Dengan RUU Cipta Kerja yang melenturkan berbagai aturan ketenagakerjaan, praktik eksploitasi dan pelanggaran hak pekerja berpotensi bertambah.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi ketenagakerjaan yang dilonggarkan lewat Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja harus diimbangi dengan pengawasan ketenagakerjaan yang lebih ketat. Kebijakan lentur yang tidak didukung dengan penguatan aspek pengawasan hanya akan memperparah praktik eksploitasi terhadap pekerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Minggu (25/10/2020), mengatakan, RUU Cipta Kerja yang melenturkan berbagai aturan ketenagakerjaan berpotensi menambah praktik eksploitasi dan pelanggaran hak pekerja. Saat ini saja, dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang relatif lebih melindungi pekerja, pelanggaran sudah marak terjadi.
Regulasi yang seharusnya memberi perlindungan kepada pekerja itu pada praktiknya sering tidak dijalankan. Contohnya, data Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 (Sakernas 2019) oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan, mayoritas pekerja di Indonesia menerima upah di bawah standar upah minimum.
Di DKI Jakarta, pada 2019, ada 51 persen pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya, proporsi yang tidak digaji sesuai dengan standar minimum ini bahkan mencapai sekitar 60 persen pekerja.
Di DKI Jakarta, pada 2019, ada 51 persen pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya, proporsi ini bahkan mencapai sekitar 60 persen pekerja.
Selain upah, perlindungan dan jaminan sosial untuk pekerja juga kerap tidak dipenuhi. BP Jamsostek mencatat, per Juli 2020, tenaga kerja yang memiliki jaminan perlindungan sosial baru 53 persen atau 49,7 juta orang dari total 92,4 juta tenaga kerja yang seharusnya menjadi peserta BP Jamsostek.
Akhir-akhir ini, persoalan ketenagakerjaan bertambah akibat imbas Covid-19. Survei Dampak Covid-19 terhadap Pelaku Usaha oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, 17,06 persen perusahaan merumahkan karyawan tanpa dibayar, 12,83 persen memberhentikan pekerja dalam waktu singkat, dan 6,46 persen merumahkan pekerja dengan pemangkasan upah.
Menurut Timboel, persoalan banyak ditemukan di ranah implementasi regulasi karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan oleh aparatur negara di tingkat daerah. Namun, pemerintah sejauh ini dinilai tidak menunjukkan itikad baik untuk membenahi persoalan tersebut.
”Seharusnya, kalau ada pelanggaran, laporan yang masuk ke pengawas ketenagakerjaan ditindaklanjuti supaya jika kasus itu mau dibawa ke ranah pidana, ada nota pemeriksaan dari pengawas ketenagakerjaan. Tetapi, dari banyak kasus perburuhan yang kami tangani, pengaduan itu sangat jarang ditindaklanjuti,” katanya.
Persoalan banyak ditemukan di ranah implementasi regulasi karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan oleh aparatur negara di tingkat daerah.
Kemenaker dalam Sakernas 2019 juga menyoroti persoalan pengawasan ketenagakerjaan ini. Penyelenggaraan pengawasan di pemerintah provinsi dalam lima tahun terakhir ini menurun karena jumlah tenaga pengawas juga berkurang. Pada 2015, jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan sebanyak 1.918 orang, dan pada 2018 tinggal 1.504 orang.
Alih-alih memperkuat pengawasan untuk mengurangi kasus ketenagakerjaan, regulasi justru dibuat semakin lentur dan longgar. RUU Cipta Kerja yang seharusnya membawa terobosan lebih baik sama sekali tidak menyinggung mengenai penguatan aspek pengawasan ketenagakerjaan.
”Dengan regulasi yang dibuat fleksibel, pengawasannya seharusnya diperkuat untuk menyeimbangkan agar pelonggaran itu tidak kebablasan. Tetapi, kenyatannya, regulasi dilenturkan, pengawasan diperlemah. Jika seperti ini, eksploitasi terhadap pekerja bisa semakin merajalela,” kata Timboel.
