabu (4/11/2020), mengatakan, pihaknya memutuskan mengawal pembahasan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait kluster ketenagakerjaan untuk mencegah adanya degradasi sejumlah ketentuan. ”Ada beberapa aturan yang di RPP didegradasi sehingga harus kami kawal,” katanya saat dihubungi.
Salah satu aturan turunan yang paling alot dibahas adalah RPP tentang Pengupahan. Matriks RPP tentang Pengupahan, yang selama dua pekan terakhir ini dibahas dalam forum tripartit, mengatur formula penghitungan upah berdasarkan satuan waktu, antara lain upah per jam, yang sejak awal kemunculan UU Cipta Kerja sudah dikritik kelompok buruh.
Formula yang dirumuskan adalah UM/173 + (UM/173 x 40%). Mengacu pada upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp 4,27 juta sampai Rp 4,4 juta sebagai standar tertinggi, maka upah minimum per jam yang diterima buruh Jakarta adalah Rp 34.605 sampai Rp 35.687 per jam.
Sementara itu, jika mengacu pada UMP terendah, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp 1,76 juta, maka upah minimum per jam yang diterima buruh adalah Rp 14.282 per jam. Formula untuk menghitung upah per jam ini masih diperdebatkan antara unsur pengusaha dan serikat buruh.
RPP tentang Pengupahan juga tidak mengatur tegas batasan jenis pekerjaan yang bisa menggunakan skema upah per jam ini. ”Pembahasan seputar isu upah ini masih alot. Bukan hanya terkait formulasi upah per jam, melainkan seluruh sistem pengupahan pun masih dinegosiasikan ulang,” kata Sukitman.
Poin lain yang sedang dinegosiasikan adalah isu penetapan UMK yang dalam UU Cipta Kerja tidak menjadi kewajiban. Pasal 88C Ayat (2) UU Cipta Kerja menyebutkan gubernur ”dapat” menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan syarat tertentu. Ketentuan ini juga dituangkan dalam RPP tentang Pengupahan.
Uji materi
Sementara RPP dibahas, ketentuan mengenai pengupahan juga sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Total sampai Rabu (4/11/2020) malam, ada tiga pengajuan uji materi, satu pengajuan uji formil, serta satu pengajuan uji formil dan materi terhadap UU Cipta Kerja.
Gugatan terbaru dilayangkan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang diwakili Presiden KSPI Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal KSPI Ramidi. Ketentuan yang diuji adalah Pasal 88C Ayat (2) UU Cipta Kerja terkait penetapan UMK. Said mengatakan, penggunaan frasa ”dapat” dalam penetapan UMK sangat merugikan buruh karena bersifat tidak wajib diatur.
Sampai Rabu (4/11/2020) malam, ada tiga pengajuan uji materi, satu pengajuan uji formil, serta satu pengajuan uji formil dan materi terhadap UU Cipta Kerja.
”Itu akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat Rp 1,8 juta, sementara UMK Bekasi Rp 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun,” katanya.
Pihaknya juga menyoroti hilangnya upah minimum sektoral provinsi dan kabupaten/kota (UMSP dan UMSK) dalam UU Cipta Kerja. ”Kami meminta UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dihilangkan. Jika ini terjadi, akan berakibat pada tidak adanya income security akibat berlakunya upah murah,” ujar Said.
UU masa depan
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, RPP tentang Pengupahan menjadi isu yang paling kompleks dibahas dalam forum tripartit. Terkait sistem pengupahan per jam, ia mengatakan, aturan itu dibuat untuk merespons tantangan perkembangan pasar tenaga kerja ke depan.
Laporan Bank Dunia dan berbagai kajian memproyeksikan, dalam pasar kerja yang lebih fleksibel, pembayaran bergeser pada satuan waktu atau upah per jam.
”Namanya membuat undang-undang ini, kita berpikir untuk masa depan, bukan hanya masa lalu. Yang pasti tetap akan dibuat batasannya, ada daftar positif dan negatifnya mana pekerjaan yang bisa dibayar per jam, mana yang tidak. Tidak semua akan dibuat per jam,” kata Anwar.
Sebelum ini, Direktur Pengupahan Kemenaker Dinar Titus Yogaswitani mengatakan, RPP tidak bisa mengatur secara detail jenis pekerjaan yang upahnya boleh dibayar per jam dan yang tidak. Pembatasan akan dibuat berdasarkan kriteria tertentu. ”Kalau diatur detail, nanti ketika ada jenis pekerjaan baru bisa susah masuk. Nanti akan dibuat kriterianya,” katanya (Kompas, 30/10/2020).
Anwar mengatakan, RPP lain yang juga rumit dibahas adalah RPP tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) karena perlu dikoordinasikan dengan kementerian/lembaga lain. Program JKP juga harus mempertimbangkan kemampuan kondisi fiskal negara serta kapasitas BP Jamsostek selaku penyelenggara.
”Target tidak berubah. Mudah-mudahan minggu depan ini sudah bisa rampung forum tripartitnya sehingga sudah ada draf yang pasti. Draf itu pun nanti masih bisa berubah sesuai dengan masukan publik lewat posko yang kami buka,” ujarnya.