Paparkan RUU Cipta Kerja, Jangan Buat Makin Simpang Siur
Simpang siur informasi bermunculan. Salah satu penyebabnya ketidakjelasan sumber draf RUU Cipta Kerja yang beredar. Namun, di sisi lain, klarifikasi dari pemerintah juga tidak jujur, parsial, dan simpang siur.
Empat hari setelah RUU Cipta Kerja disetujui disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripuna, Presiden Joko Widodo angkat bicara. Menyusul para menterinya, Presiden mengklarifikasi sejumlah isu ketenagakerjaan yang dinilai menjadi hoaks di tengah publik.
Publik dan pemerintah beradu narasi. Isu mana yang benar?
”Saya melihat unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi disinformasi mengenai substansi UU ini dan hoaks di media sosial,” kata Presiden mengawali paparannya, Sabtu (9/10/2020).
Presiden mengklarifikasi sejumlah isu dalam RUU Cipta Kerja yang menurutnya telah berkembang menjadi hoaks. Misalnya, terkait informasi penghapusan upah minimum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan upah minimum sektoral provinsi (UMSP).
”Saya ambil contoh, ada informasi yang menyebut penghapusan UMP, UMK, dan UMSP. Hal ini tidak benar. Pada faktanya, UMR (upah minimum regional) tetap ada,” ujar Presiden.
Saya ambil contoh, ada informasi yang menyebut penghapusan UMP, UMK, dan UMSP. Hal ini tidak benar. Pada faktanya, UMR (upah minimum regional) tetap ada.Presiden Joko Widodo
Mengacu pada draf RUU Cipta Kerja versi 5 Oktober 2020 yang didapat Kompas dari pimpinan Badan Legislasi DPR sebelum rapat paripurna DPR, keberadaan upah minimum memang tidak dihapus, Namun, ketentuan Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dihapus.
Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur, upah minimum terdiri dari UMP, UMK, dan upah minimum berdasarkan sektor (UMSP atau UMSK) yang dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha tertentu. Besarannya tidak boleh lebih rendah dari upah minimum daerah bersangkutan.
Di RUU Cipta Kerja, muncul Pasal 88C yang mengatur gubernur wajib menetapkan UMP, dan ”dapat” menetapkan UMK dengan syarat tertentu. Syaratnya, mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Lebih lanjut, Pasal 88C tidak lagi menyebutkan komponen UMSP atau UMSK untuk sektor tertentu.
Mengacu pada kritik Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), yang dipersoalkan sebenarnya bukan penghapusan keberadaan seluruh komponen upah minimum, melainkan perubahan ketentuan terkait komponen upah minimum, yang dikhawatirkan akan memengaruhi keberadaan UMK dan UMSP/UMSK.
Tidak relevan
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, penghapusan UMSP dan UMSK itu tidak adil terhadap pekerja di sejumlah sektor, seperti otomotif dan pertambangan. ”Nilai upah minimum mereka jadi sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di banyak negara berlaku upah minimum sektoral,” katanya.
Ia juga menyoroti UMK yang tidak wajib dan ditetapkan secara bersyarat. Dikhawatirkan, aturan itu menjadi alibi untuk menghilangkan UMK di daerah-daerah yang selama ini memberlakukannya. Padahal, nilai UMK lebih besar daripada UMP.
”Yang diwajibkan ditetapkan adalah UMP. Hal ini menegaskan indikasi UMK bisa dihilangkan karena tidak lagi menjadi kewajiban untuk ditetapkan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menambahkan, pernyataan Presiden mengenai UMR sudah tidak relevan karena UMR sudah dihapus lewat UU Ketenagakerjaan. Sebelumnya, UMR diatur lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1989 tanggal 29 Mei 1989 tentang Upah Minimum.
Saat ini yang berlaku adalah UMP, UMK, dan UMSP atau UMSK. Dua komponen, yakni UMK dan UMSP/UMSK, terancam tidak diatur dengan adanya RUU Cipta Kerja. Namun, hal itu tidak diklarifikasi Presiden dalam konferensi pers.
”Hal ini menjadi persoalan krusial. Pemerintah selalu defensif mengatakan masyarakat tidak membaca sebelum mengkritik. Akan tetapi, mereka sendiri tidak jujur dalam mengklarifikasi,” ujarnya.
Ini menjadi persoalan krusial. Pemerintah selalu defensif mengatakan, masyarakat tidak membaca sebelum mengkritik. Akan tetapi, mereka sendiri tidak jujur dalam mengklarifikasi.Timboel Siregar
PHK Sepihak
Salah satu poin yang diklarifikasi adalah PHK sepihak.
”Apakah perusahaan bisa mem-PHK kapan pun secara sepihak? Hal ini juga tidak benar. Yang benar, perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak,” kata Presiden dalam konferensi pers.
Mengacu pada draf RUU Cipta Kerja, Pasal 151 memang tetap mengatur agar PHK diberitahukan terlebih dahulu oleh pengusaha kepada pekerja atau serikat pekerja. Jika yang bersangkutan menolak di-PHK, penyelesaiannya dilakukan lewat perundingan bipartit (pengusaha dengan pekerja/serikat). Jika perundingan mentok, PHK dilakukan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Namun, RUU Cipta Kerja mengubah dan menghapus sejumlah ketentuan UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya tegas melindungi buruh dari PHK sewenang-wenang.
RUU Cipta Kerja mengubah dan menghapus sejumlah ketentuan UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya tegas melindungi buruh dari PHK sewenang-wenang.