Timboel menambahkan, aspek pengawasan dan perlindungan terhadap pekerja ini seharusnya sudah diatur sejak di norma undang-undang agar bisa didetailkan lewat peraturan pemerintah. Tanpa adanya norma tersebut di RUU, ikhtiar memperjuangkan jaminan perlindungan bagi pekerja di rancangan peraturan turunan menjadi sia-sia karena tidak banyak perubahan yang bisa dilakukan.
Wakil Presiden Dalam Negeri Serikat Buruh Muslim Indonesia Sukitman Sudjatmiko, yang mengikuti proses pembahasan rancangan peraturan turunan RUU Cipta Kerja selama sepekan terakhir ini, mengatakan, dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang disiapkan pemerintah, tidak ada disebut mengenai jaminan pengawasan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja.
Topik utama yang saat ini sedang diperdebatkan dalam forum tripartit adalah pasal-pasal krusial yang menyangkut kepastian kerja pekerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan pekerja alihdaya (outsource), serta isu penambahan waktu kerja yang lebih fleksibel untuk jenis pekerjaan tertentu.
”Dari kemarin tidak ada bahasan untuk mendetailkan perlindungan pekerja ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan di RUU,” katanya.
Isu jaminan perlindungan pekerja menjadi hal krusial yang diperdebatkan. Sebab, lewat RUU Cipta Kerja, ketentuan mempekerjakan buruh PKWT dan alihdaya dibuat lebih longgar. Pekerja PKWT berpotensi dikontrak dengan jangka waktu lebih lama dari 3 tahun dan pekerja alihdaya tidak lagi dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu yang sifatnya non-utama (non-core business).
Sementara pada praktiknya, banyak pekerja PKWT dan alihdaya yang saat ini tidak mendapat hak serta perlindungan kerja sebagaimana halnya pekerja tetap. Mereka umumnya tidak didaftarkan di BP Jamsostek serta memiliki standar upah lebih rendah. Praktik pekerja PKWT yang terus-menerus dikontrak melebihi tiga tahun pun marak ditemukan.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah akan memperkuat pengawasan setelah UU Cipta Kerja diberlakukan. Dalam RUU Cipta Kerja, meski tidak ada aturan khusus mengenai pengawasan ketenagakerjaan, sejumlah sanksi terhadap pengusaha yang melanggar hak pekerja tetap dipertahankan, bahkan ditambah.
Dalam RUU Cipta Kerja, meski tidak ada aturan khusus mengenai pengawasan ketenagakerjaan, sejumlah sanksi terhadap pengusaha yang melanggar hak pekerja tetap dipertahankan, bahkan ditambah.
Misalnya, sanksi pidana jika pengusaha tidak membayar upah sesuai standar minimum atau jika pengusaha tidak memberi pesangon. Anwar mengakui, penegakan sanksi itu memerlukan barisan pengawas ketenagakerjaan yang kuat di pusat dan daerah.
Oleh karena itu, pemerintah akan memperkuat kapasitas dan kontrol terhadap para pejabat fungsional dan pengawas ketenagakerjaan. Tugas mereka untuk menindaklanjuti laporan pelanggaran serta menjadi mediator saat ada perselisihan bipartit antara pekerja dan pengusaha.
”Pejabat fungsional itu ada di pemerintah daerah, tetapi Kemenaker menjadi instansi pembina. Di situ akan kita kuatkan, selain segi aspek kapasitas tiap pengawas, juga memperkuat kontrol dan kendali dari pemerintah pusat ke pelaksanaan di daerah-daerah,” ujarnya.
Terkait dengan jumlah pengawas yang terus berkurang dari tahun ke tahun, Anwar mengatakan, pemerintah juga akan berikhtiar menambah jumlah sumber daya manusia (SDM). Namun, hal itu harus disesuaikan dengan kapasitas fiskal negara untuk melakukan perekrutan.
’Hal lain, kita memperbaiki sistem dan tata kelola menjadi berbasis teknologi. Jadi, kalaupun jumlah SDM kita minim, kita punya sistem monitoring yang kuat,” kata Anwar.