Misalnya, Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur keharusan pengusaha memberi surat peringatan sebanyak tiga kali sebelum mem-PHK pekerja karena melakukan kesalahan dihapus. Dikhawatirkan, di masa mendatang, pengusaha dapat memecat karyawan tanpa peringatan.
Pasal 151 Ayat (3) RUU Cipta Kerja juga mengubah penegasan di UU Ketenagakerjaan bahwa pengusaha hanya dapat mem-PHK setelah keluar penetapan dari pengadilan hubungan industrial yang menangani sengketa. Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa PHK yang dilakukan tanpa penetapan pengadilan otomatis batal demi hukum, juga dihapus.
”Jadi, yang dikatakan Presiden tidak tepat karena PHK sepihak tetap bisa dilakukan dengan melihat ketentuan-ketentuan yang sekarang diatur di RUU Cipta Kerja,” kata Timboel.
Baca juga: Apa Kata Jokowi Tentangg UU Cipta Kerja?
Penghapusan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan juga dikhawatirkan memudahkan PHK. Sebelumnya, Pasal 158 mengatur pengusaha bisa mem-PHK pekerja yang melakukan kesalahan berat. Kesalahan berat itu harus didukung bukti, misalnya, tertangkap tangan, pengakuan yang bersangkutan, dan bukti lain, seperti laporan dari pihak berwenang di perusahaan yang didukung dua saksi.
Buruh yang tidak menerima dirinya di-PHK karena tuduhan kesalahan berat itu bisa menggugat ke pengadilan hubungan industrial. Hal itu tertuang di Pasal 171 UU Ketenagakerjaan. Di dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan itu dihapus.
Parsial
Penjelasan terkait beberapa isu lain juga dinilai parsial dan tidak komprehensif. Hal itu antara lain tecermin dari klarifikasi Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada Rabu (7/10/2020) dan Kamis (8/10/2020) perihal pekerja kontrak (perjanjian kerja untuk waktu tertentu/PKWT) dan buruh alih daya (outsourcing).
Pada 2020, jumlah karyawan kontrak dan alih daya sekitar 70-80 persen dari total buruh yang bekerja di sektor formal. Mereka umumnya bekerja dengan perlindungan terbatas.
Buruh mengkritik RUU Cipta Kerja yang tidak mengatur jangka waktu kontrak bagi pekerja PKWT. Padahal, UU Ketenagakerjaan menegaskan, pekerja hanya bisa dikontrak maksimal 3 tahun dan untuk jenis pekerjaan tertentu saja.
Dalam paparannya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah berdalih pemerintah tetap memberikan perlindungan tambahan berupa kompensasi saat kontrak kerja berakhir. Namun, Ida tidak menjelaskan inti persoalan terkait berapa lama jangka waktu pekerja kontrak yang akan diatur di rancangan peraturan pemerintah.
Terkait pekerja alih daya, Ida mengatakan, syarat dan ketentuan bagi pekerja alih daya akan tetap dipertahankan. Namun, Ida tidak mengklarifikasi inti persoalan mengenai penghapusan batasan jenis pekerjaan untuk pekerja alih daya, yang sebelumnya diatur di dalam Pasal 65 UU Ketenagakerjaan.
Baca juga: Cerita Para Pekerja Kontrak di Jakarta
Said Iqbal menyebutkan, di berbagai negara, pekerja alih daya lazim dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi perbudakan modern. Perancis, misalnya, hanya membolehkan 13 jenis pekerjaan. Di Indonesia, UU Ketenagakerjaan sebelum ini mengatur, pekerja alih daya hanya bisa untuk 5 jenis pekerjaan. ”Ketika alih daya dibebaskan, maka tidak ada keamanan pekerjaan bagi buruh Indonesia,” katanya.
Lebih lanjut, Ida mengklaim tidak ada penghapusan sanksi pidana dan administratif di RUU Cipta Kerja. Namun, draf RUU Cipta Kerja justru menghapus Pasal 184 UU Ketenagakerjaan tentang sanksi untuk pengusaha yang mem-PHK pensiunan tanpa jaminan pensiun dan uang pesangon. Sebelumnya, pengusaha bisa dipidana penjara 1-5 tahun atau denda Rp 100 juta-Rp 500 juta.
Ida mengklaim tidak ada penghapusan sanksi pidana dan administratif di RUU Cipta Kerja. Namun, faktanya, draf RUU Cipta Kerja menghapus Pasal 184 UU Ketenagakerjaan tentang sanksi untuk pengusaha yang mem-PHK pensiunan tanpa jaminan pensiun dan uang pesangon.
Timboel Siregar mengatakan, di satu sisi, simpang siur informasi di publik perihal isi RUU Cipta Kerja memang ada. Hal ini disebabkan, antara lain, ketidakjelasan sumber draf RUU Cipta Kerja yang beredar. Namun, di sisi lain, sejumlah klarifikasi dari pemerintah tidak jujur, parsial, dan simpang siur. Padahal, yang dibutuhkan publik adalah kejujuran dan kepastian.
”Sementara, sekarang ini rakyat berjuang di Mahkamah Konstitusi, pemerintah seharusnya jujur saja dan libatkan publik dalam penyusunan rancangan PP. Jangan tertutup dan terburu-buru. Beri kepastian, apa jaminannya RUU ini nanti tidak akan mendegradasi hak dan perlindungan buruh?” katanya. (Age)